Ketika Perang di Suriah Mereda, Para Remaja Belajar Melupakannya dengan Berdansa
Kompas dunia | 21 Juni 2022, 21:46 WIBDAMASKUS, KOMPAS.TV - Selama satu jam dalam seminggu, para remaja mengunjungi sebuah studio di kota Damaskus, Suriah, untuk berdansa, menyingkirkan sisa ingatan atas perang 11 tahun yang masih bersemayam di kepala.
"Satu, dua, tiga, stop. Lima, enam, tujuh, stop."
Sekelompok pasangan remaja tampak melangkah, berdansa, sesekali melakukan gerakan berputar diiringi ritme musik salsa yang menggoyang kekhawatiran.
Adnan Mohammed, 42 tahun, mengajar kelas dasar tarian Latin, membantu murid-muridnya melupakan masalah perang, bahkan jika itu hanya berguna untuk sesaat.
"Mereka telah kembali sebagai pribadi yang berbeda," ujar Mohammed pada Associated Press, Senin (13/6/2022).
Bagi murid-murid Mohammed, studio dansa adalah sebentuk pelepasan, ruang di mana ritme musik membawa mereka jauh dari tekanan sosial dan ekonomi selepas perang.
Apapun itu, politik, kecemasan atas mata uang negara yang kian terdepresiasi, semuanya berharap akan musnah dari ingatan, walau hanya satu jam.
"Mereka menyingkirkan energi negatif itu dan mulai optimistis," terang Mohammed.
"Saya yakin kami memberi mereka energi baru untuk tinggal di negara ini. Sekarang ada alasan bagi mereka untuk melanjutkan hidup," lanjutnya.
Baca Juga: Fatima Payman, Korban Konflik Afghanistan yang Jadi Senator Berhijab Pertama di Australia
Pada 2011, gelombang protes terhadap pemerintah menggema di Timur Tengah, sesuatu yang kemudian dikenal dengan peristiwa Arab Springs.
Kerusuhan dimulai sejak 15 Maret 2011 ketika masyarakat Suriah menyerukan kepada presiden diktator Bashar al-Assad untuk lengser dari tampuk kekuasaan.
Beberapa remaja yang melukis slogan-slogan revolusioner di dinding sekolah ditangkap dan disiksa, memunculkan protes besar yang memaksa pasukan keamanan menembaki demonstran, menewaskan beberapa orang, lalu menyedot lebih banyak masyarakat yang berempati untuk ikut turun ke jalan.
Kekerasan meningkat menjelma menjadi konflik bersenjata sekaligus perang saudara, ketika oposisi pemerintah membentuk brigade pemberontak demi melawan pasukan pemerintah, lantas menguasai kota-kota dan pedesaan.
Menyitat laporan BBC yang melansir data PBB pada Juni 2013, sekira 90.000 orang diprediksi tewas akibat perang saudara itu.
Kondisi kisruh dimanfaatkan radikalis yang kemudian mendirikan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) pada 2014. Kekacauan besar melanda hingga pemerintah melibatkan bantuan asing untuk turun berperang.
Sejumlah negara seperti Rusia, Amerika Serikat, Turki dan Iran terlibat langsung di medan pertempuran.
Hanya dalam rentang kurang lebih 2 tahun, pada Agustus 2015, PBB memperkirakan jumlah korban tewas menjadi 250.000 jiwa, naik nyaris 300 persen dari korban perang saudara yang dirilis pada 2013.
Akan tetapi, pada akhirnya Bashar al-Assad mampu memadamkan pemberontakan bersenjata berkat bantuan sekutu militernya, Rusia dan Iran.
Saat ini hanya tersisa beberapa wilayah yang masih di luar kendali pemerintah. Yang pasti, selama beberapa tahun terakhir, garis konflik sebagian besar sudah dibekukan.
Hanya saja, bagaimanapun perang selalu mendatangkan kehancuran. Krisis ekonomi menerjang, hampir semua orang mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan.
Associated Press menyebut lebih dari setengah juta orang tewas, sementara setengah dari populasi Suriah yang sebelumnya berjumlah 23 juta jiwa, tergusur dalam konflik yang berkobar sejak 2011.
Baca Juga: Riset SIPRI: Jumlah Senjata Nuklir Dunia akan Melonjak
Mohammed, yang membuka sekolah tari 15 tahun lalu, mengatakan orang-orang masih terus datang ke kelasnya sepanjang perang. Namun pukulan telak datang ketika pandemi virus corona menutup semua lini, termasuk studio dansanya.
Dengan pembatasan pandemi yang kini mulai melonggar, siswa telah kembali ke kelas dansa, mencari rehat singkat sebagai pelarian sementara.
"Orang-orang saat ini kelelahan, kita bisa merasakan banyak frustrasi," ungkap Yara Zarin, insinyur yang merangkap sebagai instruktur di Dance Nation School, tempat Mohammed mengajar.
Zarin menjelaskan tujuan sekolah bukanlah membuat siswa lepas dari kenyataan, tetapi "menyediakan ruang di mana, selama satu atau dua jam kamu bisa menjadi dirimu sendiri," ungkapnya.
Sekolah dansa tidak hanya menawarkan kelas, tetapi juga pesta dansa. Pertunjukan kecil baru-baru ini menandai upaya comeback, terutama di kota Damaskus dan sekitarnya.
Pada Mei lalu, sebuah pesta dansa yang diselenggarakan di sebuah bekas pabrik semen di luar Damaskus, menarik kehadiran ratusan remaja.
Pertunjukan dilengkapi sorot lampu laser, musik dan dansa itu menjadi salah satu pertunjukan terbesar sejak perang meletus di negara tersebut.
Sebelum perang, studio dansa merupakan salah satu ruang populer bagi beberapa kalangan masyarakat, termasuk tiga sekolah besar di Damaskus yang juga bertahan dalam perang.
Amar Masoud, siswa Mohammed, menganggap kelas dansa adalah "napas kehidupan."
"Terkadang saya ketinggalan kelas karena saya harus bekerja, tetapi saya masih berusaha semaksimal mungkin untuk datang," ungkapnya.
Sementara bagi Maya Marina, 30 tahun, berdansa adalah jalan keluar dari perang dan kesulitan lainnya.
"Musik membawa kita ke dunia lain, di sini saya mengeluarkan beban, ini adalah rehat dari tekanan, kemarahan dan kesulitan," pungkasnya.
Adapun Mohammed, sang instruktur, memiliki pekerjaan sampingan untuk mengimbangi pengeluaran. Ia telah memohon dukungan pemerintah untuk membawa kembali dansa ke lingkungan yang lebih terorganisir, sebagaimana situasi sebelum perang melanda.
Ia bermimpi untuk sesekali mewakili Suriah ke acara internasional.
"Perlu ada federasi yang dibuat hanya untuk berdansa sehingga ini bisa berjalan seperti sebelum perang, di mana kita akan pergi dan mewakili Suriah di negara-negara Arab dan Asia," tegasnya.
Baca Juga: Kisah Remaja yang Bantu Ukraina Mengintai Tentara Rusia
Penulis : Rofi Ali Majid Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : AP/BBC