> >

Fakta Pergeseran Sikap dan Menghilangnya Dukungan Sekutu-sekutu Israel terhadap Perang di Gaza

Kompas dunia | 17 Februari 2024, 08:30 WIB
Warga Palestina berduka atas kematian keluarga Al Kahwaji yang dibunuh Israel di Deir al Balah Senin, (12/2/2024). Sikap pro-Israel dari negara-negara Barat selama perang di Gaza mengalami pergeseran dalam beberapa minggu terakhir, dengan pemimpin-pemimpinnya lebih banyak mendesak gencatan senjata, menangani krisis kemanusiaan, dan menyuarakan kekhawatiran atas potensi serangan darat di Rafah. (Sumber: AP Photo)

ISTANBUL, KOMPAS.TV - Sikap pro-Israel dari negara-negara Barat selama perang di Gaza mengalami pergeseran dalam beberapa minggu terakhir, dengan pemimpin-pemimpinnya lebih banyak mendesak gencatan senjata, menangani krisis kemanusiaan, dan menyuarakan kekhawatiran atas potensi serangan darat di Rafah.

Perubahan sikap ini, yang membuat sekutu-sekutu Israel lebih dekat dengan sikap negara-negara seperti Turki, Indonesia, Liga Arab dan Afrika Selatan ketika korban sipil terus bertambah di Gaza, di mana serangan bom terus-menerus Israel telah menewaskan hampir 29.000 warga Palestina, mayoritas di antaranya perempuan dan anak-anak, seperti yang dilaporkan oleh Anadolu hari Jumat, (16/2/2024).

Gaza kini tengah mengalami pengungsian hampir 85% dari penduduknya dan menghadapi kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan yang serius. Infrastruktur yang rusak atau hancur sebanyak 60%, menurut laporan PBB.

Israel saat ini menghadapi tuduhan genosida di Mahkamah Internasional ICJ, yang telah mengeluarkan enam langkah sementara sebagai respons terhadap permohonan Afrika Selatan dan menyatakan risiko genosida dapat terjadi.

Saat Israel berencana meluncurkan operasi darat di Rafah, wilayah selatan Gaza yang menampung lebih dari 1,4 juta warga Palestina yang terusir, beberapa negara telah menyuarakan kekhawatiran bahwa hal itu bisa menyebabkan bencana kemanusiaan dan memperkuat seruan untuk gencatan senjata segera.

Inilah catatan pergeseran sikap sekutu-sekutu Israel terhadap perangnya di Gaza melawan Hamas.

Baca Juga: Keluarga Sandera Israel Ngamuk ke Netanyahu, Minta Pembicaraan Negosiasi di Kairo Kembali Dilakukan

Presiden Amerika Serikat Joe Biden disambut PM srael Benjamin Netanyahu di Bandara Ben Gurion, Tel Aviv, (18/10/2023). (Sumber: AP Photo/Evan Vucci)

Amerika Serikat

Amerika Serikat, sekutu militer dan diplomatik terbesar Israel, telah mengubah sikapnya dalam beberapa minggu terakhir.

Presiden Joe Biden dan Menteri Luar Negeri Antony Blinken, setelah serangan Hamas pada 7 Oktober, menyatakan solidaritas dan mendukung "hak Israel untuk membela diri."

Biden, dalam kunjungannya ke Tel Aviv, mengatakan: "Saya datang ke Israel dengan satu pesan: Kamu tidak sendiri. Selama Amerika Serikat berdiri - dan kami akan selalu berdiri - kami tidak akan pernah membiarkanmu sendirian."

Washington telah memberikan dukungan finansial, militer, dan politik untuk perang mematikan Israel, dengan paket bantuan multibiliar dolar, dukungan materi, dan beberapa veto terhadap resolusi gencatan senjata di PBB.

Namun, seiring berlanjutnya perang hingga bulan kelima dan pemilihan presiden November semakin dekat bagi Biden, tekanan publik yang meningkat terhadap bencana kemanusiaan yang dialami oleh Palestina tampaknya menyebabkan perubahan pemikiran di Washington.

Pada Desember, Biden menyatakan dalam suatu acara bahwa Israel kehilangan dukungan internasional karena "pemboman sembarangan" di Gaza. Dia juga meminta Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk melakukan perubahan dalam pemerintahannya.

Baru-baru ini, dalam panggilan telepon dengan Netanyahu pada hari Kamis, Biden mengulangi sikapnya menentang operasi militer di Rafah, mengatakan bahwa itu "tidak boleh dilanjutkan tanpa rencana yang dapat dipercaya dan dapat dilaksanakan untuk menjamin keamanan dan dukungan bagi warga sipil."

Baca Juga: Jerman Bela Israel di ICJ, Ternyata Ekspor Senjatanya ke Rezim Zionis Naik sejak Serangan ke Gaza

Jerman, sekutu kuat Israel lainnya, juga tampaknya sedang mengubah kebijakannya, bulan Februari 2024 Berlin dua kali menyuarakan penolakan terhadap operasi Rafah, seperti disampaikan Menlu Annalena Baerbock dalam sebuah pernyataan saat ia meninggalkan kunjungannya ke Israel pada 14-15 Februari, kunjungan kelima kalinya sejak Oktober lalu. (Sumber: Der Spiegel)

Jerman

Jerman, sekutu kuat Israel lainnya, juga tampaknya sedang mengubah kebijakannya karena rencana operasi Rafah yang mengancam lebih dari satu juta pengungsi warga sipil Gaza.

Setelah serangan pada 7 Oktober, Kanselir Olaf Scholz adalah pemimpin Eropa pertama yang tiba di Israel. "Tanggung jawab yang kami pikul sebagai akibat dari Holocaust membuatnya menjadi kewajiban kami untuk berdiri demi eksistensi dan keamanan negara Israel," katanya saat itu setelah bertemu dengan Netanyahu.

Jerman saat itu enggan menyerukan gencatan senjata, menahan diri dalam pemungutan suara PBB, dan bahkan mengatakan akan campur tangan di pihak Israel di ICJ. Tetapi bulan Februari 2024, Berlin sudah dua kali menyuarakan penolakan terhadap operasi Rafah.

"Gaza berada di ambang kehancuran. Di Rafah, 1,3 juta orang terjepit dalam area kecil dalam kondisi yang paling mengerikan," kata Menteri Luar Negeri Annalena Baerbock dalam sebuah pernyataan saat ia meninggalkan kunjungannya ke Israel pada 14-15 Februari, kunjungan kelima kalinya sejak Oktober lalu.

"Pada kondisi ini, serangan oleh pasukan Israel di Rafah akan membuat situasi kemanusiaan sepenuhnya di luar kendali. Karena orang-orang di Rafah tidak bisa hanya menghilang begitu saja."

Pernyataan itu juga mengatakan bahwa Baerbock "akan membela proses politik menuju jeda kemanusiaan lainnya," untuk membuka jalan bagi "perundingan tentang gencatan senjata permanen."

Baca Juga: Prancis Kutuk Bombardir Israel yang Bunuh Stafnya di Gaza: Terlalu Banyak Warga Sipil yang Terbunuh

Komite Menteri KTT Arab-Islam hari Rabu, (22/11/2023) ke London dan Paris, mengadakan pertemuan resmi dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron di Paris dan Menlu Inggris David Cameron di London, mendesak kedua negara mainkan peran seimbang antara Palestina dan Israel serta tidak menerapkan standar ganda. (Sumber: Radio France International)

Prancis

Prancis, sekutu Israel lainnya di Eropa, menentang dengan tegas serangan Israel yang akan datang ke kota Rafah.

Presiden Emmanuel Macron secara terbuka mendesak gencatan senjata dalam wawancara dengan BBC pada 10 November, mengatakan tidak ada "alasan" bagi bayi, perempuan, dan lansia untuk dibunuh, dan mendorong Israel untuk menghentikan serangan itu.

Dalam sebuah desakan kepada Netanyahu, Macron mengatakan serangan itu "hanya akan menyebabkan bencana kemanusiaan baru, seiring dengan setiap pemindahan paksa penduduk, yang akan menjadi pelanggaran hukum humaniter internasional dan akan menimbulkan risiko eskalasi regional tambahan."

Pada November, Macron menyerukan gencatan senjata di Gaza, langkah yang dikritik oleh oposisi yang mengatakan bahwa dia baru bersuara setelah 10.000 warga Palestina tewas.

Macron juga mengkritik pasukan Israel dan strategi militer mereka, serta menuntut agar pasukan Israel "menentukan secara lebih tepat" tujuan mereka di Gaza, dan mengatakan "tanggapan yang tepat" bukanlah "mengebom seluruh kapabilitas sipil."

Baca Juga: Israel Ketakutan Usai Menlu Inggris Bakal Akui Negara Palestina, Cemas Diikuti Negara Eropa Lain

Komite Menteri KTT Arab-Islam hari Rabu, (22/11/2023) ke London dan Paris, mengadakan pertemuan resmi dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron di ibu kota Prancis, Paris dan Menlu Inggris David Cameron di London, mendesak kedua negara mainkan peran seimbang antara Palestina dan Israel serta tidak menerapkan standar ganda. (Sumber: Asharq al-Awsat)

Inggris

Perdana Menteri Rishi Sunak tiba di Tel Aviv dalam beberapa hari setelah serangan pada 7 Oktober untuk menjanjikan dukungan penuh Inggris.

"Saya bangga berdiri di sini bersamamu dalam saat-saat paling gelap Israel sebagai sahabatmu, yang akan berdiri bersamamu dalam solidaritas, yang juga ingin melihatmu menang," katanya dalam konferensi pers dengan Netanyahu.

Inggris sejak itu menjadi pendukung kunci perang menghancurkan Israel, melanjutkan penjualan senjata, menolak seruan untuk gencatan senjata, dan memberikan suara menentang resolusi PBB.

Namun, rencana operasi Rafah juga menimbulkan kekhawatiran di London.

Dalam panggilan telepon dengan Netanyahu hari Kamis, (15/2/2024), Sunak mengatakan Inggris "sangat khawatir tentang kehilangan nyawa sipil di Gaza dan dampak kemanusiaan yang berpotensi menghancurkan dari serangan militer ke Rafah," 

"Ia menegaskan prioritas utama harus bernegosiasi untuk jeda kemanusiaan demi memungkinkan pembebasan sandera dengan aman dan memfasilitasi lebih banyak bantuan menuju Gaza, menuju gencatan senjata berkelanjutan jangka panjang," kata pernyataan tersebut.

Baca Juga: PM Kanada Minta Israel Berhenti Membunuh Anak-Anak Palestina, Netanyahu Marah

PM Kanada Justin Trudeau. Sikap pro-Israel dari negara-negara Barat selama perang di Gaza mengalami pergeseran dalam beberapa minggu terakhir, dengan pemimpin-pemimpinnya lebih banyak mendesak gencatan senjata, menangani krisis kemanusiaan, dan menyuarakan kekhawatiran atas potensi serangan darat di Rafah. (Sumber: The Canadian Press via AP)

Kanada, Australia, dan Selandia Baru

Pekan ini, perdana menteri Australia, Kanada, dan Selandia Baru mengeluarkan pernyataan bersama yang menyatakan "kekhawatiran serius" atas rencana operasi militer Israel di Rafah.

Mereka menyerukan gencatan senjata kemanusiaan segera, memperingatkan operasi tersebut akan "menghancurkan" dan mendesak Tel Aviv "untuk tidak melanjutkan jalan ini."

Ketiga negara tersebut juga menyatakan tetap teguh dalam komitmen mereka terhadap solusi dua negara, dengan pembentukan negara Palestina di samping Israel.

Pernyataan tersebut menandai perubahan dari kebijakan Kanada, yang termasuk di antara negara-negara yang menyatakan dukungan untuk "kebutuhan Israel membela diri sesuai dengan hukum internasional."

Dalam pernyataan 8 Oktober, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau mengatakan, "Untuk teman-teman Israel kami, warga Kanada berdiri bersama Anda. Pemerintah Kanada siap mendukung Anda, dukungan kami terhadap rakyat Israel teguh."

Namun, pada Desember, Trudeau mengatakan penolakan Israel atas gencatan senjata membuat Kanada dan sekutunya "semakin khawatir" bahwa Tel Aviv merusak peluang perdamaian jangka panjang.

Pada akhir tahun, Trudeau mengatakan dalam wawancara dengan Canadian Broadcasting Corporation bahwa ini bahkan bisa merusak dukungan untuk Israel.

Pada hari Kamis, (15/2/2024), Trudeau menelepon Benny Gantz, menteri di Kabinet Perang Netanyahu, yang digunakannya untuk menyampaikan "kekhawatiran Kanada tentang serangan yang direncanakan Israel di kota selatan Gaza, Rafah, dan dampak kemanusiaan yang parah bagi semua warga sipil yang mencari perlindungan di daerah tersebut," menurut pernyataan pemerintah Kanada.

Dia mengatakan "perlindungan terhadap warga sipil sangat penting dan merupakan persyaratan di bawah hukum humaniter internasional," sambil mengulangi "pentingnya memperbarui upaya dan melibatkan semua aktor regional menuju solusi dua negara."

Beralih ke Australia, negara ini juga termasuk di antara negara-negara yang menyuarakan hak Israel untuk membela diri.

"Kami berdiri dengan Israel dan mengulangi haknya untuk membela diri," kata Menteri Luar Negeri Penny Wong dalam pernyataan pada 14 Oktober.

"Presiden Biden telah meminta Israel untuk beroperasi sesuai dengan aturan perang dalam responsnya terhadap serangan Hamas, kami bergabung dengannya (Biden) dan yang lain dalam seruan itu," katanya.

Bulan November, Canberra mendesak Israel menghentikan pembunuhan warga sipil dan memperingatkan bahwa Tel Aviv menghadapi "risiko serius" jika perang meluas.

Baru-baru ini, dalam sebuah wawancara dengan Australian Broadcasting Corporation, Wong menunjukkan bahwa Australia adalah salah satu dari 153 negara yang "memilih untuk gencatan senjata kemanusiaan segera."

"Kami sangat prihatin tentang kehilangan nyawa dan menyusutnya ruang aman bagi warga Palestina di Gaza," katanya.

Wong juga merujuk pada pernyataan bersama dengan Kanada dan Selandia Baru, yang katanya menyampaikan "betapa terkejutnya kami atas menyusutnya ruang aman bagi warga Palestina, dan sekali lagi menyerukan agar Israel memastikan melindungi nyawa sipil."

Baca Juga: Turki Dukung Gugat Genosida Israel di Pengadilan Internasional PBB, Erdogan Diserang Menteri Zionis

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyambut perintah Mahkamah Internasional hari Jumat, (26/1/2024). Sikap pro-Israel dari negara-negara Barat selama perang di Gaza mengalami pergeseran dalam beberapa minggu terakhir, dengan pemimpin-pemimpinnya lebih banyak mendesak gencatan senjata, menangani krisis kemanusiaan, dan menyuarakan kekhawatiran atas potensi serangan darat di Rafah. (Sumber: Times of Israel)

Turki

Di antara dunia Arab dan Muslim, Turki adalah salah satu lawan keras tindakan Israel di Gaza.

Presiden Recep Tayyip Erdogan bersuara keras terhadap serangan Israel, berkomunikasi dengan pemimpin-pemimpin di seluruh dunia untuk mendorong perdamaian dan mengakhiri korban sipil.

Bulan Oktober, dia mendesak semua negara untuk "mengangkat suara mereka agar gencatan senjata segera didirikan di Gaza."

Dia juga kritis terhadap AS, mengatakan negara itu punya "tanggung jawab sejarah" ketika menyangkut Israel dan tindakannya terhadap Palestina.

"Selama pertemuan dengan (Presiden AS Joe) Biden, saya mengingatkan AS tentang tanggung jawab sejarahnya. Bagaimana dunia bisa berteriak lebih keras tentang perlunya menghentikan Israel?" katanya.

Baru-baru ini, dalam konferensi pers bersama dengan mitra Mesir-nya Abdel Fattah al-Sisi di Kairo, Erdogan mengatakan depopulasi paksa Gaza sama sekali "tidak dapat diterima," dan upaya untuk "mengusir penduduk Gaza" dari tanah mereka adalah "kosong dan tidak sah."

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Anadolu


TERBARU