Perjalanan Roman Abramovich: Yatim-Piatu sejak Kecil hingga Jadi Sekutu Putin dan Kaisar Chelsea FC
Kompas dunia | 30 Maret 2022, 06:50 WIBLONDON, KOMPAS.TV - Nama Roman Abramovich meroket ke panggung internasional usai membeli Chelsea FC, klub terbesar di London Barat pada 2003. Sebelumnya, Abramovich cenderung dikenal sebagai pebisnis yang memiliki sifat pendiam, bahkan pemalu.
Pembelian The Blues membuatnya lebih dikenal sebagai orang kaya yang membangun imperium sepak bola kebanggaan London; berkat lima titel Liga Inggris, dua Liga Champions, dan lima Piala FA yang diraih melalui gelontoran dana miliaran paun.
Akan tetapi, invasi Rusia ke Ukraina sebulan belakangan membuat nama Abramovich tercoreng dan sisi lainnya mulai lebih banyak disorot. Sosok Abramovich sebagai sekutu dekat Vladimir Putin kembali ramai dibicarakan beserta aktivitas politiknya.
Di lain sisi, kedekatan dengan Putin membuat Abramovich tak luput dari sanksi. Chelsea FC tersayangnya dirampas dan aset-asetnya disita pemerintah Inggris Raya.
Ketika membeli Chelsea pada 2003 lalu, koneksi Abramovich dengan oligarki Rusia dan dugaan aktivitas ilegalnya telah ramai disorot. Namun, ia menganggapnya akan menjadi angin lalu.
“Saya yakin orang-orang akan fokus kepada saya selama tiga atau empat hari, tetapi itu akan lewat. Mereka akan lupa siapa saya, dan saya suka itu,” kata Abramovich pada 2003 lalu dikutip BBC.
Baca Juga: Roman Abramovich dan Dua Negosiator Ukraina Diduga Diracun Senjata Kimia
Kini, sulit melupakan siapa Abramovich dalam kaitannya dengan oligarki Rusia, terlebih setelah pemilik Chelsea itu menjadi perwakilan “informal” Rusia dalam negosiasi dengan Ukraina hingga diduga diracun.
Masa kecil Abramovich
Roman Arkadyevich Abramovich lahir pada 1966 di Saratov, barat daya Rusia, sekitar 800 kilometer dari ibu kota Moskow. Meskipun kini menjadi salah satu orang terkaya sedunia, Abramovich hidup sulit semasa kecil.
Ketika usianya menginjak setahun, ibunya, Irina, meninggal dunia karena keracunan darah akibat infeksi bakteri. Dua tahun kemudian, ayahnya meninggal dalam kecelakaan crane.
Abramovich kemudian dirawat oleh kerabat, dibawa ke Komi, barat laut Rusia yang dingin dan dalam kondisi keuangan sulit.
Pada usia 16 tahun, Abramovich keluar dari sekolah. Ia kemudian bekerja sebagai mekanik lalu mendaftar ke Tentara Merah Uni Soviet.
Abramovich lalu pindah ke Moskow, menjual mainan plastik, kemudian beralih ke jualan parfum dan deodoran. Kekayaannya mulai bertumpuk pada era Mikhail Gorbachev yang memberi keleluasaan lebih bagi pengusaha.
Baca Juga: Kremlin Pastikan Abramovich Berperan dalam Proses Perundingan Damai Rusia dan Ukraina
“Sebenarnya, saya tidak bisa menyebut masa kecil saya buruk. Anda tidak bisa membanding-bandingkan masa kecil: satu makan wortel, satunya makan permen, terasa enak bagi keduanya. Sebagai anak-anak, Anda tidak bisa membedakannya,” kata Abramovich tentang masa kecilnya kepada The Guardian.
Merebut perusahaan minyak, menjadi sekutu Yeltsin dan Putin
Kekayaan Roman Abramovich semakin berlipat ganda setelah Uni Soviet runtuh pada 1990-an. Banyak perusahaan negeri yang jatuh ke tangan swasta. Abramovich berhasil meraih salah satunya.
Dalam sebuah lelang yang dicurangi pada 1995, Abramovich sukses merebut perusahaan minyak, Sibneft, dengan biaya 250 juta dolar AS. Pada 2005, ia menjual perusahaan ini kepada pemerintah Rusia dengan harga 13 miliar dolar AS.
Selain itu, Abramovich terlibat dalam “perang aluminium” pada 1990-an, ketika para pebisnis Rusia berebut kontrol atas industri aluminium yang sangat besar.
Walaupun mengakui terlibat “perang aluminium”, Abramovich mengaku segan ikut rebutan sumber daya itu.
“Setiap tiga hari, seseorang dibunuh (ketika perang aluminium),” kata Abramovich pada 2011.
Meskipun demikian, Abramovich sukses mempertahankan diri dalam kontestasi pebisnis Rusia hingga memiliki kekayaan miliaran dolar AS.
Koneksi politik Abramovich pun semakin kuat. Ia menjadi sekutu dekat Presiden Boris Yeltsin, bahkan sempat menyewa apartemen di lingkungan Kremlin.
Ketika Yeltsin mundur pada 1999, Abramovich dilaporkan termasuk orang pertama yang mendukung Vladimir Putin, perdana menteri sekaligus bekas mata-mata KGB, menjadi presiden Rusia.
Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : BBC