> >

PM Israel Mendadak ke Uni Emirat Arab Temui Presiden UAE, Bahas Topik Rahasia

Kompas dunia | 9 Juni 2022, 22:27 WIB
Presiden Uni Emirat Arab Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan menyambut Perdana Menteri Israel Naftali Bennet di Abu Dhabi. Keduanya dilaporkan membahas upaya memajukan arsitektur regional dan urusan regional lain yang dirahasiakan. (Sumber: Israeli Government Press Office via AP)

TEL AVIV, KOMPAS.TV — Perdana Menteri Israel Naftali Bennett melakukan kunjungan mendadak ke Uni Emirat Arab, Kamis (9/6/2022).

Ia bertemu Presiden Uni Emirat Arab Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan, dan membahas upaya memajukan arsitektur regional. Keduanya juga disebut-sebut membahas urusan regional lain yang dirahasiakan.

Associated Press melaporkan, kunjungan itu terjadi di tengah ketegangan upaya banyak pihak untuk menyelamatkan kesepakatan atas program nuklir Iran.

Kunjungan itu adalah perjalanan publik kedua Bennett ke Abu Dhabi sejak Israel dan UEA sepakat untuk menormalkan hubungan pada tahun 2020. Ini setelah bertahun-tahun kerja sama yang senyap, terutama dalam keprihatinan bersama mereka atas kemampuan nuklir Iran.

Dalam sebuah pernyataan video sebelum berangkat, Bennett memuji negara-negara pada pertemuan Badan Energi Atom Internasional IAEA di Wina hari Rabu. Mereka, negara-negara itu, memilih untuk mengecam Iran atas kurangnya transparansi tentang kegiatan nuklir di tiga situs yang tidak diumumkan di negara itu.

“Kami melihat di sini sikap tegas negara-negara di dunia mengenai perbedaan antara yang baik dan yang jahat, karena mereka dengan jelas menyatakan Iran menyembunyikan banyak hal. Kami tidak akan membiarkan masalah ini," katanya.

IAEA mengatakan Iran berencana meningkatkan pengayaan uraniumnya, dengan pemasangan sentrifugal canggih. Pengayaan uranium tingkat lanjut adalah komponen kunci dalam pembuatan bom nuklir.

Baca Juga: Iran Kecam Resolusi IAEA, Dipandang Politis dan Tidak Konstruktif

Presiden Uni Emirat Arab Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan bersama PM Israel di Abu Dhabi. Keduanya dilaporkan membahas upaya memajukan arsitektur regional dan urusan regional lain yang dirahasiakan (Sumber: Arab News)

Israel menganggap Iran sebagai musuh terbesarnya dan sangat menentang kesepakatan 2015 antara Iran dan kekuatan nuklir dunia. Dunia, atau lebih tepatnya Barat, melonggarkan sanksi ekonomi terhadap Iran, dan sebagai imbalannya, negara itu harus melakukan pembatasan aktivitas nuklir.

Israel menginginkan kesepakatan yang lebih ketat membatasi program nuklir Iran, pun program rudal jarak jauhnya. Israel juga ingin Iran membatasi dukungannya pada kelompok-kelompok di sepanjang perbatasan Israel. 

Israel juga menekankan, perundingan harus disertai dengan ancaman militer yang 'kredibel' demi memastikan Iran tidak menunda tanpa batas waktu.

Pada tahun 2018, Presiden Donald Trump secara sepihak menarik Amerika Serikat (AS) dari perjanjian itu. Ini meningkatkan ketegangan di Timur Tengah dan memicu serangkaian serangan dan insiden. Penarikan itu menyebabkan kesepakatan menjadi berantakan dengan cepat.

Pembicaraan di Wina mengenai kesepakatan nuklir Iran yang berantakan telah mandek sejak April.

Sejak kesepakatan itu gagal, Iran menjalankan sentrifugal canggih, dan memiliki persediaan uranium yang diperkaya, yang jumlahnya bertambah dengan pesat.

Baca Juga: Pengawas Nuklir PBB Ungkap Iran Berencana Meningkatkan Pengayaan Uranium

Gambar satelit ini menunjukkan situs nuklir Natanz bawah tanah Iran, serta konstruksi yang sedang berlangsung untuk memperluas fasilitas di gunung terdekat ke selatan, dekat Natanz, Iran, 9 Mei 2022. (Sumber: Planet Labs PBC via AP)

Para pemimpin Israel mengeklaim, Iran hanya tinggal hitungan beberapa minggu lagi untuk dapat mengumpulkan cukup uranium yang diperkaya untuk menghasilkan senjata nuklir. Meskipun, komponen lain dari bom, diyakini masih membutuhkan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun lagi.

Iran menegaskan programnya adalah untuk tujuan damai, meskipun para ahli PBB dan badan-badan intelijen Barat menyebut Iran memiliki program nuklir militer terorganisir sampai tahun 2003.

Israel dan UEA setuju untuk mencairkan hubungan di bawah perjanjian yang ditengahi AS yang dikenal sebagai "Abraham Accord" atau Kesepakatan Abraham yang melihat kesepakatan serupa dicapai dengan Bahrain, Maroko dan Sudan.

Sejak itu, Israel dan UEA memperdalam hubungan di bidang pariwisata dan perdagangan. Ini membuat cemas orang-orang Palestina yang lama mengandalkan dukungan Arab untuk dijadikan sebagai pengaruh melawan Israel.

Perjalanan Bennett dilakukan saat Israel berada di puncak krisis politik lainnya. Anggota koalisinya yang rapuh mengancam akan mundur, kecuali pemerintah dapat mengesahkan undang-undang tentang status hukum para pemukim Tepi Baratnya.

 

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Associated Press


TERBARU