Ramos Horta, Presiden Timor Leste Peraih Nobel Perdamaian yang Kerap Hidup di Pengasingan
Kompas dunia | 20 Mei 2022, 09:46 WIBDILI, KOMPAS.TV - Jose Ramos Horta resmi dilantik sebagai Presiden Timor Leste, Jumat (20/5/2022), untuk masa jabatan 2022 hingga 2027.
Pada pemilihan Presiden Timor Leste, Ramos Hota mengalahkan Farncisco “Lu-Olo” Guterres dalam pemilihan putaran kedua, 19 April lalu.
Ramos Horta mendapatkan 62 persen suara, sedangkan Francisco Lu Olo mendapatkan suara 37 persen.
Ramos Horta lahir di Dili, 26 Desember 1949.
Baca Juga: Peraih Nobel Jose Ramos-Horta Dilantik Menjadi Presiden Timor Leste
Karier politiknya dimulai dengan bergabung bersama Fretilin, kelompok yang menginginkan kemerdekaan penuh Timor Leste, yang kala itu masih menjadi Timor Portugis.
Ramos Horta pun menjadi salah satu penentang dari Timor Portugis.
Bahkan di usia 18 tahun, Ramos Horta telah diasingkan oleh Timor Portugis ke Afrika.
Dikutip dari humanrights.com, Ramos Horta dibuang ke Mozambik karena menyuarakan kritikannya terhadap pemerintah pendudukan Portugis.
Ketika itu ia mengungkapkan ketidakmampuan pemerintah untuk mengatasi kemiskinan di Timor Leste.
Meski sempat dipulangkan kembali ke Timor Leste, Ramos Horta kembali diasingkan pada 1970 hingga 1971 ke Afrika Timur karena bersuara atas pemerintah militer Portugal.
Ramos Horta kembali hidup dalam pengasingan selama 24 tahun ketika Timor Leste bergabung dengan Indonesia, dan dinamai Timor Timur.
Ketika itu, ia masih berusia 25 tahun.
Selama dalam pengasingan, Ramos Horta sempat berpidato di depan PBB untuk meyakinkan perwakilan organisasi bangsa-bangsa itu untuk mengeluarkan resolusi kemerdekaan Timor Leste.
Ia juga meminta PBB untuk mengambil tindakan atas aksi Indonesia yang disebutnya telah menyebabkan sekitar 102.000 warga Timor Timur tewas.
Baca Juga: Raja Abdullah II dari Yordania Tempatkan Adiknya, Pangeran Hamzah, dalam Tahanan Rumah
Ramos Horta pun menjadi orang termuda yang memberikan pidato di PBB.
Ia pun sempat menjadi Menteri Luar Negeri dalam pengasingan oleh pemerintah Timor Timur yang berusaha memisahkan diri dari Indonesia.
Pada 1986, Ramos Horta pun menjadi peraih penghargaan Nobel bersama rekannya dari Timor Timur, Uskup Ximenes Belo.
Komite Nobel memutuskan memberikan keduanya penghargaan karena usaha berkelanjutan untuk menghalangi penindasan terhadap rakyat kecil.
Mereka juga mengungkapkan penghargaan itu diharapkan bisa memacu upaya untuk menemukan solusi diplomatik untuk konflik Timor Tiimur berdasarkan hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri.
Ramos Horta juga memainkan peranan penting dalam negosiasi untuk kemerdekaan Timor Leste dari Indonesia.
Setelah Timor Leste resmi lepas dari Indonesia, ia pun resmi menjadi Menteri Luar Negeri pertama Timor Leste.
Pada 3 Juni 2006, ia juga sempat menjadi Menteri Pertahanan Interim Timor Leste, meski masih menjadi Menlu.
Namun, 22 hari kemudian ia memutuskan mundur dari jabatan Menteri Pertahanan, setelah Perdana Menteri Mari Alkatiri tetap menjabat sebagai PM Timor Leste.
Pada 8 Juli 2006, Ramos-Horta pun dilantik sebagai PM Timor Leste oleh Presiden Xanana Gusmao.
Demi menjadi PM Timor Leste, Ramnos Horta bahkan menepis keputusan dirinya menjadi kandidat Sekjen PBB menggantikan Kofi Annan.
Ramos Horta sendiri sempat mengikuti pemilihan Presiden pada 2007, namun kala itu ia dikalahkan oleh Francisco Guterres.
Baca Juga: Infeksi Cacar Monyet Menyebar di Eropa dan Amerika Utara, Ada Banyak Rantai Penularan
Kini Ramos Horta resmi menjadi Presiden Timor Leste, dan label dirinya sebagai pahlawan mTimor Leste jelas membantunya memenangi pemilihan.
“Ia adalah pahlawan hebat di era kesulitan kami untuk kemerdekaan,” tutur warga Dili, Aderito Herin Martins dilansir dari Al-Jazeera.
Aderita pun berharap Ramos Horta bisa menyelesaikan permasalahan akut di Timor Leste, kemiskinan, seperti yang kerap diperjuangkannya sejak awal karir politik.
“Kini waktu baginya bekerja untuk memperbaiki masalah kritis, yaitu kemiskinan dan pengangguran yang ia janjikan dalam kampanyenya,” lanjut Aderita.
Penulis : Haryo Jati Editor : Iman-Firdaus
Sumber : humanrights.com/Al-Jazeera