Bisakah Netralitas Bantu Akhiri Perang Ukraina? Ini Penjelasannya
Krisis rusia ukraina | 18 Maret 2022, 06:02 WIBJENEWA, KOMPAS.TV — Saat ini pembicaraan antara Rusia dan Ukraina menuju gencatan senjata setelah tiga minggu pertempuran sengit. Para perunding sedang menjajaki kemungkinan “netralitas” Ukraina, bekas republik Soviet yang bergerak lebih dekat ke NATO dan berharap menjadi anggota, sehingg membuat Moskow marah, seperti dilaporkan Associated Press, Jumat, (18/3/2022)
Perundingan yang terjadi minggu ini membawa secercah harapan tentang kemungkinan jalan keluar dari krisis berdarah di Ukraina.
Mengikuti pernyataan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dalam istilah yang paling eksplisit sejauh ini, Ukraina tidak mungkin mewujudkan tujuannya untuk bergabung dengan NATO.
Seorang pejabat di kantor Zelenskyy mengatakan perundingan berpusat pada apakah pasukan Rusia akan tetap berada di wilayah separatis di Ukraina timur setelah perang, tempat di mana nanti perbatasan akan berada.
Ukraina juga menginginkan setidaknya satu kekuatan nuklir Barat terlibat dalam pembicaraan tersebut, dan adanya dokumen yang mengikat secara hukum tentang jaminan keamanan.
Sebagai gantinya, Ukraina siap untuk membahas status militer netral, kata pejabat itu kepada The Associated Press, dengan syarat anonim saat membahas masalah sensitif tersebut.
Sementara Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov dan Vladimir Medinsky, kepala negosiator Rusia, pertama kali menyebutkan secara terbuka hari Rabu bahwa masalah status "netral" Ukraina sedang dibahas kedua pihak, memicu permainan tebak-tebakan tentang apa artinya itu.
Baca Juga: Menhan Inggris Ben Wallace Kena Prank Panggilan Video Hoax, Mengaku PM Ukraina Denys Shmyhal
Tetapi bahkan jika kesepakatan tercapai, tidak ada jaminan yang bisa dipegang. Rusia, menurut banyak pengkritik, sangat melanggar hukum internasional dan melanggar komitmennya sendiri dengan menginvasi Ukraina sejak awal.
Dalam pandangan Presiden Rusia Vladimir Putin, Barat melanggar apa yang dianggapnya sebagai kewajibannya untuk tidak memperluas NATO ke Eropa Timur.
Netralias, Apa Artinya Hari Ini?
Netralitas adalah tentang ketidakberpihakan, menghindari aliansi yang mengikat, dan mencoba menghindari konflik, walau bahkan negara-negara yang dianggap “netral” pun memiliki batasan.
Negara-negara Eropa yang sering disebut saat konsep netralitas muncul adalah Swiss, yang seperti Austria sudah mengkodifikasikan netralitas ke dalam konstitusinya. Selain itu ada Swedia, Finlandia, Irlandia dan, pada suatu waktu, Belgia, yang sekarang menjadi tuan rumah NATO.
Swiss contoh Netralitas sebuah negara
Swiss tidak ikut aliansi apapun, menolak untuk bergabung dengan Uni Eropa, bertindak sebagai perantara antara negara-negara yang berseberangan, bahkan baru bergabung dengan PBB 20 tahun yang lalu, meskipun menjadi tuan rumah markas besar PBB di Eropa selama beberapa dekade.
Tetapi Swiss ikut kafilah Uni Eropa yang menerapkan sanksi Uni Eropa terhadap Rusia setelah invasi ke Ukraina.
Negara-negara lain mulai menyimpang dari netralitas dalam arti yang paling ketat, dimana pasukan Swedia ikut latihan cuaca musim dingin NATO di negara tetangga Norwegia; dan Finlandia yang lama menolak bergabung dengan NATO.
Tindakan Moskow di Ukraina kini mengubah semuanya.
Beberapa negara, terutama yang berdekatan dengan Rusia di Eropa Tengah dan Timur, kini condong dekat dengan NATO dan menjadi anggota, serta menghindari netralitas karena khawatir hal itu akan menunjukkan kelemahan dan kerentanan, dan bahwa Moskow dapat memanfaatkannya.
Baca Juga: Pilihan Posisi Indonesia Bikin Ukraina dan Rusia Kecewa sekaligus Berharap: Dilematis!
Alternatif apa yang ada di atas meja untuk Ukraina dan Rusia?
Sejarawan Leos Muller mengangkat Austria, yang menjaga jarak dari NATO, sebagai model yang mungkin untuk Ukraina.
Setelah Perang Dunia II, Austria, yang sebelum perang bagian dari Jerman, diduduki oleh pasukan dari empat kekuatan Sekutu, yaitu Inggris, Prancis, Amerika Serikat, dan Uni Soviet.
Pada tahun 1955, keempat kekuatan itu memutuskan menarik pasukan pendudukan mereka dan membiarkan Austria merdeka, tetapi hanya setelah Moskow bersikeras bahwa parlemen Austria pertama-tama menulis ke dalam konstitusinya jaminan netralitas.
“Saya pikir itulah solusi yang mereka pikirkan saat ini, karena itu berhasil untuk Austria,” kata Muller, seorang profesor sejarah di Universitas Stockholm dan penulis buku, “Netralitas dalam Sejarah Dunia.”
Namun, Muller meragukan apakah jalan keluar diplomatik dapat ditemukan dulu, setelah begitu banyak darah tertumpah di kedua belah pihak dalam konflik.
Apakah Netralitas menawarkan jalan keluar dari krisis?
Menegaskan “Netralitas” Ukraina ke dalam kesepakatan apa pun dapat membantu mengurangi ancaman militer yang dirasakan Rusia dari arah Ukraina, terutama atas kemungkinan Ukraina menjadi anggota NATO.
Ukraina menegaskan tidak memiliki niat bermusuhan terhadap Rusia tetapi memihak aliansi untuk memastikan keamanannya.
Selama bertahun-tahun, pejabat Rusia, mulai dari Putin hingga para pejabat di bawahnya, marah dengan gerakan merayap NATO ke arah timur setelah Perang Dingin, usai Pakta Warsawa yang dipimpin Soviet bubar.
Estonia, Latvia, dan Lituania adalah bekas republik Soviet yang sekarang anggota NATO.
Perang singkat pada tahun 2008 antara Rusia dan Georgia, yang menyebabkan lepasnya secara de facto dua wilayah Georgia dari peta nasionalnya, membuat ambisi Georgia sendiri untuk menjadi anggota NATO langsung pupus.
Ketika Ukraina tertarik lebih dekat ke Barat tahun 2014, Rusia mencaplok Krimea di semenanjung Laut Hitam dan separatis pro-Rusia menguasai bagian-bagian Ukraina timur pada tahun 2014.
Tindakan tersebut malah meningkatkan hasrat Kiev untuk bergabung dengan NATO, bahkan jika pengakuan itu masih jauh. Setelah hubungan yang intim antara NATO dan Ukraina, termasuk melibatkan senjata dan penasihat militer, Rusia mencapai titik didih dan murka sejak tahun lalu.
Baca Juga: Perundingan Rusia-Ukraina Berlanjut via Sambungan Video, Berlangsung Sengit tapi Ada Kemajuan
Bagaimana negera lain menerima konsep netralitas?
Negara-negara Eropa yang paling terkait dengan netralitas menerimanya dengan cara yang berbeda. Kadang-kadang menjadi lebih mudah melihatnya secara geografi, seperti dalam kasus Swedia dan negara-negara Nordik lainnya yang berada di selatan Laut Baltik.
Terkadang, Netralitas terasa dipaksakan. Muller mencatat Finlandia.
Selama Perang Dingin, Finlandia ditekan habis oleh Uni Soviet untuk tidak menentang aturan kebijakan luar negerinya.
Finlandia memihak Nazi Jerman selama Perang Dunia II dan memiliki perbatasan 1.340 kilometer dengan Rusia.
“Mereka selalu harus mempertimbangkan apa reaksi Soviet nantinya,” kata Muller mengenang masa Uni Soviet d Finlandia
Swiss, pada akhir perang penaklukan oleh kaisar Prancis Napoleon awal abad ke-19, menganut netralitas yang dijamin oleh kekuatan besar saat itu di Eropa pada Kongres Wina pada tahun 1815, kata Muller.
Selama generasi berikutnya, netralitas Swiss mendarah daging dan kini telah menjadi “bagian dari identitas nasional,” tambahnya.
Seberapa jauh konsep Netralitas dalam sejarah?
Konsep Netralitas sendiri sudah berusia ribuan tahun, seperti ketika beberapa negara-kota Yunani berusaha untuk menghindari terjerat dalam Perang Peloponnesia pada abad ke-5 SM, netralitas dalam pengertian modern di Eropa berasal dari abad ke-18, setelah Perjanjian Westphalia, yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun dan mencontohkan munculnya hukum internasional, kata Muller.
Beberapa negara mulai memilih netralitas karena kepentingan mereka, tetapi juga sebagai pilihan moral, katanya.
Ketika tidak jelas bagaimana memilih "siapa orang baik, dan siapa orang jahat," kata Muller, "maka, secara moral boleh saja berada di antara keduanya."
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV./ Associated Press