Idulfitri di Khartoum Sudan Penuh Letusan Senjata Berat, Pemimpin Militer Janjikan Pemerintah Sipil
Kompas dunia | 21 April 2023, 20:51 WIBBaca Juga: Ini Alasan Kenapa Konflik di Sudan jadi Masalah Baru yang Bisa Bikin Pening Dunia
Baik Burhan maupun saingannya, Komandan Pasukan Dukungan Cepat RSF Mohammad Hamdan Dagalo, berusaha menggambarkan diri mereka sebagai pendukung demokrasi.
Pada tahun 2019, mereka berbalik melawan diktator lama Omar al-Bashir dan menggulingkannya dari jabatan kekuasaan dalam sebuah pemberontakan rakyat.
Namun, sejak saat itu, mereka gagal melaksanakan perjanjian untuk menyerahkan kekuasaan. Pasukan mereka menghancurkan protes pro-demokrasi, dan pada tahun 2021 mereka bersama-sama melakukan kudeta yang menggulingkan pemerintahan transisi dan mengokohkan mereka sebagai pemimpin paling berkuasa di Sudan.
Ledakan kekerasan saat ini antara mereka terjadi setelah Burhan dan Dagalo berselisih tentang kesepakatan terbaru yang dimediasi oleh komunitas internasional dengan aktivis demokrasi yang dimaksudkan untuk menggabungkan RSF ke dalam militer dan akhirnya menuju pemerintahan sipil.
Sejak hari Sabtu, militer dan RSF tidak menunjukkan tanda-tanda untuk meredakan pertempuran mereka. Militer pada hari Kamis menolak negosiasi dengan RSF, mengatakan mereka hanya akan menerima penyerahan diri RSF.
Kekerasan ini mendorong penduduk Sudan ke ambang kehancuran dan membuka babak hitam dan kacau dalam sejarah negara ini.
Ketakutan semakin meningkat bahwa kekacauan di negara yang berlokasi strategis ini dapat melibatkan negara tetangganya, termasuk Chad, Mesir, dan Libya.
Baca Juga: Keadaan Makin Gawat di Sudan, Militer AS Siapkan Evakuasi Staf dan Keluarga dari Kedutaan Besar
Serangan bom dan tembakan penembak jitu telah menghantam infrastruktur sipil, termasuk rumah sakit, dalam seminggu terakhir.
Serangan bom dan tembakan sniper telah menghantam infrastruktur sipil termasuk rumah sakit dalam seminggu terakhir. Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus pada hari Jumat, (21/4/2023) mengutuk apa yang ia sebut sebagai serangan "yang sangat tidak pantas" terhadap fasilitas kesehatan, dengan mengatakan serangan itu "tidak hanya membahayakan nyawa para pekerja kesehatan tetapi juga merampas pelayanan medis yang sangat diperlukan bagi warga yang rentan."
Juru bicara WHO, Margaret Harris, mengatakan kepada wartawan di Jenewa bahwa kekerasan telah memaksa 20 fasilitas kesehatan di seluruh Sudan untuk berhenti beroperasi.
Menurut UNICEF, sekitar satu lusin rumah sakit lainnya terancam harus ditutup, yang mengancam sekitar 50.000 anak yang mengalami malnutrisi parah di Sudan yang mengandalkan pemberian makanan melalui tabung untuk bertahan hidup.
Baik militer maupun RSF punya sejarah panjang pelanggaran hak asasi manusia di Sudan. RSF lahir dari milisi Janjaweed, yang dituduh melakukan kekejaman massal ketika pemerintah mengirim mereka untuk menghadapi pemberontakan di wilayah Darfur di Sudan barat pada awal 2000-an.
"Benar-benar sulit untuk tetap tenang," kata Abdelmoniem, menggambarkan kelangkaan bahan bakar, obat-obatan, uang tunai, dan makanan yang menyebabkan keputusasaan di sebagian besar Khartoum.
"Orang-orang mengucapkan 'Selamat Idulfitri' padaku," tambahnya. "Tapi kemudian aku menyalakan berita."
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Associated Press