> >

Kesaksian Jurnalis Internasional Terakhir di Mariupol: Kami Diburu Rusia, Melihat Langsung Derita

Krisis rusia ukraina | 21 Maret 2022, 23:21 WIB
Jurnalis video Associated Press, Mstyslav Chernov membaca berita di ponsel, tiga hari sebelum invasi Rusia. Pada 23 Februari 2022, Chernov dan Evgeniy Maloletka pergi ke Mariupol dan mewartakan kondisi kota dari dalam blokade Rusia. (Sumber: Evgeniy Maloletka/Associated Press)

MARIUPOL, KOMPAS.TV - Satu hari jelang invasi Rusia ke Ukraina, dua jurnalis Associated Press, Mstyslav Chernov dan Evgeniy Maloletka bertolak ke Mariupol, Ukraina untuk liputan. Perang meletus satu jam setelah mereka sampai. Tak lama kemudian, mereka menjadi jurnalis kantor berita internasional terakhir di kota itu.

Tiga pekan belakangan, Chernov dan Maloletka, dengan akses reportase langsung, melaporkan kondisi terkini perang di Mariupol. Mereka berjaga agar berita tentang Mariupol tetap tersiar ke seluruh dunia di tengah blokade Rusia.

Chernov dan Maloletka meliput berbagai kejadian yang menunjukkan kengerian perang di Mariupol, termasuk pengeboman rumah sakit bersalin dan fasilitas perawat anak pada 9 Maret 2022 yang membuat Rusia panen kecaman.

Mereka diburu tentara Rusia karena reportase. Akibatnya, otoritas Ukraina menyuruh keduanya untuk meninggalkan Mariupol. 

Chernov dan Maloletka telah pergi dari Mariupol sejak 15 Maret lalu, melalui perjalanan panjang dan belasan pos pemeriksaan untuk menceritakan pengalamannya.

Baca Juga: Rusia Minta Pasukan Ukraina di Mariupol Menyerah, Nyaris 4.000 Warga Sipil Telah Dievakuasi

Berikut adalah kesaksian Mstyslav Chernov dan Evgeniy Maloletka yang dituliskan oleh koresponden Associated Press Lori Hinnant. Kesaksian ini dimuat Associated Press pada Senin (21/3/2022) kemudian diterjemahkan oleh Kompas TV.

Diburu Rusia karena Berita

Pasukan Rusia memburu kami. Mereka punya daftar nama, termasuk kami, dan mereka semakin dekat.

Kami telah mendokumentasikan pengepungan Mariupol oleh pasukan Rusia selama lebih dari dua pekan dan kami adalah satu-satunya jurnalis internasional yang tersisa di kota ini. Kami sedang meliput di dalam rumah sakit ketika pria bersenjata menguntit di koridor. Dokter bedah memberi kami pakaian putih sebagai kamuflase.

Tiba-tiba, saat fajar, selusin tentara masuk: “Di mana jurnalisnya? Keparat!”

Saya melihat ke ban lengan mereka, biru Ukraina, dan coba menghitung peluang apakah mereka tentara Rusia yang menyamar. Saya maju untuk mengungkapkan identitas. “Kami di sini untuk mengeluarkan kalian,” katanya.

Dinding bangsal operasi terguncang akibat tembakan artileri dan senapan mesin di luar, dan sepertinya lebih aman di dalam. Namun, para tentara Ukraina diikat perintah untuk membawa kami.

Baca Juga: Presiden Zelensky Sebut Serangan Rusia ke Mariupol akan Tercatat Dalam Sejarah Kejahatan Perang

Kami berlari ke jalanan, meninggalkan dokter yang menampung kami, seorang ibu hamil korban artileri, dan orang-orang yang tidur di lorong rumah sakit karena tidak punya tempat untuk dituju. Saya merasa ngeri meninggalkan mereka.

Seorang perempuan yang kehilangan suaminya dalam serangan artileri menangis sambil memeluk anaknya di rumah sakit Mariupol, timur Ukraina, 11 Maret 2022. (Sumber: Mstyslav Chernov/Associated Press)

Sembilan menit, atau mungkin 10, rasanya seperti selamanya di jalanan dan di antara apartemen yang dibom. Ketika ledakan artileri dekat, kami bertiarap.

Waktu diukur dari satu ledakan artileri ke ledakan lain, tubuh menegang dan kami menahan napas. Gelombang kejut demi gelombang kejut menyentak dada, dan tangan saya terasa dingin.

Kami mencapai suatu pintu masuk, dan kendaraan lapis baja mengangkut kami ke ruang bawah tanah yang gelap. Saat itulah kami baru tahu dari seorang polisi mengapa Ukraina mempertaruhkan nyawa tentara untuk membawa kami dari rumah sakit.

“Jika mereka (Rusia) menangkapmu, mereka akan merekammu dan memaksamu berkata bahwa semua yang kamu rekam adalah kebohongan. Semua kerja kerasmu dan apa pun yang kamu lakukan di Mariupol akan sia-sia,” katanya.

Polisi itu, yang sekali waktu memohon kami menunjukkan kotanya yang sekarat kepada dunia, kini meminta kami pergi. Dia mengarahkan kami ke arah ribuan mobil yang bersiap meninggalkan Mariupol.

Hari itu adalah 15 Maret. Kami tidak tahu apakah bisa keluar hidup-hidup.

“Tanpa Dokumentasi, Pasukan Rusia Bisa Melakukan Apa pun”

Sebagai remaja yang tumbuh di kota Kharkiv, Ukraina, hanya 20 mil dari perbatasan Rusia, saya belajar bagaimana memegang senjata api sebagai bagian dari kurikulum sekolah. Itu seakan tiada artinya. Ukraina, saya rasa, dikelilingi oleh negara sahabat.

Sejak itu saya telah meliput perang di Irak, Afghanistan, dan wilayah sengketa Nagorno-Karabakh, coba menunjukkan kepada dunia kehancuran yang ada melalui tangan pertama.

Namun, ketika Amerika dan negara-negara Eropa mengevakuasi staf kedutaan dari ibukota Kiev musim dingin ini, dan ketika saya mempelajari peta konsentrasi pasukan Rusia di seberang kampung halaman, batin saya hanyalah, “Negaraku yang malang.”

Baca Juga: Pasukan Rusia Serang Pasar di Kharkiv Ukraina, Pemadam Kebakaran Ikut Diserang Hingga Tewas

Pada hari-hari pertama perang, Rusia mengebom Alun-Alun Kebebasan yang megah di Kharkiv, tempat saya bermain hingga usia 20-an.

Saya tahu pasukan Rusia melihat kota pelabuhan Mariupol di timur sebagai hadiah strategis karena lokasinya di Laut Azov. Jadi pada malam hari tanggal 23 Februari, saya bertolak ke sana bersama kolega lawas saya, Evgeniy Maloletka, fotografer Associated Press asal Ukraina, dengan van Volkswagen warna putih miliknya.

Di jalan, kami mulai khawatir tentang ban serep, dan pada tengah malam, melalui internet kami menemukan seseorang di dekat kami yang mau menjual ban. Kami menjelaskan kepadanya dan ke seorang kasir di sebuah toko kelontong 24 jam bahwa kami bersiap untuk perang. Mereka menatap seakan kami orang gila.

Kami masuk Mariupol pukul 3.30 pagi. Perang dimulai sejam kemudian.

Sekitar seperempat dari 430.000 warga Mariupol melarikan diri pada hari-hari pertama itu, ketika masih sempat. Namun, hanya sedikit orang yang percaya perang akan tiba, dan ketika sebagian besar menyadari kesalahannya, itu sudah terlambat.

Baca Juga: Kuburan Massal Mariupol, Imbas Serangan Bom dari Rusia

Setiap waktu bom berjatuhan, Rusia memutus aliran listrik, air, suplai makanan, dan pada akhirnya, yang krusial, tower televisi, radio, dan jaringan ponsel. Segelintir jurnalis di kota ini pergi sebelum koneksi terakhir lenyap dan blokade total dikukuhkan.

Absennya informasi di tengah blokade memenuhi dua tujuan. Pertama adalah kekacauan. Orang-orang tak tahu apa yang terjadi dan mereka panik. Awalnya, saya tidak mengerti kenapa Mariupol jatuh dengan sangat cepat. Kini saya mengerti itu karena kurangnya komunikasi.

Impunitas adalah tujuan kedua. Tanpa informasi yang keluar dari kota, tanpa foto gedung-gedung yang hancur dan anak-anak yang mati, pasukan Rusia bisa melakukan apa pun. Jika bukan karena kami, mungkin tidak akan ada apa pun (dokumentasi).

Fotografer Associated Press, Evgeniy Maloletka (kiri) membantu paramedis mengevakuasi seorang perempuan yang terluka akibat serangan artileri di Mariupol, 2 Maret 2022. (Sumber: Mstyslav Chernov/Associated Press)

Itulah mengapa kami mengambil risiko besar agar bisa memperlihatkan apa yang kami lihat kepada dunia, dan itulah yang membuat Rusia cukup marah untuk memburu kami.

Saya belum pernah merasa bahwa memecah kesunyian sepenting ini.

Kematian Pertama, dan Seterusnya

Kematian-kematian datang dengan cepat. Pada 27 Februari, kami menyaksikan seorang dokter mencoba menyelamatkan gadis kecil yang terkena serpihan peluru. Dia mati.

Kemudian bocah kedua mati, lalu ketiga. Ambulans berhenti menjemput orang-orang terluka karena orang tidak bisa memanggil mereka dengan sinyal, dan mereka tidak bisa bernavigasi di jalanan yang dibombardir.

Para dokter meminta kami merekam keluarga yang membawa kerabat mereka yang mati dan terluka, dan mengizinkan kami menggunakan energi generator mereka yang menyusut untuk kamera kami. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di kota kami, kata mereka.

Mayat gadis Ukraina yang terbunuh serangan artileri Rusia tergeletak di bangsal rumah sakit Mariupol, 27 Februrari 2022. (Sumber: Evgeniy Maloletka/Associated Press)

Artileri mengenai rumah sakit dan rumah-rumah di sekitar. Itu memecahkan jendela kaca mobil van kami, menerakan lubang di samping bodi mobil dan membocorkan satu ban. Terkadang kami berlari keluar untuk merekam sebuah rumah yang terbakar lalu berlari kembali di tengah hujan ledakan.

Masih ada satu tempat di kota ini yang diliputi koneksi stabil, satu tempat di luar toko kelontong di Jalan Budivel'nykiv. Sehari sekali, kami menyetir ke sana dan berjongkok di bawah tangga demi mengunggah foto dan video untuk dunia. Tangga itu tidak akan memberi perlindungan berarti, tetapi rasanya lebih aman dibanding berada di luar.

Baca Juga: Warga Kota Mariupol Jadi Korban Serangan Rusia, Rumah-Rumah Rusak Akibat Invasi Rusia

Sinyal di sana lenyap pada 3 Maret. Kami mencoba mengirim video dari jendela lantai tujuh rumah sakit. Dari sana pula kami melihat Mariupol, sebuah kota kelas menengah yang solid, tercabik hingga porak-poranda.

Fotografer Associated Press, Evgeniy Maloletka menunjuk kepulan asap dari rumah sakit bersalin di Mariupol yang dihantam serangan udara Rusia, 9 Maret 2022. (Sumber: Mstyslav Chernov/Associated Press)

Supermarket Port City dijarah, dan kami beranjak ke sana di tengah ledakan artileri dan tembakan senapan mesin. Puluhan orang berlari mendorong kereta belanja berisi pakaian, makanan, dan alat-alat elektronik.

Peluru artileri meledak di atap supermarket, mengempaskan saya di luar. Saya menegang, menunggu ledakan kedua, dan mengutuk diri sendiri ratusan kali karena kamera saya tidak aktif untuk merekamnya.

Dan tibalah yang selanjutnya, ledakan lain menghantam gedung apartemen di dekat saya dengan desingan mengerikan. Saya beringsut ke tepian untuk berlindung.

Seorang remaja lewat menyurung kursi kantor yang memuat alat elektronik dan kardus-kardus yang berjatuhan di sisinya. “Teman-temanku di dalam dan artileri meledak 10 meter dari kami,” katanya. “Aku tak tahu apa yang terjadi kepada mereka.”

Kami mengebut kembali ke rumah sakit. Selang 20 menit, korban luka berdatangan, sebagian mereka diangkut dengan kereta belanja.

Selama beberapa hari, satu-satunya koneksi kami dengan dunia luar hanyalah melalui telepon satelit. Dan satu-satunya titik tempat telepon itu bekerja adalah di luar, tepat di samping sebuah kawah artileri. Saya akan duduk di situ, mencoba mengecilkan tubuh saya dan menyambungkan jaringan telepon.

Semua orang bertanya, mohon beritahu kami kapan perang akan berakhir. Saya tak tahu jawabannya.

Setiap hari, ada rumor bahwa tentara Ukraina akan datang memecahkan kepungan. Tetapi tidak ada yang datang.

Pengeboman Rumah Sakit Mariupol

Hingga kini, saya telah menyaksikan kematian-kematian di rumah sakit, mayat-mayat di jalanan, puluhan jenazah disekop ke kuburan massal. Saya telah melihat banyak sekali kematian hingga saya merekam hampir tanpa terbawa suasana.

Salah satu parit kuburan massal di Mariupol, 9 Maret 2022. Bombardir konstan Rusia membuat pemakaman individual tak mungkin dilakukan. (Sumber: Mstyslav Chernov/Associated Press)

Pada 9 Maret, efek serangan udara ganda mencabik plastik yang ditempelkan ke jendela mobil van kami. Saya melihat bola api sekejap sebelum rasa sakit menusuk gendang telinga saya, kulit saya, wajah saya.

Kami melihat asap mengepul dari rumah sakit bersalin. Setibanya kami, petugas tanggap bencana masih mengeluarkan para ibu hamil yang berdarah dari reruntuhan.

Baterai kamera hampir habis, dan kami tidak punya koneksi untuk mengirim rekaman. Jam malam tinggal beberapa menit menjelang. Seorang polisi tak sengaja mendengar kami bicara bagaimana caranya mengabarkan pengeboman rumah sakit itu.

“Ini akan mengubah jalannya perang,” katanya. Dia membawa kami ke sebuah sumber listrik dan koneksi internet.

Kami telah merekam begitu banyak orang mati dan anak-anak yang mati, sebuah garis tak berujung. Saya tak mengerti kenapa dia berpikir lebih banyak kematian akan mengubah apa pun.

Ternyata, saya keliru.

Dalam kegelapan, kami mengirim rekaman dengan membariskan tiga ponsel dengan berkas video dipecah menjadi tiga bagian untuk mempercepat pengunggahan. Itu memakan waktu berjam-jam, jauh melewati jam malam. Serangan artileri berlanjut, tetapi polisi yang ditugaskan mengawal kami menunggu dengan sabar.

Baca Juga: Zelensky Murka Rusia Serang Rumah Sakit Bersalin: Ini Kejahatan Perang, Apa Kalian Manusia?

Setelah itu, hubungan kami dengan dunia di luar Mariupol sekali lagi terputus.

Kami kembali ke ruang bawah tanah sebuah hotel kosong dengan akuarium yang kini terisi bangkai ikan mas. Dalam isolasi, kami tak tahu mengenai kampanye disinformasi Rusia yang mencoba mendiskreditkan hasil kerja kami.

Kedutaan Rusia di London merilis dua twit yang menyebut foto-foto AP palsu dan mengeklaim seorang ibu hamil adalah aktris yang berakting. Utusan Rusia membawa salinan foto kami ke rapat Dewan Keamanan PBB dan mengulangi kebohongan tentang serangan ke rumah sakit bersalin.

Pada saat bersamaan, di Mariupol, kami kewalahan dengan orang-orang yang menanyai kabar terbaru dari perang. Banyak sekali orang mendatangi saya dan berkata, tolong rekam saya jadi keluarga saya di luar kota tahu saya masih hidup.

Pada saat ini, tidak ada sinyal TV atau radio Ukraina yang bekerja di Mariupol. Satu-satunya frekuensi radio yang dapat kau tangkap hanya menyiarkan kebohongan Rusia—bahwa Ukraina menahan warga Mariupol sebagai sandera, menembaki gedung-gedung, mengembangkan senjata kimia.

Propagandanya begitu kuat hingga sebagian orang yang bicara dengan kami memercayainya, meskipun mereka melihat bukti nyata dengan mata kepala mereka sendiri.

Baca Juga: China Tak Yakin Kutuk Rusia Akan Hentikan Serangan ke Ukraina, tapi Tetap Dukung Gencatan Senjata

Pesan (propaganda) itu terus diulangi, dengan gaya Soviet: Mariupol dikepung. Serahkan senjatamu.

Pada 11 Maret, dalam telepon singkat tanpa detail, editor meminta kami menemukan perempuan yang selamat dari pengeboman rumah sakit bersalin untuk membuktikan eksistensi mereka. Saya menyadari rekaman itu pasti cukup kuat hingga menimbulkan respons dari pemerintah Rusia.

Kami menemukan para ibu hamil di sebuah rumah sakit di garis depan pertempuran, sebagian dengan bayi dan sebagian lain hendak bersalin. Kami juga lantas mengetahui bahwa seorang perempuan kehilangan bayinya, lalu nyawanya sendiri.

Baca Juga: Ibu Hamil Korban Bom Rusia di RS Mariupol Ukraina Meninggal Dunia, Bayi Lahir Tanpa Nyawa

Pekerja darurat Ukraina dan sukarelawan membawa seorang wanita hamil yang terluka akibat serangan Rusia dari rumah sakit bersalin di Mariupol, Ukraina, Rabu, 9 Maret 2022. Ibu itu dan bayinya kemudian meninggal dunia. (Sumber: Evgeniy Maloletka/Associated Press)

Kami naik ke lantai tujuh untuk mengirimkan video lewat jaringan internet yang lemah. Dari sana, saya melihat tank demi tank berbaris menuju rumah sakit, masing-masing dimarkahi huruf Z yang menjadi emblem perang Rusia.

Kami terkepung: puluhan dokter, ratusan pasien, dan kami berdua.

Jurnalis Terakhir di Mariupol

Pasukan Ukraina yang menjaga rumah sakit telah menghilang. Dan jalur ke mobil van kami, dengan makanan, air, dan perlengkapan kami, dijaga penembak jitu Rusia yang telah menembak seorang tenaga medis yang berkeliaran di luar.

Jam demi jam berlalu dalam kegelapan, kami mendengar ledakan demi ledakan di luar. Itulah saat tentara mendatangi kami, berteriak dalam bahasa Ukraina.

Itu tidak terasa seperti misi penyelamatan. Itu rasanya seperti kami dipindahkan dari satu bahaya ke bahaya lain. Pada saat ini, tak ada tempat di Mariupol yang aman, dan tidak ada pertolongan. Kamu bisa mati setiap waktu.

Saya merasa sangat bersyukur dijemput tentara, tetapi juga merasa kaku. Dan kepergian ini membuat saya merasa malu.

Kami berdesakan di sebuah mobil Hyundai dengan keluarga beranggotakan tiga orang dan memasuki kemacetan sepanjang lima kilometer untuk keluar dari kota ini. Sekitar 30.000 orang berhasil keluar Mariupol pada hari itu—sangat banyak hingga pasukan Rusia tak punya waktu memperhatikan isi dalam mobil yang jendelanya ditutupi sedikit plastik.

Orang-orang gugup. Ada perkelahian, saling meneriaki satu sama lain. Setiap menit ada pesawat atau serangan udara. Bumi berguncang.

Baca Juga: Perang Rusia-Ukraina: Kisah Evakuasi Sembilan WNI yang Terjebak di Chernihiv

Kami melewati 15 pos pemeriksaan Rusia. Di setiap pos, ibu yang duduk di depan kami akan berdoa dengan kencang, cukup keras untuk kami dengar.

Saat kami berkendara melalui mereka—pos jaga ketiga, kesepuluh, ke-15, semua dijaga tentara dengan persenjataan berat—harapan saya bahwa Mariupol akan selamat mulai memudar. Saya paham bahwa untuk sekadar mencapai kota itu, tentara Ukraina mesti menembus banyak sekali basis musuh. Dan itu tidak akan terjadi.

Ketika senja, kami tiba di sebuah jembatan yang dihancurkan pasukan Ukraina untuk menghentikan pergerakan Rusia. Satu konvoi Palang Merah yang terdiri dari sekitar 20 mobil sudah terjebak di sana. Kami semua keluar jalan raya melintasi tanah lapang dan jalan sempit.

Penjaga di pos pemeriksaan ke-15 bicara bahasa Rusia dengan aksen berat Kaukasus. Mereka menyuruh seluruh konvoi mematikan lampu depan untuk menyembunyikan senjata dan perlengkapan yang ditaruh di sisi jalan. Saya hampir tidak bisa melihat markah Z putih di kendaraan Rusia.

Ketika kami sampai ke pos pemeriksaan ke-16, kami mendengar suara. Suara orang Ukraina. Saya merasa luar biasa lega. Sang ibu di depan mobil menangis sejadinya. Kami keluar.

Kami adalah jurnalis terakhir di Mariupol. Sekarang tak ada lagi di sana.

Kami masih dibanjiri pesan dari mereka yang ingin tahu nasib orang-orang terkasih yang kami foto atau rekam. Mereka menulis pesan yang putus asa sekaligus intim untuk kami, bagaikan kami bukan orang asing, bagaikan kami mampu membantu mereka.

Ketika serangan udara Rusia menghancurkan gedung teater tempat ratusan orang berlindung pekan lalu, saya dapat menunjuk dengan tepat ke mana kami mesti pergi untuk mengetahui nasib penyintas, untuk mendengar langsung bagaimana rasanya terjebak selama berjam-jam di bawah setumpuk reruntuhan.

Mobil Hyundai yang dipakai dua jurnalis Associated Press, Mstyslav Chernov dan Evgeniy Maloletkan keluar dari Mariupol, timur Ukraina. Foto diambil pada 17 Februari 2022. (Sumber: Mstyslav Chernov/Associated Press)

Saya tahu gedung itu dan rumah-rumah yang hancur di sekitarnya. Saya tahu orang-orang yang terjebak di bawahnya.

Dan pada Minggu (20/3/2022), otoritas Ukraina menyebut Rusia mengebom sebuah sekolah seni tempat sekitar 400 orang berlindung di Mariupol.

Akan tetapi, kami tak lagi bisa berangkat ke sana.

Baca Juga: Diplomat Yunani Sempat Terjebak di Mariupol Ukraina, Ungkap Kengerian karena Serangan Rusia


 

Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Associated Press


TERBARU