> >

Indonesia Selidiki Dugaan Ekspor Haram Bijih Nikel Rp14,5 T, China Sudah Serahkan Daftar Eksportir

Kompas dunia | 6 Juli 2023, 05:35 WIB
Pemerintah Indonesia saat ini dilaporkan sedang menyelidiki dugaan ekspor ilegal bijih nikel ke China senilai Rp14,5 triliunselama 2 setengah tahun sejak awal 2020. Ditjen Bea Cukai sudah mengonfirmasi temuan tersebut dengan pihak China dan sudah memperoleh daftar eksportir yang akan mereka bagikan dengan KPK. (Sumber: Kontan.co.id)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pemerintah Indonesia saat ini dilaporkan sedang menyelidiki dugaan ekspor ilegal bijih nikel ke China senilai Rp14,5 triliun sejak awal 2020.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini mengungkapkan sekitar 5,3 juta ton bijih nikel dari Indonesia dikirim secara ilegal ke China dari Januari 2020 hingga Juni 2022, seperti laporan Straits Times, Rabu (6/7/2023).

Diperkirakan hal ini menyebabkan Indonesia kehilangan Rp575 miliar royalti dan pajak ekspor.

Muhammad Wafid, Dirjen Minerba di Kementerian ESDM mengatakan, kantornya sedang berkoordinasi dengan institusi terkait, termasuk kedutaan Indonesia di Beijing, "Kami sedang memverifikasi semuanya karena ekspor bijih nikel dilarang," katanya seperti dikutip oleh Kontan.co.id.

Nirwala Dwi Heryanto, Juru Bicara Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan, mengatakan mereka sudah mengonfirmasi temuan tersebut dengan pihak China dan sudah memperoleh daftar eksportir yang akan mereka bagikan dengan KPK.

Staf khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Profesor Irwandy Arif mengatakan, kementeriannya tidak pernah mengeluarkan rekomendasi ekspor kepada Kementerian Perdagangan, yang punya kewenangan mengeluarkan izin ekspor, sejak pelarangan dimulai.

"Tidak ada rencana mengekspor bijih nikel dalam anggaran tahunan yang diajukan (sejak 1 Januari 2020)," ujarnya kepada The Straits Times.

Awalnya, KPK menemukan kesenjangan yang signifikan dalam nilai ekspor nikel antara Badan Pusat Statistik Indonesia dan Administrasi Umum Bea Cukai China.

Tidak ada rincian tentang asal bijih nikel yang ditampilkan, tetapi dugaan kuat berasal dari tambang di Sulawesi atau Maluku Utara, dua daerah penghasil nikel terbesar di Indonesia, menurut Ketua Satgas Sumber Daya Alam (SDA) Komisi Pembatasan Korupsi (KPK) Dian Patria.

Baca Juga: Rachmat Gobel Minta Komisi VII dan XI DPR Bahas Dugaan Ekspor Ilegal Nikel: Ini Persoalan Serius

Produksi bijih nikel Indonesia. Pemerintah Indonesia saat ini dilaporkan sedang menyelidiki dugaan ekspor ilegal bijih nikel ke China senilai Rp14,5 triliun sejak awal 2020. Ditjen Bea Cukai sudah mengonfirmasi temuan tersebut dengan pihak China dan sudah memperoleh daftar eksportir yang akan mereka bagikan dengan KPK. (Sumber: Kompas Bisnis Kompastv)

Pengiriman ini melanggar larangan ekspor bijih nikel mentah yang berlaku sejak Januari 2020. Hanya nikel olahan, seperti feronikel dan pig iron nikel, yang diizinkan untuk diekspor.

Larangan ini bertujuan untuk mendorong investasi dalam fasilitas pengolahan dan pabrik peleburan di Indonesia, sebagai produsen nikel terbesar di dunia, bahan penting dalam baterai kendaraan listrik (EV), serta untuk memperkuat industri lokal.

Kelompok bisnis dan para ahli menyerukan pemerintah untuk meningkatkan upaya penyelesaian kasus ini dan menghukum para pelaku pengiriman ilegal guna mencegah kegiatan melanggar hukum semacam itu.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia Meidy Katrin Lengkey mengatakan, bijih nikel tersebut mungkin telah dikirim ke berbagai pelabuhan di China dengan menggunakan deklarasi palsu atau memalsukannya sebagai nikel olahan, seperti pig iron nikel.

"Hanya mereka yang mengolah nikel yang punya akses ke pelabuhan internasional dan dapat langsung mengekspor produk mereka," katanya kepada Straits Times.

Meidy menambahkan pengawasan yang lemah oleh otoritas yang bertanggung jawab atas ekspor, seperti kantor bea cukai, mungkin menyebabkan pelanggaran tersebut.

"Eksportir melaporkan dokumen manifestasi kepada pejabat. Namun, apakah dokumen tersebut sesuai dengan barang yang sebenarnya dikirim? Kemungkinan besar tidak sesuai," kata Meidy seperti dikutip Straits Times.

Dalam pandangan yang serupa dengan Meidy, Direktur Eksekutif think tank Centre of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengatakan, karena jumlah ekspor ilegal tersebut sangat signifikan, para pelaku mungkin terkait dengan fasilitas pengolahan nikel yang dapat langsung mengekspor produk mereka ke luar negeri.

"Bijih nikel yang diekspor secara ilegal kemungkinan punya konsentrasi kurang dari 1,8 persen yang diperlukan oleh pelebur," kata Yusri kepada ST.

Baca Juga: Hipmi: Kebijakan Hilirisasi Nikel Sudah Baik, Pemerintah Harus Berani Hadapi IMF

Proses penambangan nikel oleh UBPN Kolaka. Pemerintah Indonesia saat ini dilaporkan sedang menyelidiki dugaan ekspor ilegal bijih nikel ke China senilai Rp14,5 triliun sejak awal 2020. Ditjen Bea Cukai sudah mengonfirmasi temuan tersebut dengan pihak China dan sudah memperoleh daftar eksportir yang akan mereka bagikan dengan KPK. (Sumber: Dok. Antam)

Meidy mengatakan perbedaan antara harga domestik dan harga global mungkin menjadi penyebab pengiriman ilegal tersebut.

"Harga ekspor lebih tinggi daripada harga domestik. Itulah mengapa beberapa nikel (bijih) dijual secara ilegal ke luar negeri."

Untuk mengatasi kesenjangan harga, asosiasi sedang mempersiapkan peluncuran indeks harga nikel Indonesia tahun 2024, tambahnya.

Yusri menyarankan agar pemerintah membentuk platform informasi nikel terpadu yang terhubung secara digital, dengan data seperti produksi nikel dari perusahaan pertambangan dan pengolahan serta penjualan domestik dan ekspor perusahaan-perusahaan tersebut.

Platform ini harus dapat diakses oleh berbagai lembaga pemerintah untuk memungkinkan pengawasan yang lebih ketat dan mencegah ekspor ilegal.

Indonesia punya cadangan nikel sebanyak 21 juta ton, hampir seperempat dari cadangan dunia, menurut Survei Geologi Amerika Serikat.

Baru-baru ini, Dana Moneter Internasional (IMF) menyarankan Indonesia untuk mengakhiri larangan ekspor bijih nikel kasar, dengan menyatakan peningkatan investasi asing belum memberikan dampak signifikan, seperti penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia.

Sementara itu, larangan ini telah menyebabkan korupsi dan pencarian keuntungan, kata IMF.

Namun, pejabat Indonesia membela kebijakan tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menerima miliaran dolar investasi asing dari perusahaan yang berminat untuk memproduksi kendaraan listrik (EV) dan baterai di negara ini.

 

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Straits Times


TERBARU