Turuti Aspirasi Publik yang Frustrasi, China Batalkan Tes Covid-19 untuk Transportasi Umum
Kompas dunia | 3 Desember 2022, 22:50 WIBBEIJING, KOMPAS.TV — Otoritas China mengumumkan pelonggaran lebih lanjut pembatasan Covid-19, Sabtu (3/12/2022). Kota besar seperti Shenzhen dan Beijing, kini tidak lagi mewajibkan hasil negatif tes Covid-19 untuk naik angkutan umum.
Melansir Associated Press, pelonggaran persyaratan itu menuruti gelombang protes rakyat China di seantero negeri, yang frustrasi oleh ketatnya pembatasan Covid-19, bahkan saat dunia telah terbuka. Pelonggaran persyaratan pengujian Covid-19 itu terjadi meski infeksi virus harian China mencapai rekor tertinggi.
Pusat manufaktur teknologi Shenzhen menyebut, komuter tidak perlu lagi menunjukkan hasil tes Covid-19 negatif untuk menggunakan transportasi umum atau saat memasuki apotek, taman, dan tempat wisata.
Di ibu kota Beijing, hasil tes negatif juga tak lagi diperlukan untuk mengakses angkutan umum mulai hari Senin.
Namun, hasil negatif yang diperoleh dalam 48 jam terakhir masih diperlukan untuk memasuki tempat-tempat seperti pusat perbelanjaan yang dibuka kembali secara bertahap, dan banyak restoran dan tempat makan yang menyediakan layanan bawa pulang.
Persyaratan tersebut menimbulkan keluhan dari beberapa warga Beijing. Meskipun kota tersebut telah menutup banyak stasiun pengujian Covid-19, namun sebagian besar tempat umum masih memerlukan tes Covid-19.
Meskipun ada langkah-langkah pelonggaran, pihak berwenang mengatakan strategi "nol Covid", yang bertujuan untuk mengisolasi setiap orang yang terinfeksi, masih ada.
Baca Juga: Xi Jinping Disebut Akui Kebijakan Nol-Covid Buat Rakyat China Frustrasi, Isyaratkan Pelonggaran
Pada Sabtu, karena putaran Covid-19 saat ini menyebar dengan cepat, otoritas Beijing mengatakan perlu terus menerapkan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian sosial yang dinormalisasi.
Pemerintah China melaporkan 33.018 infeksi domestik dalam 24 jam terakhir, termasuk 29.085 tanpa gejala.
Saat seluruh dunia belajar hidup berdampingan dengan virus, China tetap menjadi satu-satunya negara besar yang masih berpegang pada strategi "nol-Covid". Kebijakan tersebut, yang diterapkan sejak pandemi dimulai, menyebabkan penutupan wilayah dan pengujian massal di seluruh negeri.
China masih memberlakukan karantina wajib bagi pelancong yang datang meski jumlah infeksinya rendah dibandingkan dengan 1,4 miliar populasinya.
Demonstrasi baru-baru ini, yang terbesar dan paling tersebar luas dalam beberapa dekade, meletus pada 25 November setelah kebakaran di sebuah gedung apartemen di kota barat laut Urumqi menewaskan sedikitnya 10 orang.
Insiden itu memicu pertanyaan dan kemarahan publik tentang apakah petugas pemadam kebakaran atau korban yang mencoba melarikan diri diblokir oleh pintu yang terkunci atau kontrol anti-virus lainnya. Pihak berwenang membantahnya, tetapi kematian tersebut menjadi fokus frustrasi publik.
China mengalami protes selama beberapa hari di berbagai kota termasuk Shanghai dan Beijing. Para pengunjuk rasa menuntut pelonggaran pembatasan Covid-19.
Baca Juga: Demi Redakan Amarah Publik, China Longgarkan Pembatasan Ketat Covid-19 di Berbagai Kota
Beberapa pengunjuk rasa menuntut Presiden China Xi Jinping mundur, sebuah pertunjukan perbedaan pendapat publik yang luar biasa dalam masyarakat di mana Partai Komunis yang berkuasa menjalankan kendali penuh.
Pemerintah Xi Jinping berjanji mengurangi biaya dan gangguan kendali, tetapi mengatakan akan tetap dengan kebijakan "nol Covid".
Pakar kesehatan dan ekonom memperkirakan, kebijakan ketat itu akan tetap berlaku setidaknya sampai pertengahan 2023 dan mungkin hingga 2024. Sementara itu, vaksinasi jutaan orang tua tetap berjalan sebagai persiapan untuk mencabut kontrol yang membuat sebagian besar pengunjung keluar dari China.
Meski pemerintah mengakui beberapa kesalahan, terutama menyalahkan para pejabat yang terlalu bersemangat menjalankan kebijakan nol Covid, kritik terhadap kebijakan pemerintah dapat mengakibatkan hukuman.
Mantan bintang NBA Jeremy Lin, yang bermain untuk tim China, baru-baru ini didenda 10.000 yuan atau hampir Rp22 juta karena mengkritik kondisi fasilitas karantina tim, menurut laporan media lokal.
Pada Jumat (2/12), Direktur Kedaruratan organisasi kesehatan dunia WHO Dr Michael Ryan mengatakan bahwa badan PBB itu "senang" melihat China melonggarkan beberapa pembatasan virus corona. "Sangat penting bahwa pemerintah mendengarkan rakyatnya ketika rakyatnya kesakitan," ujarnya.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV