Presiden Sri Lanka Menyatakan Tidak Bersedia Mundur, akan Hadapi Krisis Politik dan Ekonomi
Kompas dunia | 7 April 2022, 05:00 WIBProtes menyebabkan 10 menit penangguhan kerja Parlemen.
Baca Juga: Krisis Ekonomi Sri Lanka Memburuk, Presiden Dituding Tak Mampu dan Sombong
Di tempat lain di negara itu, mahasiswa, pengacara, dan kelompok lain juga memprotes pemerintah.
Rajapaksa sebelumnya mengusulkan pembentukan pemerintah persatuan untuk menangani krisis, tetapi partai oposisi utama menolaknya.
Kabinetnya mengundurkan diri Minggu malam, dan pada hari Selasa (5/4), hampir 40 anggota parlemen koalisi yang memerintah mengatakan mereka tidak akan lagi memilih sesuai dengan instruksi koalisi. Manuver itu secara signifikan melemahkan pemerintah.
Presiden dan kakak laki-lakinya, Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa, terus memegang kekuasaan, meskipun keluarga mereka yang kuat secara politik menjadi fokus kemarahan publik.
Lima anggota keluarga lainnya adalah anggota parlemen, termasuk Menteri Keuangan Basil Rajapaksa, Menteri Irigasi Chamal Rajapaksa, dan seorang keponakan, Menteri Olahraga Namal Rajapaksa.
Pengaruh besar politik keluarga tumbuh sebagian dari Mahinda Rajapaksa yang dipuji ketika dia menjadi presiden sebelumnya karena mengakhiri perang saudara 25 tahun Sri Lanka, dengan kekalahan pemberontak Macan Tamil pada tahun 2009.
Sekarang ada kekhawatiran kontrol keluarga atas fungsi-fungsi utama negara melemahkan lembaga-lembaga independen dan membuat pemerintah tidak mampu mengatasi krisis.
Baca Juga: Sri Lanka Umumkan Keadaan Darurat usai Krisis Ekonomi Terparah Picu Unjuk Rasa Besar
Pemerintah memperkirakan pandemi Covid-19 merugikan ekonomi Sri Lanka 14 miliar dollar AS dalam dua tahun terakhir.
Para pengunjuk rasa juga menuduh adanya salah urus fiskal. Sri Lanka punya utang luar negeri yang sangat besar setelah banyak meminjam untuk infrastruktur dan proyek lain yang tidak menghasilkan uang.
Kewajiban pembayaran utang luar negerinya sekitar 7 miliar dollar AS untuk tahun ini saja.
Hutang dan cadangan devisa yang semakin menipis membuat Sri Lanka tidak mampu membayar barang-barang impor.
Selama beberapa bulan, warga Sri Lanka harus mengantre panjang untuk membeli bahan bakar, makanan, dan obat-obatan, yang sebagian besar berasal dari luar negeri dan dibayar dengan mata uang keras.
Kekurangan bahan bakar, bersama dengan kapasitas tenaga air yang lebih rendah akibat cuaca kering dan rendahnya debit air menyebabkan pemadaman listrik bergilir yang berlangsung berjam-jam setiap hari.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Gading-Persada
Sumber : Associated Press