Apa Itu Nakba? Pembersihan Etnis di Palestina yang Tidak Bermula atau Berakhir pada 1948
Kompas dunia | 13 November 2023, 20:55 WIBYERUSALEM, KOMPAS.TV - Nakba, yang berarti "bencana" dalam bahasa Arab, merujuk pada pemindahan massal dan pengusiran penduduk, atau pembersihan etnis Arab Palestina selama Perang Arab-Israel 1948.
Sebelum terjadinya Nakba, Palestina adalah masyarakat multi-etnis dan multi-budaya. Namun Nakba tidak bermula dan dianggap tidak berakhir pada 1948.
Konflik antara Arab dan Yahudi memanas tahun 1930-an dengan peningkatan imigrasi Yahudi yang dipicu oleh persekusi terhadap mereka di Eropa, dan dengan gerakan Zionis yang bertujuan untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina, seperti tertulis dalam sumber-sumber Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pada November 1947, Majelis Umum PBB mengesahkan resolusi yang membagi Palestina menjadi dua negara, satu Yahudi dan satu Arab, dengan Yerusalem di bawah administrasi PBB.
Dunia Arab menolak rencana tersebut, dengan alasan itu tidak adil dan melanggar Piagam PBB. Milisi Yahudi melancarkan serangan terhadap desa-desa Palestina, memaksa ribuan orang untuk melarikan diri.
Situasi tersebut berkembang menjadi perang penuh pada 1948, dengan berakhirnya Mandat Inggris dan kepergian pasukan Inggris, deklarasi kemerdekaan Negara Israel, dan masuknya pasukan tetangga Arab.
Pasukan Israel yang saat itu baru dibentuk, melancarkan serangan besar-besaran. Akibatnya, terjadi pemindahan permanen lebih dari setengah populasi Palestina.
Sejak Desember 1948, Majelis Umum PBB menyerukan pemulangan pengungsi, restitusi properti, dan kompensasi (resolusi 194 (II)).
Namun, hingga 75 tahun kemudian, meskipun banyak resolusi PBB yang sudah dikeluarkan, hak-hak warga Palestina terus ditolak.
Menurut Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), lebih dari 5 juta pengungsi Palestina tersebar di seluruh Timur Tengah.
Hari ini, Palestina terus dikosongkan dan diusir oleh pemukiman-pemukiman ilegal Israel, penggusuran, penyitaan tanah, dan penghancuran rumah.
Peringatan Nakba adalah pengingat bukan hanya tentang peristiwa tragis 1948, tetapi juga tentang ketidakadilan berkelanjutan yang dialami oleh warga Palestina.
Nakba punya dampak mendalam pada rakyat Palestina, yang kehilangan rumah, tanah, dan cara hidup mereka.
Ini tetap menjadi peristiwa traumatis dalam memori kolektif mereka dan terus membentuk perjuangan mereka untuk meraih keadilan dan hak mereka kembali ke rumah mereka.
Pada 2022, Majelis Umum PBB meminta agar peringatan ini dirayakan pada 15 Mei 2023, untuk pertama kalinya dalam sejarah PBB.
Baca Juga: Mentan Keceplosan Rencana Nakba Gaza 2023, Netanyahu Tegur Menteri-menteri Supaya Jaga Mulut
Apa yang Menyebabkan Nakba?
Akar Nakba berasal dari munculnya Zionisme sebagai ideologi politik pada akhir abad ke-19 di Eropa Timur. Ideologi ini didasarkan pada keyakinan bahwa Yahudi adalah suatu bangsa atau ras yang berhak punya negara mereka sendiri, seperti dilaporkan Al Jazeera.
Mulai tahun 1882, ribuan Yahudi dari Eropa Timur dan Rusia mulai menetap di Palestina, dipacu oleh penganiayaan anti-Yahudi dan pogrom yang mereka alami di Kekaisaran Rusia, serta daya tarik Zionisme.
Pogrom adalah tindak persekusi, penganiayaan dan penyerangan terhadap etnis tertentu.
Pada 1896, jurnalis Vienna, Theodor Herzl, menerbitkan pamflet yang dianggap sebagai dasar ideologis Zionisme politik - Der Judenstaat, atau "Negara Yahudi".
Herzl menyimpulkan obat untuk sentimen antisemitisme dan serangan berabad-abad di Eropa adalah menciptakan negara Yahudi.
Meskipun beberapa perintis gerakan awalnya mendukung negara Yahudi di tempat seperti Uganda dan Argentina, akhirnya mereka meminta pembangunan negara di Palestina berdasarkan konsep kitab suci bahwa Tanah Suci dijanjikan kepada orang Yahudi oleh Tuhan.
Pada 1880-an, komunitas Yahudi Palestina, dikenal sebagai Yishuv, berjumlah tiga persen dari total populasi.
Berbeda dengan Yahudi Zionis yang akan datang ke Palestina nanti, Yishuv asli tidak bercita-cita untuk membangun negara Yahudi modern di Palestina.
Setelah kejatuhan Kekhalifahan Utsmaniyah atau Ottoman pada 1914, Inggris menduduki Palestina sebagai bagian dari perjanjian rahasia Sykes-Picot tahun 1916 antara Inggris dan Prancis untuk membagi Timur Tengah demi kepentingan imperial.
Pada 1917, sebelum dimulainya Mandat Inggris (1920-1947), Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour, berjanji untuk membantu "pembentukan suatu tempat tinggal nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina." Pada dasarnya, Inggris berjanji untuk memberikan negara yang sebenarnya bukan milik mereka.
Yang berperan penting dalam janji itu adalah Chaim Weizmann, pemimpin Zionis Rusia yang berbasis di Britania Raya dan seorang kimiawan.
Karena kontribusinya untuk Inggris selama Perang Dunia I (1914-1918), Weizmann punya hubungan yang baik dengan pemerintah Inggris.
Dia membujuk Perdana Menteri Inggris David Lloyd-George dan Menteri Luar Negeri Arthur Balfour selama lebih dari dua tahun agar berkomitmen secara publik untuk membangun tanah air bagi Yahudi di Palestina.
Dengan memberikan dukungan mereka terhadap tujuan Zionis di Palestina, Inggris berharap dapat memperkuat dukungan di antara populasi Yahudi yang signifikan di Amerika Serikat (AS) dan Rusia untuk upaya sekutu selama Perang Dunia I.
Inggris juga percaya Deklarasi Balfour akan menjamin kontrol mereka atas Palestina setelah perang.
Mulai tahun 1919, imigrasi Zionis ke Palestina yang difasilitasi oleh Inggris, meningkat drastis. Weizmann, yang kemudian menjadi presiden Israel pertama, mewujudkan mimpinya.
Antara 1922 dan 1935, populasi Yahudi naik dari sembilan persen menjadi hampir 27 persen dari total populasi, menggusur puluhan ribu rakyat Palestina dari tanah mereka ketika Zionis merampas dari rakyat dan membeli tanah dari tuan tanah yang ada di sana.
Baca Juga: Sejarah Konflik Israel-Palestina: Janji Inggris dalam Deklarasi Balfour hingga Pembantaian Nakba (I)
Pemberontakan Arab 1936
Intelektual Arab dan Palestina terkemuka secara terbuka memperingatkan tentang motif gerakan Zionis di surat kabar-surat kabar sejak tahun 1908.
Dengan pengambilalihan kekuasaan oleh Nazi di Jerman antara 1933 dan 1936, 30.000 hingga 60.000 orang Yahudi Eropa tiba di pantai-pantai Palestina.
Pada 1936, warga Arab Palestina melancarkan pemberontakan besar-besaran melawan Inggris dan kolonialisme penjajah Zionis, yang dikenal sebagai Pemberontakan Arab.
Otoritas Inggris menumpas pemberontakan itu, yang berlangsung hingga 1939, dengan kekerasan; mereka menghancurkan setidaknya 2.000 rumah warga Palestina, menahan 9.000 orang Palestina di kamp konsentrasi dan memperlakukan mereka dengan interogasi yang keras, termasuk penyiksaan, dan mengusir 200 pemimpin nasionalis Palestina.
Paling tidak sepuluh persen dari populasi laki-laki Palestina terbunuh, terluka, diasingkan, atau dipenjara pada akhir pemberontakan.
Pemerintah Inggris yang khawatir akan meletusnya kekerasan antara warga Palestina dan Zionis, berusaha untuk menghentikan beberapa kali imigrasi Yahudi dari Eropa. Lobi Zionis di London berhasil membatalkan upaya mereka.
Pada 1944, beberapa kelompok bersenjata Zionis menyatakan perang terhadap Inggris karena mencoba membatasi imigrasi Yahudi ke Palestina pada saat orang Yahudi melarikan diri dari Holocaust.
Organisasi paramiliter Zionis melancarkan serangkaian serangan terhadap Inggris, yang paling mencolok adalah pemboman Hotel King David pada 1946 di mana markas administrasi Inggris berada; 91 orang tewas dalam serangan itu.
Pada awal 1947, pemerintah Inggris mengumumkan mereka akan menyerahkan bencana yang mereka ciptakan di Palestina kepada PBB dan mengakhiri proyek kolonial mereka di sana.
Pada 29 November 1947, PBB mengadopsi Resolusi 181, merekomendasikan pembagian Palestina menjadi negara Yahudi dan Arab.
Saat itu, Yahudi di Palestina berjumlah sepertiga dari populasi dan punya kurang dari enam persen dari total luas tanah.
Di bawah rencana pembagian PBB, warga Yahudi mendapat alokasi 55 persen tanah, mencakup sebagian besar kota utama dengan mayoritas Arab Palestina dan garis pantai penting dari Haifa hingga Jaffa.
Yang artinya, negara Arab Palestina akan kehilangan tanah pertanian dan pelabuhan laut utama, yang membuat Palestina menolak proposal itu.
Tak lama setelah Resolusi PBB 181, perang pecah antara Arab Palestina dan kelompok bersenjata Zionis. Pasukan Zionis, tidak seperti Palestina, mendapatkan pelatihan dan senjata melalui pertempuran bersama Inggris dalam Perang Dunia II.
Kelompok paramiliter Zionis melancarkan proses pembersihan etnis dalam bentuk serangan besar-besaran yang bertujuan mengusir ratusan ribu warga Palestina dari kota-kota dan desa-desa mereka untuk membangun negara Yahudi, yang berujung pada terjadinya Nakba.
Meskipun beberapa pemikir Zionis mengeklaim tidak ada bukti rencana sistematis untuk pengusiran warga Palestina demi menciptakan negara Yahudi, dan mengatakan pengusiran mereka adalah hasil perang yang tidak disengaja, keberadaan mayoritas Arab Palestina di wilayah yang pemimpin Zionis bayangkan sebagai negara masa depan, membuat Nakba tak terhindarkan.
Baca Juga: Sejarah Konflik Israel-Palestina: Perang 6 Hari Naksa dan Intifada Pertama yang Lahirkan Hamas (II)
Mengapa Palestina Memperingati Nakba pada 15 Mei?
Otoritas pendudukan Inggris mengumumkan mereka akan mengakhiri mandat mereka di Palestina pada 15 Mei 1948 malam.
Delapan jam sebelumnya, David Ben-Gurion, yang menjadi perdana menteri Israel pertama, mengumumkan apa yang pemimpin Zionis sebut sebagai deklarasi kemerdekaan di Tel Aviv.
Mandat Inggris berakhir pada tengah malam, dan pada 15 Mei, negara Israel berdiri.
Warga Palestina memperingati tragedi nasional mereka kehilangan tanah air secara tidak resmi selama beberapa dekade, tetapi pada tahun 1998, mantan Presiden Otoritas Palestina Yasser Arafat menetapkan 15 Mei sebagai hari peringatan nasional, pada tahun ke-50 sejak Nakba.
Israel merayakan hari itu sebagai hari kemerdekaannya.
Kapan Sebenarnya Proses Pengusiran Dimulai?
Meskipun pengusiran warga Palestina dari tanah mereka oleh proyek Zionis sudah terjadi selama Mandat Inggris, pengusiran massal dimulai ketika rencana pembagian PBB disahkan.
Dalam waktu kurang dari enam bulan, mulai Desember 1947 hingga pertengahan Mei 1948, kelompok bersenjata Zionis mengusir sekitar 440.000 warga Palestina dari 220 desa.
Sebelum 15 Mei, beberapa pembantaian paling terkenal terjadi; pembantaian Baldat al-Sheikh pada 31 Desember 1947, menewaskan hingga 70 warga Palestina; pembantaian Sa'sa' pada 14 Februari 1948, ketika 16 rumah diledakkan dan 60 orang kehilangan nyawa; dan pembantaian Deir Yassin pada 9 April 1948, ketika sekitar 110 warga Palestina pria, wanita, dan anak-anak dibantai.
Baca Juga: Sejarah Konflik Israel-Palestina: Intifada Kedua, Perang Saudara dan Perang Gaza yang On Off (III)
Berapa Banyak Warga Palestina yang Diusir?
Ketika pasukan dari angkatan bersenjata Mesir, Lebanon, Suriah, Yordania, dan Irak menyerbu pada 15 Mei, perang Arab-Israel diluncurkan dan berlangsung hingga Maret 1949.
Pada paruh pertama tahun 1949, setidaknya 750.000 warga Palestina secara paksa diusir atau melarikan diri dari tanah air mereka.
Pasukan Zionis melakukan sekitar 223 kekejaman hingga tahun 1949, termasuk pembantaian, serangan seperti pengeboman rumah, penjarahan, serta penghancuran properti dan desa-desa.
Sebanyak 150.000 warga Palestina tetap berada di wilayah Palestina yang menjadi bagian dari negara Israel. Dari 150.000 tersebut, sekitar 30.000 hingga 40.000 mengalami pengusiran internal.
Seperti 750.000 yang diusir di luar batas negara baru, Israel melarang warga Palestina yang terus tinggal di dalam negeri, untuk kembali ke rumah mereka.
Dalam beberapa tahun setelah berdirinya Israel, negara itu melanjutkan pembersihan etnis sistematisnya.
Meskipun perjanjian gencatan senjata ditandatangani dengan Mesir, Yordania, Suriah, dan Lebanon pada tahun 1949, pasukan Israel yang baru terbentuk melakukan sejumlah pembantaian dan kampanye pengusiran paksa.
Sebagai contoh, pada tahun 1950, 2.500 warga Palestina yang tersisa di kota Majdal dipaksa ke Jalur Gaza, sekitar 2.000 penduduk Beer el-Sabe diusir ke Tepi Barat, dan sekitar 2.000 penduduk dua desa di utara, diusir ke Suriah.
Pada pertengahan 1950-an, populasi Palestina di dalam Israel menjadi sekitar 195.000. Antara tahun 1948 dan pertengahan 1950-an, sekitar 30.000, atau 15 persen dari populasi, diusir keluar dari batas negara baru, menurut kelompok hak pengungsi BADIL.
Apakah Nakba Sudah Berakhir?
Walaupun proyek Zionis telah memenuhi impian mereka untuk menciptakan "tanah air Yahudi" di Palestina pada 1948, proses pembersihan etnis dan pengusiran warga Palestina tidak pernah berhenti.
Selama Perang Arab-Israel 1967, yang dikenal sebagai Naksa, yang berarti "kemunduran", Israel menduduki wilayah Palestina yang tersisa, yaitu Yerusalem Timur, Tepi Barat, Jalur Gaza, dan terus mendudukinya hingga hari ini.
Meskipun menurut rencana pembagian PBB, Israel mendapat alokasi 55 persen tanah Palestina, saat ini kendalinya mencapai lebih dari 85 persen dari tanah Palestina berdasarkan sejarah.
Naksa menyebabkan pengusiran sekitar 430.000 warga Palestina, separuh dari mereka berasal dari wilayah yang diduduki pada 1948 dan oleh karena itu menjadi pengungsi dua kali.
Seperti dalam Nakba, pasukan Israel menggunakan taktik militer yang melanggar hukum hak asasi manusia dasar, seperti serangan terhadap warga sipil dan pengusiran.
Sebagian besar pengungsi melarikan diri ke Yordania, dan yang lain pergi ke Mesir dan Suriah.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Al Jazeera/United Nations