Macron dan Le Pen Sengit di Pilpres Prancis Putaran 2 Hari Ini, Hasil Tergantung Jumlah Pencoblos
Kompas dunia | 24 April 2022, 19:45 WIBLe Pen adalah kutukan baginya, "Bahkan jika dia mencoba untuk melunakkan retorikanya, saya tidak bisa menerimanya."
Baca Juga: Capres Sayap Kanan Prancis Berpeluang Menangi Pilpres, Ini Gambaran bila Marine Le Pen Jadi Presiden
Semua jajak pendapat dalam beberapa hari terakhir menunjukkan kemenangan Macron yang pro-Eropa dan baru berusia 44 tahun. Namun margin atas saingan sayap kanannya yang berusia 53 tahun, sangat bervariasi.
Jajak pendapat juga memperkirakan kemungkinan rekor jumlah orang yang akan memberikan suara kosong atau tidak memilih sama sekali.
Pensiunan Jean-Pierre Roux memilih untuk mencegah terpilihnya ayah Le Pen, Jean-Marie, pada putaran kedua 2002 dan sekali lagi melawan putrinya pada 2017.
Tetapi Roux tidak dapat memaksa dirinya untuk memilih Macron lagi kali ini. Dia memasukkan amplop kosong ke dalam kotak suara.
Dia menganggap Macron terlalu arogan untuk dipilih kembali, seraya mengutip keluhan umum terhadap Macron yang juga dikeluhkan pesaingnya, Le Pen.
"Saya tidak menentang ide-idenya tetapi saya tidak tahan dengan orang itu," katanya.
Le Pen berusaha menarik pemilih kelas pekerja yang kewalahan dengan harga yang melonjak di tengah serangan Rusia di Ukraina, sebuah pendekatan yang bahkan diakui Macron menemukan resonansi di masyarakat luas.
Le Pen mengatakan, menurunkan biaya hidup akan menjadi prioritasnya jika terpilih sebagai presiden wanita pertama Prancis, menggambarkan dirinya sebagai kandidat bagi pemilih yang tidak dapat memenuhi kebutuhan.
Baca Juga: Kursi Presiden Prancis Sengit Diperebutkan, Ternyata Ini Kerja dan Wewenangnya
Le Pen mengatakan, kepresidenan Macron membuat negara itu terpecah.
Dia berulang kali merujuk pada apa yang disebut gerakan protes rompi kuning yang mengguncang pemerintahan Macron sebelum pandemi Covid-19, dengan demonstrasi rusuh selama berbulan-bulan yang memprotes kebijakan ekonominya yang menurut sebagian orang, merugikan orang miskin.
Kampanye kepresidenan Prancis sangat menantang bagi pemilih keturunan imigran dan agama minoritas, terutama karena kebijakan yang diusulkan Le Pen yang secara khusus menyasar muslim.
Macron juga menggembar-gemborkan pencapaian lingkungan dan iklimnya dalam upaya untuk menarik pemilih muda yang populer dengan kandidat sayap kiri.
Warga dan terutama kaum milenial berbondong-bondong memilih Melenchon. Banyak pemilih muda secara khusus terlibat dengan isu-isu iklim.
Meskipun Macron dikaitkan dengan slogan "Jadikan Planet ini Kembali Hebat," dalam masa jabatan lima tahun pertamanya, ia menyerah kepada pengunjuk rasa rompi kuning yang marah, akhirnya membatalkan kenaikan pajak atas harga bahan bakar.
Macron mengatakan, perdana menteri berikutnya akan bertanggung jawab atas perencanaan lingkungan karena Prancis berusaha untuk menjadi netral karbon pada tahun 2050.
Le Pen, yang pernah dianggap skeptis terhadap perubahan iklim, ingin menghapus subsidi untuk energi terbarukan. Dia bersumpah untuk membongkar pembangkit listrik tenaga angin dan berinvestasi dalam energi nuklir dan energi air.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas TV/Associated Press