> >

Dubes Rusia untuk Indonesia Sebut Perang di Ukraina akan Berakhir jika Dua Hal Ini Tercapai

Krisis rusia ukraina | 6 Maret 2022, 22:37 WIB
Duta Besar Rusia untuk Indonesia Lyudmila Georgievna Vorobieva dalam wawancara secara virtual dengan KOMPAS TV, Sabtu (5/3/2022). (Sumber: Tangkapan layar video KOMPAS TV)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Duta Besar Rusia untuk Indonesia Lyudmila Georgievna Vorobieva mengatakan serangan militer negaranya ke Ukraina hanya akan berakhir jika target Moskow tercapai. Target tersebut adalah demiliterisasi dan ‘denazifikasi’ Ukraina.

Dalam wawancara virtual dengan jurnalis KOMPAS TV Frisca Clarissa, Sabtu (5/3/2022), Dubes Vorobieva mengatakan pihaknya berharap operasi militer ke Ukraina segera berakhir. 

“Tetapi ini akan mungkin diakhiri jika target kami tercapai, baik dengan cara diplomatik, berunding dengan pihak Ukraina, atau melalui operasi militer,” ungkapnya.

“Target kami sangat jelas, demiliterisasi dan ‘denazifikasi’ Ukraina sehingga Ukraina menjadi negara yang netral,” imbuhnya.

Dubes Rusia menuduh pemerintah Ukraina mendukung ideologi Nazi yang menurutnya tersebar luas di Ukraina.

Selain itu, dia menyebut akar masalah dari krisis ini adalah sabotase terhadap perjanjian Minsk yang dilakukan Kiev selama bertahun-tahun.

Rusia, kata Vorobieva, telah berusaha menempuh solusi damai dalam delapan tahun terakhir.

“Kami memprakarsai perjanjian Minsk yang memberikan cara yang jelas untuk menyelesaikan konflik di Ukraina,” ungkapnya.

Baca Juga: Perundingan Ketiga Rusia-Ukraina Digelar Besok Senin

Dilansir dari Al Jazeera, pada September 2014, Ukraina dan separatis yang didukung Rusia menyetujui sebuah kesepakatan gencatan senjata yang berisi 12 poin. Kesepakatan ini disebut perjanjian Minsk I. Sayangnya, perjanjian ini gagal setelah kedua belah pihak melakukan pelanggaran.

Kemudian pada Februari 2015, perwakilan dari Rusia, Ukraina, Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE), dan para pemimpin di dua wilayah yang dikuasai separatis pro-Rusia, Donetsk dan Luhansk, menyepakati sebuah perjanjian yang berisi 13 poin.

Lagi-lagi, perjanjian yang disebut sebagai Minsk II ini gagal menyelesaikan konflik di wilayah Ukraina bagian timur itu.

Salah satu penyebabnya, karena Rusia bersikeras mengatakan bahwa pihaknya bukan bagian dari konflik tersebut, sehingga tidak terikat dengan kesepakatan tersebut.

Baca Juga: Dubes Rusia untuk Indonesia Tuduh Barat Ubah Ukraina dan 'Pemerintahan Bonekanya' Jadi Anti-Rusia

Di samping itu, rupanya Moskow dan Kiev menginterpretasikan perjanjian Minsk dengan cara yang berbeda. Ukraina memandang perjanjian Minsk sebagai media untuk meraih kembali kontrol atas Donetsk dan Luhansk.

Sementara Rusia memandang kesepakatan tersebut sebagai kewajiban Ukraina untuk memberikan otonomi kepada Donetsk dan Luhansk, dan perwakilan di pemerintahan pusat, yang dampaknya akan memberikan Moskow kekuatan untuk memveto kebijakan-kebijakan luar negeri Kiev.

“Kesepakatan-kesepakatan yang ditandatangani dengan dukungan kekuatan Barat di Rusia tentu saja memberikan jalan untuk menemukan solusi atas desakan pertama-pertama, menghentikan konflik militer di sana dan memberikan Donetsk dan Luhansk status otonomi khusus,” kata Dubes Vorobieva.

“Pemerintah Ukraina (Kiev) menandatangani perjanjian ini. Mereka berkomitmen tetapi mereka tidak melakukan apa-apa. Rusia selalu dituduh tidak memenuhi perjanjian Minsk, sedangkan kami bukan bagian dari perjanjian Minsk.”

Baca Juga: Angkatan Bersenjata Ukraina: Rusia Kehilangan 11.000 Tentara, 258 Tank, 48 Helikopter, 44 Pesawat

 

Penulis : Edy A. Putra Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV/Al Jazeera


TERBARU