> >

Penyaluran Bantuan bagi Korban Banjir Libya Kacau gara-gara Dualisme Pemerintahan

Kompas dunia | 17 September 2023, 15:50 WIB
Petugas mengevakuasi jenazah korban banjir di Derna, timur Libya, Jumat (15/9/2023). Penduduk terdampak mengeluhkan penyaluran bantuan kepada korban banjir Libya yang menewaskan lebih dari 11.000 jiwa. Penyaluran bantuan ke korban banjir dirumitkan oleh pemerintahan Libya yang terpecah dua, di barat dan di timur. (Sumber: Ricardo Garcia Vilanova/Associated Press)

TRIPOLI, KOMPAS.TV - Penduduk terdampak mengeluhkan penyaluran bantuan kepada korban banjir Libya yang menewaskan lebih dari 11.000 jiwa. Penyaluran bantuan dirumitkan oleh pemerintahan Libya yang terpecah dua, di barat dan di timur.

Derna, kota paling terdampak banjir bandang yang terjadi pada Senin (11/9/2023) dini hari waktu setempat, terletak di daerah pemerintah timur Libya.

Namun, perawatan dua bendungan yang jebol sehingga menyebabkan banjir, sebelumnya menjadi kewenangan pemerintah barat yang berpusat di Tripoli.

Dilaporkan Associated Press, penyaluran bantuan ke Derna sangat tidak terorganisasi, jumlah bantuan yang mencapai daerah-daerah yang paling terdampak masih terbatas, bahkan berhari-hari sejak terjadinya bencana tersebut.

"Saat ini yang paling dibutuhkan adalah koordinasi," ungkap Manoelle Carton, koordinator medis pada organisasi Doctors Without Borders di Libya.

Jurnalis Libya, Ibrahim Al-Sunwisi, menyebut kedua pemerintahan itu sempat "kebingungan" ketika respons cepat untuk membantu korban banjir dibutuhkan.

"Terdapat semacam kebingungan antara pemerintah di barat dan di timur," kata Al-Sunwisi, dilansir Associated Press, Minggu (17/9/2023).

Baca Juga: Banjir Libya Tewaskan Belasan Ribu, Saksi: Gurun Tiba-tiba Berubah Menjadi Lautan

Libya sendiri terpecah oleh rentetan konflik dan dualisme pemerintahan usai penggulingan diktator Muammar Khadafi pada 2011 silam. Khadafi digulingkan dan dibunuh melalui pemberontakan yang disokong NATO.

Dua otoritas de facto saat ini disokong oleh kelompok milisi dan patronase internasional yang berbeda. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) beberapa kali berupaya menjembatani kedua pemerintahan, tetapi gagal.

Banjir Derna yang menewaskan lebih dari 11.000 orang dan menghanyutkan 10.000 lebih lainnya membuat desakan persatuan semakin kuat.

Duka kolektif akibat bencana ini membuat masyarakat Libya disebut semakin muak dengan perpecahan dan konflik yang telah berlangsung belasan tahun.

Banyak kalangan di Libya dilaporkan segera mengoordinasikan bantuan dan menjadi relawan ke Derna dan sekitarnya setelah banjir.

Sebagian penduduk di Tripoli dan daerah pemerintahan barat lain mengikuti gelombang relawan yang menuju Derna dan sekitarnya.

"Rasa sakit atau luka dari apa yang terjadi di Derna melukai seluruh masyarakat dari barat Libya hingga selatan Libya hingga timur Libya," kata seorang penduduk, Muhammad Al-Harari.

Kedua pemerintahan yang berseteru pun dilaporkan mau bekerja sama untuk membantu korban terdampak banjir. Hal ini terjadi sekitar tiga tahun usai pasukan timur mengepung Tripoli dalam operasi militer yang menewaskan ribuan orang.

"Kami melihat sejumlah komandan militer tiba dari Tripoli bersekutu dengan koalisi militer di Derna, menunjukkan dukungan," kata analis senior Libya di organisasi International Crisis Group, Claudia Gazzini.

Meskipun demikian, banyak kalangan menilai banjir bandang yang menerpa timur Libya semakin menunjukkan rentannya sistem politik di negara itu. Tragedi ini menjadi masalah terkini dari daftar panjang perisitiwa yang disebabkan kacaunya pemerintahan di Libya.

Dualisme pemerintahan membuat banyak infrastruktur strategis tidak terawat. Kelompok-kelompok bersenjata juga tersebar dan rentan menimbulkan konflik.

Di lain sisi, tidak adanya persatuan membuat akuntabilitas terkait banjir Derna sulit dituntut. Jaksa Agung Libya Al-Sediq Al-Sour telah berjanji akan menginvestigasi jebolnya dua bendungan di Derna. Namun, belum diketahui bagaimana Al-Sour akan mendakwa pihak terkait di tengah dualisme pemerintahan.

Pemerintahan yang berpusat di Tripoli sendiri telah mengakui bertanggung jawab atas perawatan bendungan. Namun, Perdana Menteri Abdul-Hamid Dbeibah menegaskan pihaknya tidak bertanggung jawab atas timbulnya korban jiwa dari banjir bandang.

Sementara itu, ketua pemerintahan timur Libya, Aguila Saleh, menyebut banjir bandang yang menewaskan belasan ribu orang ini adalah bencana alam.

"Jangan berkata, 'Seandainya kita melakukan ini, seandainya kita melakukan itu,'" kata Saleh.

Baca Juga: Memilukan, Ini Gambar Satelit Sebelum dan Sesudah Banjir Dahsyat di Libya yang Tewaskan 11.300 Orang

 

Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Associated Press


TERBARU