Banyak Rakyat Timur Tengah Lihat Kemunafikan Pada Tanggapan AS dan Barat atas Perang di Ukraina
Krisis rusia ukraina | 30 Maret 2022, 06:45 WIBYERUSALEM, KOMPAS.TV — Tanggapan Barat atas serbuan Rusia ke Ukraina dipandang sebagai kemunafikan dan menimbulkan kemarahan di Timur Tengah, seperti dilaporkan Associated Press, (Selasa, 29/3/2022), di mana banyak yang melihat standar ganda yang mencolok dalam cara Barat menanggapi konflik internasional.
Hanya beberapa hari setelah invasi Rusia, Barat menerapkan hukum internasional, menjatuhkan sanksi yang melumpuhkan, lalu segera menyambut para pengungsi dengan tangan terbuka dan mendukung perlawanan bersenjata Ukraina.
"Setiap cara yang 70 tahun terakhir mereka katakan tidak bisa dilakukan, eh, mereka laukan hanya dalam waktu kurang dari 7 hari," kata Menlu Palestina Riad Malki dalam sebuah forum keamanan di Turki awal bulan ini.
"Kemunafikan yang luar biasa," kata Riad.
Perang yang dilakukan dibawah kepemimpinan Amerika Serikat di Irak, yang bulan ini menginjak usia19 tahun, secara luas dilihat sebagai invasi, atau pelanggaran hukum satu negara atas negara lain.
Tetapi, setiap orang Irak yang bangkit melawan Amerika Serikat akan dicap teroris, dan pengungsi yang menyelamatkan diri ke negara-negara Barat sering ditolak, serta diperlakukan sebagai ancaman keamanan potensial.
Pemerintahan Joe Biden hari Rabu, (30/3/2022) mengatakan Amerika Serikat menilai pasukan Rusia melakukan kejahatan perang di Ukraina dan akan bekerja dengan pihak lain untuk mengadili para pelanggar.
Baca Juga: China: Barat Terapkan Standar Ganda atas Hak Asasi Manusia, Itu Tidak Bisa Diterima
Tetapi Amerika Serikat bukan anggota Pengadilan Kriminal Internasional dan dengan gigih menentang penyelidikan internasional atas perilakunya sendiri atau perilaku sekutunya, Israel.
Ketika Rusia campur tangan dalam perang saudara Suriah atas permintaan Presiden Bashar Assad pada tahun 2015, untuk membantu pasukannya memukul dan membuat seluruh kota kelaparan agar tunduk, langsung ada kemarahan internasional tetapi hanya sedikit tindakan.
Pengungsi Suriah yang mengungsi ke Eropa meninggal dalam perjalanan laut yang berbahaya, atau ditolak karena banyak yang mencap mereka sebagai ancaman bagi budaya Barat.
Di Yaman, perang selama bertahun-tahun antara koalisi yang dipimpin Arab Saudi melawan pemberontak Houthi yang didukung Iran menyebabkan 13 juta orang berisiko kelaparan. Tetapi bahkan laporan-laporan yang menyedihkan tentang bayi-bayi yang mati kelaparan tidak membawa perhatian internasional yang cukup dan berkelanjutan.
Bruce Riedel, mantan agen CIA dan Dewan Keamanan Nasional, sekarang menjadi rekan senior di Brookings Institution, mengatakan "dapat dimengerti" banyak orang di Timur Tengah melihat standar ganda oleh Barat.
"Amerika Serikat dan Inggris mendukung perang tujuh tahun Arab Saudi di Yaman, yang menciptakan bencana kemanusiaan terburuk di dunia dalam beberapa dekade," katanya.
Pendudukan Israel atas tanah yang diinginkan Palestina untuk negara masa depan sudah memasuki dekade keenam, dan jutaan orang Palestina hidup di bawah kekuasaan militer tiada akhir.
Baca Juga: Mengupas Standar Ganda Barat di Tengah Perang Rusia-Ukraina
Amerika Serikat, Israel dan Jerman meloloskan undang-undang yang bertujuan untuk menekan gerakan boikot yang dipimpin Palestina, sementara perusahaan besar seperti McDonald's, Exxon Mobil dan Apple meraih pujian karena menangguhkan bisnis mereka di Rusia.
Di media sosial, dunia menyemangati warga Ukraina saat mereka menimbun bom molotov dan mengangkat senjata melawan tentara pendudukan.
Ketika warga Palestina dan Irak melakukan hal yang sama, mereka dicap sebagai teroris dan target yang sah.
"Kami melawan penjajah, bahkan saat dunia bersama Amerika Serikat, termasuk Ukraina, yang merupakan bagian dari koalisi mereka," kata Sheikh Jabbar al-Rubai, 51 tahun, yang bertempur dalam pemberontakan Irak tahun 2003-2011 melawan pasukan Amerika Serikat.
"Karena dunia bersama Amerika Serikat, mereka tidak memberi kami kemuliaan yang sama dan menyebut kami perlawanan patriotik," malah menonjolkan karakter keagamaan kelompok pemberontak, katanya. "Ini tentu saja standar ganda, seolah-olah kita ini bukan manusia,"
Abdulameer Khalid, seorang sopir pengiriman Baghdad berusia 41 tahun, melihat "tidak ada perbedaan" antara perlawanan di Irak dan perlawanan di Ukraina.
"Jika ada, perlawanan terhadap Amerika di Irak lebih dibenarkan, mengingat Amerika Serikat melakukan perjalanan ribuan kilometer untuk datang ke negara kita, sementara Rusia menangani persepsi ancaman di sebelah mereka," katanya.
Baca Juga: Presiden Iran Sebut Standar Ganda Barat dalam Penegakan HAM sebagai Tanda Kemunafikan
Yang pasti, ada perbedaan penting antara perang di Ukraina, kasus yang jelas dari satu negara anggota PBB yang menyerang negara lain, dan konflik di Timur Tengah, yang sering melibatkan perang saudara dan ekstremisme Islam.
"Pada umumnya, konflik Timur Tengah sangat rumit. Ini bukan peran moralitas," kata Aaron David Miller, seorang rekan senior di Carnegie Endowment for International Peace dan mantan penasihat Timur Tengah untuk pemerintahan partai Republik dan Demokrat.
Miller mengatakan konflik Ukraina unik dalam tingkat kejelasan moralnya, dengan Rusia secara luas dilihat meluncurkan perang yang agresif dan menghancurkan terhadap tetangganya.
Analogi Timur Tengah yang paling dekat mungkin adalah invasi Irak ke Kuwait pada tahun 1990, ketika Washington menanggapi dengan membentuk koalisi militer termasuk negara-negara Arab untuk mengusir pasukan Irak.
Namun, Miller mengakui kebijakan luar negeri Amerika Serikat "dipenuhi dengan anomali, inkonsistensi, kontradiksi, dan ya, kemunafikan."
Invasi Amerika Serikat ke Afghanistan adalah tanggapan terhadap serangan 9/11, yang direncanakan Osama bin Laden saat dilindungi oleh Taliban di Afghanistan.
Miller berpendapat, Amerika Serikat membenarkan perangnya di Irak dengan klaim palsu tentang senjata pemusnah massal, tetapi invasi itu juga menggulingkan seorang diktator brutal yang mencemooh hukum internasional dan melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Baca Juga: Krisis Ukraina, Pandangan Bias, Prasangka dan Standar Ganda Negara Barat
Namun, invasi itu dianggap oleh sebagian besar orang Irak dan orang Arab lainnya sebagai bencana tak beralasan yang menyulut perselisihan sektarian dan pertumpahan darah selama bertahun-tahun.
Elliott Abrams, seorang rekan senior di Dewan Hubungan Luar Negeri dan penasihat Gedung Putih ketika Amerika Serikat menginvasi Irak, mengatakan ada perbedaan antara Ukraina yang memerangi penjajah Rusia dan pemberontak di Irak yang memerangi Amerika Serikat.
"Warga Irak yang memerangi pasukan Amerika Serikat atas nama Iran atau ISIS bukanlah pejuang kemerdekaan," katanya, merujuk pada kelompok Negara Islam. "Membuat perbedaan moral ini bukanlah tindakan kemunafikan."
Konflik Israel-Palestina sudah berlangsung lebih dari satu abad, jauh sebelum perang 1967 di mana Israel merebut Yerusalem timur, Tepi Barat, dan Gaza.
Sebagian besar dunia menganggap daerah-daerah itu sebagai wilayah Palestina yang diduduki dan pembangunan pemukiman Israel yang sedang berlangsung sebagai pelanggaran hukum internasional.
Israel menggambarkan konflik tersebut sebagai sengketa teritorial, menuduh Palestina menolak menerima haknya untuk hidup sebagai negara Yahudi.
“Hanya yang sangat parah pemahaman konteksnya yang dapat membandingkan perang pertahanan Israel dengan invasi Rusia terhadap tetangganya,” kata Jerusalem Post dalam editorial 1 Maret tentang topik tersebut.
Baca Juga: Korea Utara Tuding PBB Terapkan Standar Ganda atas Reaksi Terhadap Penembakan Rudal
Intervensi Rusia di Suriah adalah bagian dari perang saudara yang kompleks di mana beberapa faksi, termasuk kelompok Negara Islam, melakukan kekejaman.
Ketika ISIS merebut sebagian besar Suriah dan Irak, banyak pihak yang khawatir kaum ekstremis akan menyelinap ke Eropa di bersama gelombang pengungsi.
Namun, banyak orang di Timur Tengah melihat perlakuan kasar terhadap migran Arab dan Muslim sebagai bukti negara-negara Barat masih menyimpan bias budaya meskipun menganut hak dan nilai universal.
Banyak yang merasa penderitaan mereka tidak ditanggapi serius karena pandangan umum bahwa Timur Tengah selalu terperosok dalam kekerasan, walaupun Barat dalam beberapa hal dipandang sebagai biang keladi yang menciptakan dan melanggengkan banyak konflik yang tidak dapat diselesaikan di Timur Tengah.
“Ada ekspektasi, yang diambil dari kolonialisme, bahwa lebih normal bagi kaum kita untuk dibunuh, untuk menangisi terbunuhnya keluarga kita, daripada (bila itu terjadi pada) Barat,” kata Ines Abdel Razek, direktur advokasi Institut Palestina untuk Diplomasi Publik.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Gading-Persada
Sumber : Associated Press