> >

Perang Ukraina Dorong Jepang Pertimbangkan Tambah Anggaran Militer Memperkuat Pertahanan

Kompas dunia | 6 April 2022, 10:16 WIB
Selama bertahun-tahun pemilih Jepang menentang seruan memiliki pertahanan yang lebih kuat terhadap China yang bersenjata nuklir. Sekarang opini publik bergeser, bahkan meski masih banyak hambatan untuk meningkatkan keamanan negara, seperti dilaporkan Bloomberg, Rabu, (6/4/2022) (Sumber: Straits Times)

TOKYO, KOMPAS.TV - Selama bertahun-tahun pemilih Jepang menentang seruan memiliki pertahanan yang lebih kuat terhadap China yang bersenjata nuklir. Sekarang opini publik bergeser, bahkan meski masih banyak hambatan untuk meningkatkan keamanan negara, seperti dilaporkan Bloomberg, Rabu, (6/4/2022).

Serangan Presiden Rusia Vladimir Putin ke Ukraina menyebabkan banyak orang di Jepang mengkaji ulang kemungkinan konflik bersenjata atas sengketa wilayah Asia Timur yang belum terselesaikan.

Jajak pendapat menunjukkan para pemilih khawatir kegagalan untuk menghentikan Rusia dapat membuat China berani mengambil tindakan terhadap Taiwan, yang dilihat Beijing sebagai bagian dari wilayahnya, atau untuk merebut pulau-pulau yang disengketakan di Laut China Timur yang dikelola oleh Jepang.

Tokyo juga memiliki perselisihan yang memanas dengan Moskow tentang kepemilikan pulau di perbatasan kedua negara.

Hampir dua pertiga responden survei yang dilakukan oleh surat kabar Yomiuri Shimbun akhir pekan lalu mengatakan mereka ingin melihat pertahanan Jepang diperkuat.

Keamanan nasional biasanya berada di urutan kedua setelah ekonomi dalam prioritas pemilih.

"Kejutan Ukraina mulai mengubah norma dan kepercayaan Jepang," kata Dr Kyoko Hatakeyama, seorang profesor di Sekolah Pascasarjana Studi Internasional dan Pembangunan Regional di Universitas Niigata. "Tapi perjalanan masih panjang."

Baca Juga: Tangguhkan Perundingan Damai dengan Jepang, Rusia Gelar Latihan Militer Besar di Kepulauan Sengketa

Anggota parlemen Jepang bertepuk tangan kepada Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky yang memberikan pidato melalui siaran video di Tokyo, Rabu (23/3/2022). (Sumber: Behrouz Mehri/Pool AFP via AP)

Meskipun Perdana Menteri Fumio Kishida mengejutkan banyak pengamat karena segera menjatuhkan sanksi kepada Rusia dan mengirimkan bantuan militer yang tidak mematikan ke Ukraina, namun memperkuat pertahanan Jepang sendiri akan lebih menantang.

Partai Liberal Demokrat yang berkuasa memperluas interpretasi konstitusi pascaperang pasifis negara itu, kadang-kadang dalam menghadapi protes publik besar-besaran.

LDP juga harus mengelola koalisi yang berkuasa yang mencakup partai yang didukung Buddha dan oposisi lokal untuk penggelaran kekuatan militer, termasuk sistem pertahanan rudal Aegis Ashore buatan Amerika Serikat.

Pasukan Bela Diri Jepang tetap bergantung pada "payung nuklir" Amerika Serikat, satu-satunya sekutu negara itu.

Kishida akan menghadapi tekanan lebih lanjut untuk mengambil peran pertahanan yang lebih aktif, di mana Presiden AS Joe Biden kemungkinan akan datang keTokyo beberapa bulan mendatang.

Itu mungkin juga memerlukan pendinginan dalam perseteruan Jepang dengan Korea Selatan, sesama sekutu Amerika Serikat, di mana Presiden terpilih Yoon Suk-yeol mendesak fokus yang lebih besar pada jaringan keamanan kawasan.

Perdana Menteri Jepang melihat mantan bosnya, mantan Perdana Menteri Shinzo Abe yang meningkatkan pengeluaran pertahanan setiap tahun selama masa jabatannya yang panjang.

Baca Juga: Buntut Invasi Rusia ke Ukraina, Shinzo Abe Ingin Jepang Jadi Negara Nuklir, Mungkinkah?

PM Jepang Fumio Kishida menghadiri Dialog Keamanan Segiempat, atau Quad dengan (di layar) PM India Narendra Modi, Presiden AS Joe Biden dan PM Australia Scott Morrison hari Kamis, 3 Februari 2022 (Sumber: Straits Times)

Abe dalam beberapa pekan terakhir menyerukan langkah-langkah yang akan menghancurkan tabu atas senjata nuklir atau memperoleh sistem ofensif seperti rudal.

Dia mengatakan akhir pekan lalu, Jepang harus memperoleh kemampuan untuk menyerang "pusat" negara musuh dan berpendapat pengeluaran pertahanan yang lebih besar akan membantu menghindari bentrokan dengan China.

"Tidak ada negara di dunia yang akan mempertaruhkan nyawa untuk membela negara yang tidak melakukan upaya untuk pertahanannya sendiri," kata Abe menurut penyiar NHK.

Abe sebelumnya mengusulkan debat tentang "berbagi nuklir", seperti sistem yang memungkinkan anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara menjadi tuan rumah senjata nuklir Amerika Serikat.

Kishida, yang berasal dari Hiroshima, satu dari hanya dua kota yang mengalami serangan nuklir, menutup gagasan itu, dengan mengatakan itu akan melanggar prinsip-prinsip Jepang yang melarang memiliki, memproduksi atau mengizinkan senjata nuklir.

Baca Juga: Rudal Korea Utara Mendarat di Laut Jepang, Situasi Kian Tegang

Jet tempur F-15 milik Jepang. Selama bertahun-tahun pemilih Jepang menentang seruan memiliki pertahanan yang lebih kuat terhadap China yang bersenjata nuklir. Sekarang opini publik bergeser, bahkan meski masih banyak hambatan untuk meningkatkan keamanan negara, seperti dilaporkan Bloomberg, Rabu, (6/4/2022) (Sumber: Angelique Perez/Angkatan Udara AS via Wikimedia)

Kementerian Luar Negeri China mengatakan proposal pembagian nuklir Abe "sepenuhnya mengungkap kecenderungan berbahaya dari militerisme yang tersisa" di Jepang, yang menginvasi daratan China dan memerintah Taiwan selama setengah abad sebagai bagian dari ekspansi kekaisarannya di seluruh Asia.

Menteri Luar Negeri Wang Yi secara terpisah menegaskan kembali komitmen China untuk resolusi damai atas Taiwan, mengatakan bulan lalu bahwa perselisihan atas pulau yang diperintah secara demokratis itu "tidak sebanding sama sekali" dengan Ukraina.

Moskow membalas sanksi Tokyo dalam beberapa pekan terakhir dengan membatalkan pembicaraan di Kepulauan Kuril, yang dikenal di Jepang sebagai Wilayah Utara, yang direbut oleh pasukan Soviet pada hari-hari memudarnya Perang Dunia Kedua. Rusia juga melakukan latihan militer di pulau-pulau itu.

Menteri Pertahanan Jepang Nobuo Kishi, mengatakan kepada wartawan hari Selasa (5/4/2022) bahwa kementerian yang dia pimpin menginginkan tambahan dana untuk peningkatan "drastis" pertahanan negara.

Kishi, saudara laki-laki Abe, menyebut target NATO menganggarkan 2 persen dari produk domestik bruto, atau kira-kira dua kali lipat anggaran Jepang, akan "bermakna".

Baca Juga: Bicara ke Parlemen Jepang, Zelensky Minta Negara-Negara Asia Ikut Beri Sanksi Rusia

Ilustrasi. Kapal perang kelas Hyuga Jepang yang tertambat di Pelabuhan Yokohama. Selama bertahun-tahun pemilih Jepang menentang seruan memiliki pertahanan yang lebih kuat terhadap China yang bersenjata nuklir. Sekarang opini publik bergeser, bahkan meski masih banyak hambatan untuk meningkatkan keamanan negara, seperti dilaporkan Bloomberg, Rabu, (6/4/2022). (Sumber: Hoshiken via Wikimedia)

Mitra koalisi LDP, Komeito, mengambil posisi lebih berhati-hati dan menolak perbandingan antara Jepang dan Jerman, yang telah mencapai target anggaan pertahanan 2 persen dari PDB.

"Kita harus mengamankan anggaran yang sebenarnya dibutuhkan untuk keamanan nasional," kata Sekretaris Jenderal Komeito Keiichi Ishii dalam sebuah wawancara pekan lalu.

"Menggandakan itu (anggaran pertahanan) tidak mungkin. Jepang punya utang lebih dari 1.000 triliun yen, jadi saya pikir situasinya berbeda dengan negara lain.

Jepang melakukan lebih dari banyak rekan-rekan Eropanya untuk mengelola pertahanannya sejak akhir Perang Dingin, berada di urutan kelima dalam peringkat Global Firepower, dibandingkan dengan Jerman ke-16.

Masih banyak yang bisa dilakukan Jepang untuk keamanannya sendiri dengan memperkuat aliansi AS, kata Dr Brad Glosserman, profesor tamu di Pusat Strategi Pembuatan Aturan di Universitas Tama di Tokyo.

Glosserman menyebut rencana kontingensi di Taiwan, dan kerjasama yang lebih baik dengan Korea Selatan sebagai kemungkinan.

"Setiap pemerintahan AS termasuk yang satu ini menginginkan agar Jepang belanja lebih banyak," katanya.

"Mereka tidak akan sepenuhnya seperti Berlin, mereka tidak akan melakukan lompatan besar itu. Tapi Anda bisa melihat lebih banyak anggaran."

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV/Bloomberg/Straits Times


TERBARU