Boris Johnson, Mantan Jurnalis, Wali Kota London, dan PM Inggris yang Doyan Langgar Aturan
Kompas dunia | 8 Juli 2022, 07:05 WIBMenjadi koresponden Telegraph di Brussel, Johson kerap mengolok-olok regulasi yang dikeluarkan oleh Komisi Eropa. Namun, banyak rekannya sesama reporter di Brussel justru merasa bahwa artikel-artikel Johnson lebay dan dilebih-lebihkan. Dan, dalam beberapa kasus, disebut tidak benar.
“Semua yang saya tulis di Brussel punya efek eksplosif di Partai Konservatif. Rasanya seperti melempar batu ke dinding taman dan mendengar suara ledakan di Inggris. Ini memberi saya perasaan aneh tentang kekuasaan,” tutur Johnson pada BBC pada 2005.
Baca Juga: PM Inggris Boris Johnson Umumkan Lengser, Ini 5 Skandal yang Picu Kejatuhannya
Bencana mengadang lagi saat rekaman pembicaraan telepon antara Johnson dan seorang teman dari Oxford, Darius Guppy, bocor ke publik. Guppy rupanya meminta alamat seorang jurnalis News of the World yang telah menyelidiki skandal-skandalnya, untuk digebuki.
Dalam pembicaraan telepon itu, Johnson menyanggupi memenuhi permintaan Guppy. Guppy kemudian dipenjara atas penipuan, dan tidak disebutkan bagaimana nasib jurnalis penyelidik skandal-skandalnya itu.
Hastings lalu mengonfrontasinya tentang rekaman itu, yang diam-diam telah dikirim ke Telegraph. Johnson lalu meminta maaf dan dikirim kembali ke Brussel dengan teguran.
Pada 1999, Johnson jadi editor The Spectator, majalah sayap kanan yang berpengaruh, dan dua tahun kemudian akhirnya mencapai ambisinya masuk ke Parlemen.
Johnson Menapaki Karier Politik
Namun, Johnson lebih kerap dianggap sebagai komedian dan orang TV, ketimbang dinilai sebagai kandidat serius kekuasaan.
Johnson harus menunggu hingga 2007 untuk dapat kesempatan naik jenjang saat David Cameron, pemimpin Konservatif, menunjuknya sebagai kandidat Wali Kota London dari Tory, sebutan untuk kubu Konservatif.
Johnson mengejutkan publik saat mengalahkan kandidat kubu Partai Buruh, Ken Livingstone, yang tampak tak terkalahkan. Ia bahkan menang lagi empat tahun kemudian.
Sebagai wali kota, Johnson menghapus ‘bendy buses’ alias bus bengkok dari jalanan London. Ia kemudian mengimplementasikan skema penyewaan sepeda (yang sehari-hari kondang disebut ‘sepeda Boris’). Johnson juga mengatur Olimpiade London 2012.
Pada awal 2016, Johnson kembali ke Parlemen sebagai anggota. Keputusan David Cameron sang perdana menteri untuk menggelar referendum jadi momen penentu bagi Inggris, juga bagi Johnson.
Keputusan Johnson untuk bergabung dengan pendukung Brexit ternyata jadi pukulan berat bagi Cameron yang ingin Inggris tetap berada dalam Uni Eropa. Johnson pun terpikir untuk menggantikan Cameron sebagai pemimpin Konservatif dan perdana menteri.
Namun, popularitasnya rusak saat kolega dan teman dekatnya, Michael Gove menarik dukungan dan malah memutuskan untuk mencalonkan diri. Gove menyebut Johnson tak layak untuk bekerja sebagai perdana menteri. Ini sungguh pembunuhan politik yang brutal, hingga Johnson pun terpikir untuk mengakhiri karier politiknya.
Namun, pemenang kursi PM Inggris sesungguhnya, Theresa May, justru kemudian menunjuk Johnson sebagai menteri luar negeri.
Pada 2018, Johnson mundur dari kabinet sebagai protes pada kesepakatan Brexit Theresa May. Johnson menyebut kesepakatan itu akan membuat Inggris berstatus sebagai koloni.
Ia kembali pada pekerjaannya sebagai kolumnis bergaji tinggi di Daily Telegraph. Namun, ia segera menuai kontroversi dan tudingan Islamofobia usai menulis bahwa perempuan muslim yang mengenakan burka “tampak seperti kotak surat”.
Saat Theresa May mundur, Johnson pun mencalonkan diri sebagai pemimpin Konservatif. Kali ini, ia sukses.
Kebijakannya mendukung Brexit mengantarnya menuju kursi perdana menteri Inggris.
Penulis : Vyara Lestari Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : BBC