> >

Kebahagiaan Ramadan yang Tidak Bisa Dirasakan Warga Gaza

Kompas dunia | 9 Maret 2024, 07:25 WIB
Anak-anak di Gaza, Palestina berdesakan mengantri makanan yang suplainya sangat terbatas. Bayi dan anak-anak di Gaza mulai bertumbangan meninggal kelaparan dan kehausan setelah berbulan-bulan serangan, pengeboman, pengepungan dan blokade Israel. Kelaparan paling parah terjadi di Gaza utara, yang diisolasi pasukan Israel dan mengalami penghadangan pasokan makanan. (Sumber: AP Photo)

GAZA, KOMPAS.TV - Bagi umat Islam di seluruh dunia, bulan Ramadan adalah waktu yang tepat untuk beribadah dan berkumpul makan malam bersama keluarga. Akan tetapi, kebahagiaan itu tak bisa dirasakan warga Gaza yang menderita akibat perang yang telah berlangsung lima bulan.

Perang yang dipicu oleh operasi Hamas melawan Israel pada tanggal 7 Oktober telah menghancurkan Gaza, menewaskan puluhan ribu warga Palestina dan memicu kekerasan di tempat lain di Timur Tengah, dari Lebanon hingga laut lepas Yaman.

Di tengah puing-puing Gaza selatan, Nevin al-Siksek baru-baru ini duduk di luar tenda daruratnya, mencoba mengalihkan perhatian putrinya dari kehancuran di sekitar mereka dengan lentera plastik Ramadan.

Lentera fanous berwarna-warni adalah simbol khas Ramadan, bulan kesembilan dalam kalender Islam yang ditandai dengan puasa dari fajar hingga senja.

Di seluruh Gaza tahun ini, lampu-lampu tersebut menjadi salah satu dari sedikit tanda yang menunjukkan kedatangan bulan suci, di tengah ancaman kelaparan massal yang mengancam.

Gencatan senjata antara Israel dan Hamas pun tampaknya sulit terwujud di bulan Ramadan, mengingat belum ada kesepakatan yang terwujud hingga Jumat (8/3/2024).

Siksek dan keluarganya, alih-alih menyantap daging domba dan manisan di rumah yang harus mereka tinggalkan di Gaza utara, mereka akan berbuka puasa di tenda sederhana yang mereka tinggali bersama warga sipil pengungsi lainnya.

Mereka pun hanya berharap, pada hari pertama puasa, Minggu atau Senin mendatang, mereka memiliki makanan untuk disantap.

“Kami tidak punya makanan untuk disiapkan,” kata Siksek yang ditemani suaminya, Mohammed Yasser Rayhan, dikutip dari Sinar Daily.

Baca Juga: Uni Eropa Siapkan Kapal dari Siprus ke Gaza untuk Uji Coba Koridor Bantuan Kemanusiaan Baru

Rayhan mengatakan, saat Ramadan yang memperingati turunnya wahyu Al-Qur'an kepada Nabi Muhammad SAW pada abad ketujuh, ada kehidupan, kegembiraan, semangat, dekorasi, dan suasana yang indah.

“Sekarang Ramadan telah tiba dan kita menghadapi perang, penindasan, dan kelaparan," ucapnya.

Kesedihan warga Gaza ini membuat saudara-saudara muslim turut ikut merasakan kepedihan.

Ibu rumah tangga asal Indonesia, Nurunnisa, 61 tahun, hanya bisa mendoakan rakyat Palestina di setiap salatnya.

“Setiap kali saya salat, saya selalu memanjatkan doa untuk saudara-saudara kita di wilayah Palestina,” kata Nurunnisa yang tinggal di Provinsi Aceh itu.

"Saya tidak bisa membantu mereka dengan apa pun, jadi saya hanya bisa membantu mereka dengan doa. Saya berdoa agar perang segera berakhir. Masyarakat di sana sangat menderita," ujarnya.

Sementara itu, umat muslim di Yerusalem Timur yang dianeksasi Israel juga khawatir akan kekerasan di Kompleks Masjid Al-Aqsa, yang sering menjadi titik konflik.

Situs ini adalah tempat tersuci ketiga dalam agama Islam dan paling suci dalam agama Yudaisme, serta oleh orang Yahudi dikenal sebagai Bukit Bait Suci.

Selama bulan Ramadan, puluhan bahkan ratusan ribu umat Islam akan berdoa di Kompleks Dome of the Rock yang ikonik itu.

Baca Juga: Bantuan Jalur Darurat Tak Memungkinkan, Indonesia Segera Kirim Bantuan ke Gaza Jalur Udara

Namun pada bulan Februari, Menteri Keamanan Nasional Israel yang beraliran sayap kanan, Itamar Ben Gvir, mengatakan bahwa penduduk Palestina di Tepi Barat yang diduduki “tidak boleh diizinkan” masuk ke Yerusalem selama bulan Ramadan.

Kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyatakan pada hari Selasa bahwa jemaah akan diizinkan memasuki masjid "dalam jumlah yang sama" seperti tahun-tahun sebelumnya.

Namun, bagi Ahlam Shaheen, 32 tahun, yang bekerja di pusat komunitas dekat Al-Aqsa, pernyataan tersebut tidak memberikan rasa tenteram.

Pada tahun 2021, ketika polisi Israel menyerbu masjid, Shaheen menyaksikan seorang perempuan yang sedang salat di sebelahnya ditembak dengan peluru karet, dan dia khawatir kejadian serupa bisa terulang lagi.

“Kita hidup dalam perang selama lima bulan sekarang,” kata dia.

"Kami benar-benar lelah dan kehabisan tenaga," ucapnya lagi.

Di Kairo, kota paling meriah selama Ramadan, seorang mahasiswa Gaza yang meminta untuk tidak disebutkan namanya, khawatir bulan suci tahun ini akan semakin pedih bagi rakyat Palestina.

“Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya tidak tahan membayangkan Ramadan,” katanya.

“Rasanya sakit setiap kali saya melihat fanous,” katanya tentang lentera yang menghiasi jalan-jalan kota.

“Saudara-saudaraku bahkan tidak bisa makan sekali sehari, dan kita harusnya berbuka puasa seperti semuanya normal?” 

Baca Juga: Indonesia Segera Kirim Bantuan ke Gaza Lewat Udara, Begini Kata Jokowi

 

 

Penulis : Rizky L Pratama Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Sinar Daily


TERBARU