Menteri Senior yang Juga Rival Netanyahu Pergi ke AS Tanpa Izin, Perpecahan di Israel Makin Terkuak
Kompas dunia | 4 Maret 2024, 06:50 WIBTEL AVIV, KOMPAS.TV - Perdana Menteri Isrel Benjamin Netanyahu menegur keras menteri senior kabinet perang, Benny Gantz, yang tiba di Washington hari Minggu (3/3/3034) untuk pembicaraan dengan pejabat Amerika Serikat.
Menurut seorang pejabat Israel, hal itu menunjukkan perpecahan dalam kepemimpinan negara Zionis makin terkuak hampir lima bulan setelah perang dengan Hamas.
Perjalanan Benny Gantz, rival politik dari kubu tengah yang bergabung dengan Kabinet perang Netanyahu setelah serangan Hamas pada 7 Oktober, terjadi ketika ketegangan antara AS dan Netanyahu makin panas mengenai cara mengurangi penderitaan rakyat Palestina di Gaza dan seperti apa rencana pasca perang untuk wilayah tersebut.
Seorang pejabat dari partai Likud kanan jauh Netanyahu mengatakan perjalanan Gantz tidak mendapat izin dari pemimpin Israel. Pejabat tersebut, yang tidak ingin disebut namanya, mengatakan Netanyahu "berbicara keras" dengan Gantz dan mengatakan kepadanya bahwa Israel hanya punya "satu perdana menteri."
Gantz dijadwalkan bertemu dengan Wapres AS Kamala Harris dan Penasihat Keamanan Nasional Jake Sullivan hari Senin, serta dengan Menlu Antony Blinken hari Selasa, menurut Partai Persatuan Nasionalnya.
Seorang pejabat Israel kedua yang berbicara dengan secara anonim mengatakan kunjungan Gantz bertujuan untuk memperkuat hubungan dengan AS, mendukung perang Israel, dan mendorong pembebasan sandera Israel.
Di Mesir, pembicaraan sedang berlangsung untuk mediasi gencatan senjata sebelum bulan suci Ramadan dimulai minggu depan.
Baca Juga: Menteri Israel yang Pernah Ancam Bom Nuklir Gaza Ingin Hapus Bulan Ramadan
Israel tidak mengirim delegasi karena menunggu jawaban dari Hamas mengenai dua pertanyaan, menurut pejabat pemerintah Israel ketiga yang juga berbicara dengan anonim. Media Israel melaporkan Israel menunggu informasi tentang sandera yang masih hidup dan berapa banyak tahanan Palestina yang diminta Hamas sebagai pertukaran.
Ketiga pejabat Israel berbicara secara anonim karena tidak diizinkan untuk membahas perselisihan ini dengan media.
Hari Sabtu, AS menjatuhkan bantuan ke Gaza. Operasi penerjunan bantuan dari udara ini dilakukan setelah 116 warga Palestina tewas minggu lalu saat berusaha mengambil makanan dari konvoi bantuan yang masuk ke Gaza.
Penerjunan bantuan dari udara ini menghindari sistem pengiriman bantuan yang terhambat oleh pembatasan Israel, masalah logistik, dan pertempuran di Gaza, walau dianggap jauh kurang efektif dibandingkan pengiriman oleh truk.
Prioritas AS di wilayah ini semakin terhalang oleh Kabinet Netanyahu, yang didominasi kaum ultranasionalis. Partai Gantz yang lebih moderat kadang-kadang bertindak sebagai penyeimbang.
Popularitas Netanyahu anjlok sejak perang dimulai, menurut sebagian besar jajak pendapat. Banyak warga Israel menyalahkannya karena gagal menghentikan serangan Hamas pada 7 Oktober, yang diklaim Israel menewaskan 1.200 orang, sebagian besar warga sipil, dan membawa sekitar 250 orang sebagai sandera ke Gaza, termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia, menurut otoritas Israel.
Baca Juga: Kala Hubungan 'Sekutu Dekat' Netanyahu-Biden Makin Tegang, Saling Debat atas Serangan Israel di Gaza
Lebih dari 30.000 warga Palestina tewas sejak perang dimulai, sekitar dua pertiga di antaranya perempuan dan anak-anak, menurut Kementerian Kesehatan Gaza. Sekitar 80% dari populasi 2,3 juta jiwa telah meninggalkan rumah mereka, dan lembaga-lembaga PBB mengatakan ratusan ribu berada di ambang kelaparan.
Orang Israel yang kritis terhadap Netanyahu mengatakan pengambilan keputusannya tercemar oleh pertimbangan politik, suatu tuduhan yang dibantahnya.
Kritik ini terutama difokuskan pada rencana untuk Gaza pasca perang. Netanyahu ingin Israel tetap mengendalikan keamanan Gaza tanpa batas waktu, dengan warga Palestina mengurus urusan sipil.
AS ingin melihat kemajuan dalam pembentukan negara Palestina, membayangkan kepemimpinan Palestina yang direvitalisasi mengelola Gaza dengan rencana ke arah kemerdekaan negara.
Visi ini menentang pendapat Netanyahu dan para keras kepala dalam pemerintahannya. Pejabat kabinet papan atas lainnya dari partai Gantz telah mempertanyakan penanganan perang dan strategi pembebasan sandera.
Pemerintahan Netanyahu, yang paling konservatif dan religius di Israel, juga terguncang oleh batas waktu yang ditetapkan oleh pengadilan untuk rancangan undang-undang baru yang memperluas perekrutan militer bagi Yahudi ultra-Ortodoks.
Baca Juga: Geger Rencana Netanyahu Pasca-Perang di Gaza, Langsung Ditolak AS dan Palestina
Banyak dari mereka dibebaskan dari wajib militer sehingga mereka dapat mengejar studi agama. Ratusan tentara Israel tewas sejak 7 Oktober, dan militer mencari cara untuk mengisi barisan mereka.
Gantz tetap merahasiakan pandangannya mengenai kemerdekaan Palestina. Jajak pendapat menunjukkan ia akan mendapatkan cukup dukungan untuk menjadi perdana menteri jika pemilihan diadakan hari ini.
Kunjungan ke AS, jika diikuti oleh kemajuan dalam pembebasan sandera, dapat lebih memperkuat dukungan untuk Gantz.
Israel pada dasarnya menyetujui kerangka gencatan senjata Gaza yang diusulkan dan kesepakatan pembebasan sandera, dan sekarang terserah Hamas untuk menyetujuinya, kata seorang pejabat senior AS hari Sabtu. Dia berbicara dengan syarat anonim sesuai aturan yang ditetapkan oleh Gedung Putih untuk memberi informasi kepada wartawan.
Jika pertikaian politik semakin tumbuh dan Gantz keluar dari pemerintahan, pintu gerbang akan terbuka untuk protes lebih luas oleh masyarakat yang sudah tidak puas dengan pemerintah ketika Hamas melakukan serangan, kata Reuven Hazan, seorang profesor ilmu politik di Universitas Ibrani di Yerusalem.
Dalam kerangka kekhawatiran tentang konflik regional yang lebih luas, penasihat senior Gedung Putih, Amos Hochstein, akan pergi ke Lebanon pada hari Senin untuk bertemu pejabat Lebanon, ingin pejabat Lebanon dan Israel mencegah ketegangan di sepanjang perbatasan mereka yang semakin memburuk.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Associated Press