> >

Kondisi Tragis Korban Selamat Gempa Suriah Bermunculan, Bertahan dalam Kondisi Beku tanpa Bantuan

Kompas dunia | 17 Februari 2023, 04:45 WIB
Korban selamat gempa Suriah di Kota Jindaris bertahan di udara terbuka, termasuk anak-anak dan lansia. Kisah sedih dan memilukan korban selamat gempa Suriah mulai bermunculan, hampir semua dari korban selamat harus menyabung nyawa bertahan dalam kondisi beku. (Sumber: France24)

JINDARIS SURIAH, KOMPAS.TV – Kisah sedih dan memilukan korban selamat gempa Suriah mulai bermunculan seiring datangnya bantuan internasional, termasuk dari Indonesia.

Hampir semua dari korban selamat harus menyabung nyawa bertahan dalam kondisi beku tanpa perlindungan yang cukup. Selain itu, makanan, obat-obatan hampir tidak ada dengan sanitasi yang hancur.

Inilah salah satu kisah korban selamat gempa Suriah yang dilaporkan France24, Kamis (16/2/2023).

Sejak gempa meluluhlantahkkan rumahnya, guru asal Suriah, Suzanne Abdallah tinggal di sebuah truk kecil yang dijejali anggota keluarganya, hanya sepelemparan batu dari tempat berdirinya rumah mereka sebelum gempa.

"Sepuluh dari kami masuk ke dalam truk ini. Kami tidur sambil duduk," kata pria berusia 42 tahun itu, mengenakan pakaian berlapis dan syal wol melilit kepalanya melawan beku musim dingin yang menggigit.

Bayi laki-lakinya sedang tidur di tempat tidur gantung darurat, terbuat dari selimut yang berayun dari atap kendaraan yang penuh sesak, sementara tujuh anak lainnya berbagi sarapan sederhana di dalamnya.

“Kondisinya sulit, apalagi saya punya balita,” kata Suzanne Abdallah. "Saya bangun pagi ini dan mendapati tangannya sangat dingin, jadi saya menjemurnya di bawah sinar matahari untuk menghangatkannya."

Baca Juga: PBB Peringatkan Jumlah Korban Tewas Gempa Suriah akan Meningkat Tajam

Korban selamat gempa Suriah di Jindaris dekat perbatasan Turki bertahan dalam kondisi beku. Kisah sedih dan memilukan korban selamat gempa Suriah mulai bermunculan, hampir semua dari korban selamat harus menyabung nyawa bertahan dalam kondisi beku. (Sumber: Franc24)

"Kami menginginkan tempat berlindung; kami membutuhkan bantuan demi anak-anak kecil."

Suzanne Abdallah dan keluarganya termasuk di antara beberapa juta warga Suriah yang kehilangan tempat tinggal, menurut perkiraan PBB, akibat gempa berkekuatan magnitudo 7,8 yang juga menghancurkan sebagian besar wilayah Turki dan Suriah.

Lebih dari 40.000 orang tewas di kedua negara akibat bencana pada 6 Februari 2023 yang meratakan seluruh distrik, termasuk di kota asal Abdallah, Jindaris di wilayah Suriah dekat perbatasan Turki.

Rakyat Suriah mengalami lebih dari satu dekade perang saudara yang brutal, dan banyak yang melarikan diri ke Provinsi Idlib yang dikuasai pemberontak dari daerah lain yang sekarang berada di bawah kendali pasukan Presiden Bashar al-Assad.

Orang-orang yang selamat dari gempa dahsyat, sejak itu berkerumun di tempat mana pun yang dapat mereka temukan. Banyak yang tidur di tenda dan kendaraan, yang lainnya berkerumun di sekitar api unggun di luar.

Baca Juga: Dubes Rusia untuk RI: Ada Standar Ganda Penyaluran Bantuan Gempa, Suriah Dikesampingkan

Korban gempa Suriah bertahan di udara terbuka melewati malam dalam kondisi beku, termasuk perempuan, anak-anak dan lansia. Kisah sedih dan memilukan korban selamat gempa Suriah mulai bermunculan, hampir semua dari korban selamat harus menyabung nyawa bertahan dalam kondisi beku (Sumber: France24)

Hidup yang makin tragis

Ayah mertua Suzanne Abdallah mengubah kendaraannya menjadi rumah darurat untuk putra-putranya dan keluarga mereka, menutupi bagian atas truk dengan selimut dan permadani sebagai penyekat tambahan.

"Tinggal di dalam mobil itu sulit; kami ini dua rumah tangga," kata Abdallah seperti dikutip France24.

Di sekitar sini, sebagian besar distrik hancur menjadi puing-puing, lokasi penyelamat dari kelompok Helm Putih menemukan lebih dari 500 mayat.

Jindaris adalah salah satu kota yang paling parah dilanda gempa yang menewaskan lebih dari 3.600 orang di lima provinsi Suriah, mengeklaim jumlah korban tewas tertinggi di Idlib dan Aleppo.

Keluarga korban selamat di sini tidur di sekolah, masjid, dan kamp pengungsian atau di tempat penampungan dasar yang dibangun di ruang terbuka seperti kebun zaitun dan lapangan umum.

Di seberang kota, keluarga pensiunan karyawan Abdelrahman Haji Ahmed dan tetangganya sekarang tinggal di tenda darurat yang didirikan di tengah jalan mereka yang telah dibongkar.

Pada malam hari, kaum perempuan dan anak-anak meringkuk di dalamnya, di bawah seprai dan selimut plastik yang compang-camping, sementara Ahmed dan pria lainnya tidur di bawah bintang-bintang.

Badan anak-anak PBB, UNICEF, menekankan kebutuhan mendesak untuk "akses ke air minum yang aman dan layanan sanitasi, yang sangat penting dalam mencegah penyakit" setelah gempa.

"Tidak ada listrik, tidak ada air, tidak ada sanitasi," katanya seperti dikutip France24, dengan bekas rumahnya yang hancur di belakangnya, "Kehidupan semua keluarga tragis."

Ahmed menggendong putri kecilnya, diawasi oleh anak-anak lain, dan mengatakan saat ini yang dibutuhkan keluarganya hanyalah "satu atau dua tenda agar anggota keluarganya dapat beristirahat.

"Kemudian kita akan melihat apa yang harus dilakukan selanjutnya, tapi inilah yang kami minta sekarang," tambahnya. "Kami tidak memikirkan masa depan. Situasi kami saat ini tidak memungkinkan."

Baca Juga: KBRI Damaskus Salurkan Bantuan untuk Korban Gempa Suriah, Bantuan Jakarta Menyusul

Kehancuran di Jindaris, dekat perbatasan Suriah. Kisah sedih dan memilukan korban selamat gempa Suriah mulai bermunculan, hampir semua dari korban selamat harus menyabung nyawa bertahan dalam kondisi beku (Sumber: France24)

Tidak tertahankan lagi

Beberapa bantuan internasional telah tiba di wilayah tersebut, termasuk konvoi truk yang melintasi perbatasan Turki, tetapi banyak korban selamat di Jindaris masih sangat membutuhkan bantuan.

Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan mengatakan tempat berlindung adalah salah satu kebutuhan prioritas utama, bersama dengan makanan darurat siap saji, pemanas, dan fasilitas kebersihan.

Di kamp lain, di pinggiran Jindaris, Khawthar al-Shaqi yang berusia 63 tahun sekarang tinggal bersama putri dan cucunya setelah menghabiskan empat malam pertama di tempat terbuka.

"Kami berlindung di kamp di mana kami dapat menemukan tempat berlindung," kata Shaqi, yang bertahun-tahun lalu melarikan diri dari kota asalnya Homs dan mengatakan dia sekarang kekurangan sarana untuk memenuhi kebutuhan paling dasar sekali pun.

"Kami tidak mampu membeli sebotol air atau pakaian," katanya saat anak-anak kecil itu bermain di luar tenda. "Jika kami ingin pergi ke kota, kami tidak punya transportasi atau uang."

"Kondisi tidak lagi dapat ditoleransi dan kami tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan anak-anak. Di sini kami duduk dalam kedinginan... Kami tidak memiliki apa-apa selain belas kasihan Allah SWT," tuturnya lirih.

 

 

 

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV/France24


TERBARU