AS Beri Peringatan Keras Lagi ke Israel atas Rencana Serangan ke Rafah, Netanyahu Tetap Kukuh Tolak
Kompas dunia | 17 Februari 2024, 08:05 WIBYERUSALEM, KOMPAS.TV - Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden sekali lagi memperingatkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Jumat (16/2/2024). Biden memperingatkan Netanyahu agar tidak melanjutkan operasi militer di Kota Rafah di selatan Gaza tanpa "rencana yang kredibel dan dapat dieksekusi" untuk melindungi warga sipil.
Namun, melansir Associated Press, Netanyahu bersikeras menolak "dikte internasional" terkait penyelesaian jangka panjang konflik Israel dengan Palestina.
Menurutnya, penyelesaian semacam itu hanya dapat dicapai melalui perundingan, sambil menentang pengakuan sepihak kemerdekaan Palestina karena dianggap sebagai "hadiah besar" bagi kelompok Hamas setelah serangan mematikan pada 7 Oktober.
Pimpinan koalisi sayap kanan yang dipimpin Netanyahu secara tegas menentang pembentukan negara Palestina berdampingan dengan Israel. Selama kepemimpinannya, tidak ada perundingan tingkat tinggi yang signifikan dengan pihak Palestina. Netanyahu bahkan mengaku bangga selama bertahun-tahun berhasil mencegah kemerdekaan Palestina.
Meskipun solusi dua negara mendapat dukungan internasional, upaya diplomatik internasional terhadap konflik tersebut telah lama terhenti, dengan Presiden AS yang enggan menghabiskan modal politik pada konflik yang dianggap sulit untuk diatasi.
Namun, situasinya berubah setelah serangan pada 7 Oktober yang memicu perang menghancurkan Israel terhadap Hamas di Gaza. Diplomat Barat kini kembali mendorong kemerdekaan Palestina sebagai bagian dari skenario pasca-perang. Pengakuan sementara terhadap negara Palestina sebagai langkah interim bahkan diusulkan, termasuk oleh Menteri Luar Negeri Inggris.
Netanyahu menegaskan, "Israel menolak sepenuhnya dikte internasional terkait penyelesaian permanen dengan Palestina."
Baca Juga: Israel Serang Rumah Sakit Nasser: Kuburan Massal Dibuldoser, Dokter Tertembak Drone
Dengan pasukan Israel yang siap menyerang Rafah, kota paling selatan di Gaza yang mungkin menjadi benteng terakhir Hamas, Israel kini menghadapi dilema yang sebagian besar dipicu oleh tindakannya sendiri: bagaimana menangani hampir satu setengah juta warga Palestina yang terusir dan dikumpulkan oleh militer Israel di sepanjang perbatasan Mesir, sebagaimana dilaporkan oleh Washington Post, Jumat (16/2).
Israel mendapat peringatan dari sekutu dan kritikus bahwa rencana serangan darat di Rafah akan berujung pada pembantaian warga sipil. Bantuan kemanusiaan yang sudah tertekan melalui perbatasan diperkirakan akan runtuh, menurut PBB.
Situasi ini menguji aliansi terpenting Israel. Pejabat Mesir bahkan mengancam akan menghentikan perjanjian perdamaian 40 tahun antara kedua negara jika serangan di Rafah memaksa pengungsi melintasi perbatasan. The Washington Post bahkan melaporkan, ada indikasi bahwa Mesir bersiap untuk skenario tersebut.
Presiden Biden menyatakan AS tidak akan mendukung serangan penuh skala di Rafah kecuali Israel dapat melaksanakan "rencana kredibel" untuk mengevakuasi warga sipil yang berada dalam garis tembak.
"Banyak orang di sana telah mengungsi, mengungsi berkali-kali... dan sekarang mereka terkumpul di Rafah, terbuka dan rentan," kata Biden, Senin. "Mereka perlu dilindungi."
Israel berjuang menepis tuntutan internasional untuk melindungi warga sipil dengan tuntutan dari kelompok keras di dalam negeri untuk memberikan pukulan keras kepada kelompok militan Hamas yang dituding ada di pusat populasi terakhir Gaza.
Netanyahu bersumpah kembali pada Rabu untuk menyerang Rafah, mengeklaim Hamas telah menyusun brigadenya yang tersisa, senjata, dan rute penyelundupan di seluruh kota.
Baca Juga: Keluarga Sandera Israel Ngamuk ke Netanyahu, Minta Pembicaraan Negosiasi di Kairo Kembali Dilakukan
Yehiya Sinwar, arsitek serangan pada 7 Oktober yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyebabkan lebih dari 250 tawanan, menjadi target utama Israel, dan Israel percaya dia mungkin telah mundur ke Rafah.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Associated Press / Washington Post