Macron Kembali Menjadi Presiden Prancis dengan Suara Meyakinkan, Marine Le Pen Akui Kekalahan
Kompas dunia | 25 April 2022, 02:46 WIBPARIS, KOMPAS.TV - Badan pemantau pemilu di Prancis memproyeksikan petahana Presiden Prancis Emmanuel Macron memenangkan pemilihan presiden, seperti dilaporkan Associated Press, Senin (25/4/2022).
Sementara itu, pesaing Macron, yaitu Marine Le Pen, dilaporkan sudah mengakui kemenangan Macron pada hari Minggu (24/4/2022) malam.
Proyeksi pertama menunjukkan Macron mengamankan sekitar 57-58 persen suara. Perkiraan seperti itu biasanya akurat tetapi dapat disesuaikan setelah hasil resmi datang dari seluruh negeri.
Sorak-sorai kegembiraan meletus saat hasil suara pemilihan ditampilkan layar raksasa di Taman Champ de Mars, di kaki Menara Eiffel, tempat para pendukung Macron mengibarkan bendera Prancis dan Uni Eropa. Orang-orang saling berpelukan dan meneriakkan "Macron".
Sebaliknya, sekelompok pendukung Le Pen yang sedih meledak dalam ejekan dan siulan ketika mereka mendengar berita itu di pinggiran Paris.
Macron hanya punya sedikit masa tenggang usai resmi diumumkan, terutama karena pemilih dari kaum kiri memilihnya hanya untuk menggagalkan kemenangan kandidat sayap kanan Le Pen.
Baca Juga: Macron dan Le Pen Sengit di Pilpres Prancis Putaran 2 Hari Ini, Hasil Tergantung Jumlah Pencoblos
“Akan ada kesinambungan dalam kebijakan pemerintah karena presiden terpilih kembali. Tetapi kami juga mendengar pesan orang-orang Prancis,” kata Menteri Kesehatan Olivier Veran kepada BFM TV.
Tantangan besar pertama adalah pemilihan parlemen.
Pemilihan parlemen sudah dekat, akan digelar bulan Juni, dan partai-partai oposisi di kiri dan kanan akan segera memulai dorongan besar untuk mencoba memberikan suara di parlemen dan pemerintah yang berseberangan dengan garis kebijakan Macron.
Philippe Lagrue, 63, direktur teknis di sebuah teater di Paris, mengatakan pada hari sebelumnya dia memberikan suara untuk Macron, setelah memberikan suara untuk Jean-Luc Melenchon yang berhaluan keras di putaran pertama.
Dia mengatakan akan kembali memilih Melenchon dalam pemilihan legislatif. “Melenchon Perdana Menteri. Itu akan menyenangkan. Macron akan marah, tapi itulah intinya.”
Baca Juga: Bagi Pemilih Selain Macron dan Le Pen, Pilpres Prancis seperti Memilih antara Kolera atau Wabah
Pro-Eropa
Jajak pendapat Ifop, Elabe, OpinionWay dan Ipsos memproyeksikan kemenangan 57,6-58,2 persen untuk Macron.
Kemenangan Macron yang berhaluan tengah dan pro-Uni Eropa akan dipuji oleh sekutunya sebagai pukulan balik atas politik arus utama yang terguncang beberapa tahun terakhir menyusul keluarnya Inggris dari Uni Eropa, pemilihan Donald Trump tahun 2016, dan kebangkitan generasi baru para pemimpin nasionalis.
Macron akan bergabung dengan klub kecil, di mana hanya dua presiden Prancis sebelumnya yang berhasil mengamankan masa jabatan kedua.
Tetapi margin kemenangannya terlihat lebih ketat daripada ketika dia pertama kali mengalahkan Le Pen tahun 2017, menggarisbawahi berapa banyak orang Prancis yang tidak terkesan dengan dia dan rekor domestiknya.
Kekecewaan itu tercermin dalam angka partisipasi pemilih, di mana lembaga jajak pendapat utama Prancis mengatakan tingkat abstain kemungkinan akan di sekitar 28 persen, tertinggi sejak 1969.
Hasil resmi awal diharapkan nanti Minggu malam.
Baca Juga: Kursi Presiden Prancis Sengit Diperebutkan, Ternyata Ini Kerja dan Wewenangnya
Jika proyeksi itu benar, Macron akan menjadi presiden ketiga sejak berdirinya Prancis modern tahun 1958 yang menang dua kali di kotak suara, dan yang pertama dalam 20 tahun, sejak petahana Jacques Chirac mengalahkan ayah Le Pen pada 2002.
Skor Le Pen kali ini mengganjar upayanya selama setahun terakhir untuk membuat politik sayap kanannya lebih cocok bagi para pemilih.
Berkampanye ketat tentang masalah biaya hidup, Le Pen membuat terobosan di antara pemilih kerah biru, di komunitas pedesaan, dan bekas pusat industri.
Menerobos ambang 40 persen atau lebih pencapaian suara dalam pemilu belum pernah terjadi sebelumnya untuk kubu sayap kanan Prancis. Le Pen hanya mendapat 34 persen suara, sementara Macron meraih 66 persen suara pada pilpres 2017. Dan ayahnya bahkan meraih kurang dari 20 persen suara saat melawan Chirac.
Penurunan suara yang didapat Macron dibandingkan dengan lima tahun lalu menunjukkan pertempuran sulit bagi presiden untuk menggalang dukungan di belakangnya pada masa jabatan keduanya.
Banyak pemilih Prancis menganggap pertandingan ulang 2022 kurang menarik daripada tahun 2017, ketika Macron adalah faktor yang tidak diketahui, karena sebelumnya tidak pernah memegang jabatan terpilih.
Baca Juga: Serba-serbi Pilpres Prancis Hari Ini: Gunakan Kertas Suara, Hadir Langsung, dan Dihitung Manual
Pemilih sayap kiri, yang tidak dapat mengasosiasikan pandangan politik dengan presiden dari kubu tengah atau platform nasionalis Le Pen, tersiksa dengan pilihan hari Minggu.
Pemilih dari kubu sayap kiri terlihat enggan, dan datang memilih hanya untuk menghentikan Le Pen, memberikan suara yang tidak menyenangkan untuk Macron.
“Itu adalah pilihan yang paling tidak buruk,” kata Stephanie David, seorang pekerja logistik transportasi yang mendukung seorang kandidat komunis di pilpres putaran pertama.
Namun bagi pensiunan Jean-Pierre Roux, kedua kandidat adalah pilihan yang mustahil. Setelah juga memilih kandidat komunis di babak pertama, ia menjatuhkan amplop kosong, atau abstain, ke kotak suara pada hari Minggu, menolak politik Le Pen dan menolak apa yang dilihatnya sebagai arogansi Macron.
“Saya tidak menentang ide-idenya, tetapi saya tidak tahan dengan orang itu,” kata Roux.
Macron masuk ke pemungutan suara dengan keunggulan yang cukup besar dalam jajak pendapat tetapi tidak dapat memastikan kemenangan dari segmen pemilih yang retak, cemas dan lelah.
Marian Arbre, mencoblos di Paris, memberikan suaranya kepada Macron untuk menghindari pemerintah yang fasis, rasis, seraya menambahkan, "Ada risiko nyata," resah pria berusia 29 tahun itu.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Associated Press/Straits Times