Mahkamah Internasional Sidangkan Legalitas Pendudukan Israel atas Palestina, Ini yang akan Dibahas
Kompas dunia | 19 Februari 2024, 01:00 WIBDEN HAAG, KOMPAS.TV - Mahkamah Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membuka persidangan bersejarah pada hari ini, Senin (19/2/2024).
Persidangan dilakukan untuk membahas legalitas pendudukan Israel selama 57 tahun atas tanah yang diinginkan untuk negara Palestina, membuat 15 hakim mahkamah internasional terjun ke inti pusaran konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung puluhan tahun.
Mahkamah Internasional menggelar persidangan umum atas permintaan pendapat hukum sidang Majelis Umum PBB pada 30 Desember 2023 mengenai Konsekuensi Hukum yang Timbul dari Kebijakan dan Praktik Israel di Wilayah Palestina yang Diduduki, termasuk Yerusalem Timur, mulai Senin 19 hingga Senin 26 Februari 2024 di Peace Palace, Den Haag.
Sebanyak 52 negara dan tiga organisasi internasional menyatakan niat untuk berpartisipasi dalam persidangan lisan di Mahkamah, dengan Indonesia dijadwalkan memberikan pendapat hukum pada Senin (23/2) pekan depan pukul 12.10 - 12.40 waktu Den Haag atau 18.10 - 18.30 WIB.
Indonesia mendapatkan jatah mengutarakan pendapat hukum di urutan ke lima setelah Namibia, Norwegia, Oman, dan Pakistan.
Adapun Sidang Majelis Umum PBB pada 30 Desember 2023 meminta pendapat hukum Mahkamah Internasional mengenai "Praktik Israel yang Mempengaruhi Hak Asasi Manusia Bangsa Palestina di Wilayah Palestina yang Diduduki, termasuk Yerusalem Timur."
Dalam keputusannya, Sidang Majelis Umum PBB tersebut meminta Mahkamah Internasional memberikan pendapat hukum mengenai pertanyaan-pertanyaan berikut, mempertimbangkan aturan dan prinsip-prinsip hukum internasional:
(a) Apa konsekuensi hukum yang timbul dari pelanggaran berkelanjutan oleh Israel terhadap hak bangsa Palestina untuk menentukan nasib sendiri, dari pendudukan, pemukiman, dan aneksasi wilayah Palestina yang diduduki sejak 1967, termasuk langkah-langkah yang bertujuan untuk mengubah komposisi demografis, karakter, dan status Kota Suci Yerusalem, dan dari adopsi undang-undang dan tindakan diskriminatif terkait?
(b) Bagaimana kebijakan dan praktik Israel yang disebutkan dalam paragraf 18 (a) di atas mempengaruhi status hukum pendudukan, dan apa konsekuensi hukum yang timbul bagi semua Negara dan Perserikatan Bangsa-Bangsa dari status ini?"
Enam hari persidangan dijadwalkan di Mahkamah Internasional, di mana sejumlah besar negara akan berpartisipasi saat Israel terus melancarkan serangannya yang menghancurkan di Gaza.
Meskipun kasus ini terjadi di tengah perang Israel-Hamas, fokusnya lebih pada pendudukan Israel yang berkepanjangan di Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur.
Baca Juga: RI Bela Palestina di Mahkamah Internasional, Dukung Advisory Opinion tentang Pendudukan Israel
Perwakilan Palestina, yang berbicara pertama kali pada hari Senin (19/2) ini akan berargumen bahwa pendudukan Israel ilegal karena telah melanggar tiga prinsip kunci hukum internasional: larangan penaklukan wilayah, hak Palestina untuk menentukan nasib sendiri, dan larangan diskriminasi rasial dan apartheid.
"Kami ingin mendengar kata-kata baru dari pengadilan," kata Omar Awadallah, kepala departemen organisasi PBB di Kementerian Luar Negeri Palestina.
"Mereka harus mempertimbangkan kata genosida dalam kasus Afrika Selatan," katanya, merujuk pada kasus terpisah di pengadilan.
"Sekarang kita ingin mereka mempertimbangkan apartheid."
Awadallah mengatakan pendapat hukum dari Mahkamah Internasional akan memberi Palestina banyak alat, dengan menggunakan metode dan alat hukum internasional yang damai, untuk menghadapi ilegalitas pendudukan.
Mahkamah Internasional kemungkinan akan membutuhkan beberapa bulan untuk memberikan putusan. Namun, para ahli mengatakan keputusan itu, meskipun tidak mengikat secara hukum, dapat berdampak besar pada yurisprudensi internasional, bantuan internasional untuk Israel, dan opini publik.
"Kasus ini akan membawa sejumlah tuduhan, klaim, dan keluhan yang mungkin membuat Israel merasa tidak nyaman dan malu, mengingat perang dan lingkungan internasional yang sudah sangat terpecah belah," sambung Yuval Shany, profesor hukum di Universitas Ibrani dan sesama peneliti senior di Institut Demokrasi Israel.
Israel tidak dijadwalkan berbicara selama persidangan, tetapi dapat mengajukan pernyataan tertulis. Shany mengatakan Israel kemungkinan akan membenarkan pendudukan berkelanjutan atas dasar keamanan, terutama dalam ketiadaan kesepakatan perdamaian.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Gading-Persada
Sumber : Associated Press / International Court of Justice ICJ