> >

Burkina Faso Kembali Diguncang Kudeta Militer, Keadaan Makin Mencekam

Kompas dunia | 1 Oktober 2022, 20:20 WIB
Juru bicara kudeta Kapten Kiswendsida Farouk Azaria Sorgho membaca pernyataan di studio di Ougadougou, Burkina Faso, Jumat (30/9/2022). Burkina Faso kembali dilanda kudeta. (Sumber: AP Photo/RTB)

OUAGADOUGOU, KOMPAS.TV — Ketika ekstremis Islam mengintensifkan serangan mereka di Burkina Faso awal tahun ini, pemimpin kudeta Letnan Kolonel Paul Henri Sandaogo Damiba mendesak rakyat negara Afrika Barat itu untuk memberinya waktu hingga September untuk memperbaiki keadaan sebagai presiden sementara.

Namun seperti laporan Associated Press, Sabtu (1/10/2022), sekelompok perwira junior mengatakan waktu sudah habis bagi pemimpin junta militer Letnan Kolonel Paul Henri Sandaogo Damiba hari Jumat malam, dalam kudeta baru yang diluncurkan pada 30 September 2022.

Kekhawatiran meningkat pada hari Sabtu, bahwa kondisi politik terbaru yang fluktuatif akan semakin mengalihkan perhatian militer dan memungkinkan para ekstremis untuk memperkuat cengkeraman di negara yang dulunya damai.

Kepemimpinan junta baru Burkina Faso mengumumkan di televisi pemerintah bahwa mereka akan secara efektif memulai kembali demokrasi, sehingga menghapus banyak diplomasi yang sudah dikerjakan antara Burkina Faso dan blok regional Afrika Barat yang dikenal sebagai ECOWAS.

"Pemerintahan Damiba baru saja mencapai titik temu dengan ECOWAS, menyetujui garis waktu transisi pada Juli," kata Eric Humphery-Smith, analis senior Afrika di perusahaan intelijen risiko Verisk Maplecroft.

Pemimpin baru Burkina Faso, Kapten Ibrahim Traore, berjanji untuk merombak militer sehingga lebih siap untuk memerangi ekstremis.

Baca Juga: 55 Warga Desa Tewas Dibunuh Kelompok Bersenjata di Burkina Faso

Para pemuda meneriakkan slogan-slogan menentang kekuasaan Letnan Kolonel Damiba, melawan Prancis dan pro-Rusia, di Ouagadougou, Burkina Faso, Jumat 30 September 2022. (Sumber: AP Photo/Sophie Garcia)

Dia menuduh Damiba mengikuti strategi gagal yang sama seperti mantan Presiden Roch Marc Christian Kabore, yang digulingkan Damiba dalam kudeta Januari.

Junta mengatakan dalam sebuah pernyataan hari Jumat malam bahwa negara itu akan melakukan "semua pasukan tempur untuk kembali fokus pada masalah keamanan dan pemulihan integritas wilayah kami."

Tetapi masih harus dilihat apakah kepemimpinan baru dapat membalikkan krisis yang telah memaksa 2 juta penduduk meninggalkan rumah mereka.

Awal bulan ini, Damiba berbicara kepada bangsa dan mengatakan kepada orang-orang Burkinabe bahwa "upaya kami mulai membuahkan hasil di tingkat operasional militer."

Hanya dua hari kemudian, sebuah bom pinggir jalan menghantam sebuah konvoi militer di utara, menewaskan sedikitnya 35 orang.

Minggu ini, sedikitnya 11 tentara tewas dan 50 warga sipil hilang setelah orang-orang bersenjata menyerang konvoi pasokan di Gaskinde, sebuah komune di provinsi Soum di Sahel.

Baca Juga: Puluhan Orang Tewas akibat Serangan Kelompok Teroris di Berbagai Lokasi Burkina Faso

Peta konflik wilayah Sahel Afrika, lokasi pembantaian 47 warg sipil dan tentara Burkina Faso oleh kelompok yang dituding sebagai jihadis garis keras (Sumber: France24)

"Menghadapi situasi keamanan yang terus memburuk, kami para perwira dan perwira junior angkatan bersenjata nasional, termotivasi untuk mengambil tindakan dengan keinginan untuk melindungi keamanan dan keutuhan negara kami," kata pernyataan yang dibacakan juru bicara junta Kapten Kapten Kiswendsida Farouk Azaria Sorgho, Jumat.

"Sebuah pertemuan akan diadakan untuk mengadopsi piagam konstitusi transisi baru dan untuk memilih presiden Burkina Faso yang baru, baik sipil atau militer," lanjut pernyataan itu.

Perkembangan hari Jumat terasa terlalu akrab di Afrika Barat, di mana kudeta di Mali pada Agustus 2020 memicu serangkaian perebutan kekuasaan militer di wilayah tersebut.

Mali juga mengalami kudeta kedua sembilan bulan setelah penggulingan presidennya pada Agustus 2020, ketika pemimpin junta mengesampingkan rekan-rekan transisi sipilnya dan menempatkan dirinya sendiri sebagai penanggung jawab.

Chrysogone Zougmore, presiden Gerakan Hak Asasi Manusia Burkina Faso, menyebut perkembangan itu "sangat disesalkan," mengatakan ketidakstabilan tidak akan membantu dalam perang melawan kekerasan ekstremis Islam.

"Bagaimana kita bisa berharap untuk menyatukan rakyat dan tentara jika yang terakhir ditandai dengan perpecahan yang begitu serius?" kata Zougmore. "Sudah waktunya bagi faksi-faksi militer reaksioner dan politik ini untuk berhenti memimpin Burkina Faso."

 

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV/Associated Press


TERBARU