Dokumen Pengadilan: 115 Serdadu Garda Nasional Rusia Dipecat karena Tolak Diterjunkan ke Ukraina
Krisis rusia ukraina | 28 Mei 2022, 21:26 WIBLONDON, KOMPAS.TV - Sebanyak 115 serdadu Garda Nasional Rusia (Rosgvardyia) dilaporkan dipecat karena menolak diterjunkan ke Ukraina. Pemecatan massal itu memperkuat indikasi bahwa terdapat pembangkangan di elemen militer Rusia terkait invasi ke Ukraina.
Menurut laporan The Guardian, Jumat (27/5/2022), pemecatan 115 personel Rosgvardiya itu diketahui melalui dokumen-dokumen pengadilan yang dirilis pada Rabu (25/5/2022).
Pengadilan tersebut digelar di Nalchik, ibu kota Republik Kabardino-Balkarian, subjek federal Federasi Rusia di bagian tenggara.
Dalam dokumen yang diperiksa The Guardian, pengadilan itu menolak gugatan kolektif para serdadu yang dipecat.
Menurut dokumen yang dipublikasikan di situsweb Pengadilan Militer Nalchik, hakim memutuskan para serdadu sudah dipecat secara sah karena “menolak menjalankan penugasan resmi” untuk bertempur di Ukraina dan malah balik ke garnisun masing-masing.
Baca Juga: Rusia Uji Coba Rudal Hipersonik Tsirkon, Senjata Baru Berkecepatan Suara Berdaya Jelajah 1.000 Km
Andrei Sabinin, pengacara yang menjadi kuasa hukum 115 serdadu tersebut, menyatakan putusan pengadilan “terlalu cepat” mengingat kerumitan kasus.
“Saya menyampaikan keraguan tentang keadilan dari keseluruhan proses (pengadilan) karena klien-klien saya tidak dibolehkan menghadirkan saksi-saksi tertentu dan sejumlah dokumen ditolak oleh pengadilan,” kata Sabinin dikutip The Guardian.
Sabinin menyebut, komandan unit Rosgvardiya itu menawari para serdadu pilihan untuk tak bertempur, maka pemecatan mereka ilegal.
Rusia diduga berencana rebut Kiev dalam 3 hari
Rosgvardiya sendiri merupakan pasukan bentukan Rusia yang terpisah dari Angkatan bersenjata. Rosgravdia kerap dijuluki sebagai “tentara pribadi” Vladimir Putin dan sering ditugaskan untuk meredam protes-protes antipemerintah.
Kalangan analis menduga penggunaan pasukan Rosgvardiya di Ukraina ditujukan untuk mengatur pendudukan kota-kota besar Ukraina, termasuk Kharkiv dan ibu kota Kiev.
Akan tetapi, invasi Rusia disebut tidak berlangsung sesuai rencana usai terpaksa mundur dari Kiev dan Kharkiv.
Di lain sisi, pasukan Rosgvardiya dilaporkan menderita kekalahan besar karena terjebak pertempuran urban di kota-kota, bukan menjaganya sebagai wilayah pendudukan karena belum dikuasai Rusia.
Baca Juga: Jurnalis Rusia Temukan Indomie di Bekas Markas Pasukan Ukraina, Disebut Terindikasi Bantuan Asing
Dalam sebuah kasus terpisah, dokumen pengadilan mengindikasikan bahwa Moskow berniat menduduki Ukraina dengan serangan cepat yang melumpuhkan ibu kota Kiev.
Pada Jumat (27/5/2022), menurut laporan The Guardian, dokumen pengadilan dengan terdakwa seorang jurnalis Siberia mengungkap peran lebih lanjut Rosgvardiya dan rencana serangan cepat Kremlin.
Kasus ini mendudukkan Mikhail Anfasyev, pemimpin redaksi Novy Fokus, di pengadilan Republik Khakassia, subjek federal Federasi Rusia di Siberia.
Media yang dipimpin Afnasyev menerbitkan laporan tentang suatu unit Rosgvardiya lain yang juga menolak diterjunkan ke Ukraina. Testimoni para saksi mengonfirmasi bahwa 11 serdadu Rosgvardiya dari Khakassia menolak ke medan tempur.
Testimoni tersebut juga memperkuat dugaan bahwa Vladimir Putin merencanakan blitzkrieg. Dalam testimoninya, seorang serdadu Rosgvardiya mengaku bahwa komandannya menginstruksikan mereka untuk “berpatroli di jalan-jalan dan persimpangan Kiev.” Instruksi itu diberitahukan tiga hari sebelum invasi diluncurkan.
Isu pembangkangan dan semangat tempur rendah menerpa militer Rusia sejak awal-awal invasi ke Ukraina. Berbagai laporan muncul tentang tentara yang mengeklaim “tidak tahu” akan diterjunkan ke Ukraina.
Bulan ini, Pentagon mengeklaim telah menerima “laporan-laporan anekdotal” bahwa “perwira menengah di berbagai jenjang, bahkan hingga jenjang batalion” menolak mengikuti perintah atau mengikuti perintah dengan “kecakapan” yang diharapkan.
Baca Juga: Zelenskyy: Keperkasaan Militer Rusia Hanya Mitos, Ukraina akan Menang di Donbass
Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : The Guardian