Belanda Resmi Akui 17 Agustus 1945 sebagai Hari Kemerdekaan Indonesia!
Kompas dunia | 15 Juni 2023, 02:03 WIBDEN HAAG, KOMPAS.TV - Belanda secara resmi mengakui "sepenuhnya dan tanpa syarat" bahwa Indonesia merdeka dari Belanda pada tanggal 17 Agustus 1945. Hal itu disampaikan oleh Perdana Menteri Mark Rutte di Parlemen Belanda, seperti laporan media NOS Belanda hari Kamis (15/6/2023).
Pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah Jepang menyerah, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, tetapi Belanda tidak pernah secara resmi mengakui momen tersebut, hanya mengakui 27 Desember 1949 sebagai hari penyerahan kedaulatan Belanda kepada Republik Indonesia.
Tahun 2005, Menteri Luar Negeri Belanda saat itu, Ben Bot, mengatakan menurut Belanda, kemerdekaan Indonesia "secara de facto" dimulai tahun 1945, tetapi secara resmi Belanda masih menggunakan tanggal 27 Desember 1949 saat terjadi serah terima kedaulatan dan Belanda melepaskan klaimnya atas Indonesia.
Antara tahun 1945 dan 1949 Belanda mengobarkan perang untuk mendapatkan kembali wilayah jajahan di Hindia Belanda yang saat itu sudah merdeka menjadi Republik Indonesia. Akhirnya, di bawah tekanan terutama dari Amerika Serikat, Belanda harus mundur.
Menanggapi pertanyaan dari partai GroenLinks dan D66, Rutte berjanji akan berdiskusi dengan rekannya di Indonesia, presiden Joko Widodo, untuk mencapai pemahaman bersama tentang perayaan Hari Kemerdekaan tersebut.
Namun, Rutte menekankan ia sendiri sering hadir dalam perayaan di Kedutaan Besar Indonesia pada tanggal 17 Agustus dan Raja Belanda telah mengirimkan telegram ucapan selamat kepada Jakarta selama bertahun-tahun pada hari tersebut.
Baca Juga: Belanda Minta Maaf atas Kekejaman Saat Perang Kemerdekaan, Indonesia Nyatakan Akan Pelajari Dokumen
Pengakuan Tidak Berlaku secara Hukum
Juru bicara Perdana Menteri Rutte menyatakan, setelah perdebatan, pengakuan tanggal kemerdekaan Indonesia itu tidak berlaku untuk urusan hukum. Juru bicara tersebut mengacu pada kontrak dan perjanjian yang dibuat oleh Belanda antara tahun 1945 dan 1949 terkait urusan di Indonesia. Hal itu tidak berubah. Menurutnya, PBB juga masih menggunakan tanggal 1949.
Menurut juru bicara tersebut, perbedaan ini tidak berhubungan dengan pertanyaan apakah Belanda pada saat itu berperang selama empat tahun melawan negara yang merdeka.
Mayoritas di Parlemen Belanda sepenuhnya mendukung "permintaan maaf mendalam" yang disampaikan oleh pemerintah Belanda kepada Indonesia atas kekerasan yang ekstrem selama perang kemerdekaan antara tahun 1945 dan 1949.
Namun, beberapa partai berpendapat masih ada "pemahaman yang salah" tentang peran sebagian besar tentara Belanda yang bertugas saat itu.
Hari Rabu (14/6/2023), Parlemen Belanda mendiskusikan laporan dari tiga lembaga penelitian terkemuka, termasuk NIOD, Institut untuk Studi Perang, Holokaus, dan Genosida.
Laporan-laporan tersebut menyimpulkan pihak Belanda melakukan "kekerasan sistematis dan berlebihan" selama proses dekolonisasi. Desa-desa dibakar, rakyat mengalami penyiksaan, dan dieksekusi mati tanpa proses pengadilan.
Lebih dari 75 tahun sejak saat itu, perpisahan dengan apa yang dulu disebut Hindia Belanda masih menyentuh perasaan dalam masyarakat, dan hal itu juga terjadi di Parlemen Belanda.
Beberapa anggota parlemen yang berbicara mengacu pada pengalaman keluarga mereka yang tinggal di Indonesia (dulu Hinda Belanda) atau bertugas sebagai tentara disana.
Misalnya, Roelof Bisschop dari partai SGP menjadi terharu ketika ia bercerita tentang ayahnya yang sebagai tentara wajib militer menjadi saksi eksekusi yang dilakukan seorang sersan Belanda yang menurutnya menegangkan karena semua adalah tindakan perang.
Baca Juga: Pemerintah Belanda Meminta Maaf atas Kekejaman Tentara Masa Perang Kemerdekaan Indonesia 1945 - 1949
Veteran Perang Belanda Terpojok
"Belanda ingin berkomitmen pada hak asasi manusia di seluruh dunia. Hal ini hanya mungkin dipercaya jika kita mengakui pelanggaran yang dilakukan oleh kita sendiri," kata anggota parlemen dari partai D66, Sjoerd Sjoerdsma. Seperti partai lainnya, ia menekankan sebagian besar tentara Belanda tidak disalahkan.
Namun, beberapa partai sayap kanan dalam debat tersebut mengungkapkan perasaan dari organisasi veteran yang menuduh para peneliti bersikap sepihak setelah laporan tersebut dirilis.
PVV, JA21, Forum voor Democratie, Groep Van Haga, dan BBB berpendapat veteran Hindia Belanda tidak pantas ditempatkan sebagai terdakwa. "Menurut kami, mereka adalah pahlawan," kata Raymond de Roon dari PVV.
Namun dalam laporan mereka, para peneliti juga memperhatikan penyebab kekerasan. Mereka menyoroti bahwa sekitar 200.000 tentara Belanda pergi tanpa persiapan yang memadai dan mereka menghadapi kekerasan berat dari pihak Indonesia.
Selain itu, dalam periode yang disebut Masa Bersiap, setelah penyerahan Jepang, banyak orang Eropa di Indonesia menjadi korban kekerasan berdarah.
Namun menurut para peneliti, hal itu tidak bisa dijadikan pembenaran untuk kekerasan yang dilakukan oleh pihak Belanda, di mana kepemimpinan politik dan militer saat itu bertanggung jawab.
Meskipun ada nuansa tersebut, partai-partai pemerintah VVD dan CDA juga berpendapat pandangan tentang para veteran tidak tepat.
Anggota VVD, Ruben Brekelmans, ingin agar pemerintah berupaya memperbaiki pandangan tersebut, antara lain melalui dialog dengan veteran. Anggota CDA, Derk Boswijk, berpendapat bukan hanya orang Indonesia, tetapi juga para veteran Hindia Belanda layak mendapat permintaan maaf.
Merespons hal tersebut, Perdana Menteri Rutte mengatakan permintaan maafnya juga ditujukan kepada veteran Belanda yang tidak melakukan kejahatan di Indonesia. Menurut Rutte, mereka dikirim dengan "tugas yang mustahil" ke sana. Ia ingin "menghadapi sejarah dengan pikiran yang terbuka," terutama terkait "trauma kolektif" ini.
Baca Juga: Kajian Resmi: Belanda Lakukan Kekerasan Berlebihan Saat Perjuangan Kemerdekaan Indonesia 1945-1949
Akui Kejahatan Perang
Partai seperti PvdA, GroenLinks, dan SP berpendapat pemerintah Belanda juga harus secara eksplisit mengakui, militer Belanda melakukan kejahatan perang. "Sejarah akan tercemar jika hal itu tidak dilakukan," kata Corinne Ellemeet dari GroenLinks.
Menurut pemerintah Belanda, hal itu tidak mungkin dilakukan karena istilah "kejahatan perang" baru secara hukum ditetapkan dalam perang domestik pada tahun 1949. Namun, pemerintah mengatakan kekerasan tersebut dapat dianggap sebagai kejahatan perang menurut definisi saat ini.
D66 ingin agar pemerintah melakukan lebih banyak langkah untuk memberikan kompensasi kepada keluarga korban di pihak Indonesia. Menurut anggota parlemen Sjoerdsma, ada daftar 900 korban yang keluarganya harus mendapatkan keadilan.
Jeffry Pondaag, ketua Komite Kehormatan Utang Belanda, telah berdebat selama bertahun-tahun untuk pengakuan tanggal kemerdekaan Indonesia. “Belanda tidak berhak menduduki dan menjarah negara yang jaraknya 1800 kilometer. Tanah itu milik orang lain,” seperti laporan Het Parool hari Kamis, (15/6/2023).
Bagi Pondaag, tidak berhenti sampai di situ dan pengakuan juga harus memiliki konsekuensi hukum. “Belanda melakukan kejahatan perang selama perang kemerdekaan karena menyerang wilayah negara lain. Istilah Hindia Belanda juga harus dihilangkan dari semua buku. Dan uang 4,5 miliar gulden yang dibayarkan Indonesia kepada Belanda harus dikembalikan. Dengan bunga, jumlahnya mencapai 24 miliar euro.”
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : NOS / Het Parool