> >

Eropa Sambut Hangat Pengungsi Warga Ukraina, Tapi untuk Pengungsi Kebangsaan Lain, Sungguh Berbeda

Krisis rusia ukraina | 1 Maret 2022, 16:54 WIB
Seorang anak laki-laki pengungsi warga Ukraina melambai kepada kerabat usai keluar dari kereta yang membawa 275 orang ke Zahony, Hongaria, sebuah kota perbatasan dengan Ukraina, Jumat, 25 Februari 2022. Ratusan ribu pengungsi warga Ukraina disambut pemimpin negara Eropa, Namun, keramahtamahan itu justru menyoroti diskriminasi terhadap pengungsi Afrika dan Arab (Sumber: AP Photo/Anna Szilagyi)

“Warga negara dari semua negara yang menjadi korban agresi Rusia, atau yang hidupnya dalam bahaya dapat mencari perlindungan di negara saya,” katanya.

Szczerski mengatakan orang-orang dari sekitar 125 kebangsaan telah diterima di Polandia hingga Senin pagi asal Ukraina, termasuk warga Ukraina, Uzbekistan, Nigeria, India, Maroko, Pakistan, Afghanistan, Belarusia, Aljazair, dan banyak lagi. Secara keseluruhan, katanya, 300.000 orang masuk Polandia selama krisis.

Ketika lebih dari satu juta orang menyeberang ke Eropa pada tahun 2015, dukungan untuk pengungsi yang melarikan diri dari perang di Suriah, Irak, dan Afghanistan pada awalnya relatif tinggi.

Baca Juga: Warga Asing Mengeluh Diperlakukan Diskriminatif dan Rasis di Perbatasan Ukraina-Polandia

Penjaga perbatasan Polandia membantu pengungsi dari Ukraina saat mereka tiba di Polandia di perbatasan Korczowa, Polandia, Sabtu, 26 Februari 2022. Ratusan ribu pengungsi warga Ukraina disambut pemimpin negara Eropa, Namun, keramahtamahan itu justru menyoroti diskriminasi terhadap pengungsi Afrika dan Arab. (Sumber: AP Photo/Czarek Sokolowski)

Ada juga saat-saat permusuhan, seperti ketika seorang juru kamera Hungaria difilmkan menendang dan mungkin membuat para migran tersandung di sepanjang perbatasan negara itu dengan Serbia.

Namun saat itu, kanselir Jerman, Angela Merkel, dengan terkenal mengatakan "Wir schaffen das" ("Yuk kita bisa melakukannya"), dan perdana menteri Swedia mendesak warga untuk "membuka hati Anda" bagi para pengungsi.

Relawan berkumpul di pantai Yunani untuk menyelamatkan keluarga yang kelelahan menyeberang dengan kapal dari Turki. Di Jerman, mereka disambut dengan tepuk tangan di stasiun kereta dan bus.

Namun sambutan hangat segera berakhir setelah negara-negara Uni Eropa tidak setuju tentang bagaimana berbagi tanggung jawab, dengan penolakan utama datang dari negara-negara Eropa Tengah dan Timur seperti Hongaria dan Polandia.

Satu per satu, pemerintah di seluruh Eropa memperketat kebijakan migrasi dan suaka, sehingga mendapat julukan "Benteng Eropa."

Baru minggu lalu, Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi mengecam meningkatnya "kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang serius" di perbatasan Eropa, dengan telunjuk mengarah ke Yunani.

Tahun lalu ratusan orang, terutama dari Irak dan Suriah dan dari Afrika, terdampar di tanah tak bertuan antara Polandia dan Belarusia ketika Uni Eropa menuduh Presiden Belarusia Alexander Lukashenko memikat ribuan orang asing ke perbatasannya sebagai pembalasan atas sanksi.

Pada saat itu, Polandia memblokir akses ke kelompok bantuan dan jurnalis. Akibat kebijakan itu, lebih dari 15 orang pengungsi tewas karena kedinginan.

Baca Juga: PM Hungaria Serukan Rusia-Ukraina Damai, Khawatir Gelombang Pengungsi Akan Masuk Negaranya

Sekelompok migran asal Timur Tengah bersama anak kecil di kamp pengungsian sementara di perbatasan Polandia-Belarusia, Selasa (9/11/2021) dalam suasana beku. Ratusan ribu pengungsi warga Ukraina disambut pemimpin negara Eropa, Namun, keramahtamahan itu justru menyoroti diskriminasi terhadap pengungsi Afrika dan Arab. (Sumber: Leonid Shcheglov/BelTA via Associated Press)

Sementara itu di Mediterania, Uni Eropa mendapat kritik karena membayar Libya untuk mencegat para migran yang mencoba mencapai pantai Eropa, dan membantu mengembalikan para pengungsi ke pusat-pusat penahanan yang kejam dan seringkali mematikan.

“Tidak ada cara untuk menghindari pertanyaan seputar rasisme yang tertanam dalam kebijakan migrasi Eropa, ketika kita melihat betapa berbedanya reaksi pemerintah nasional dan elit Uni Eropa terhadap orang-orang yang mencoba mencapai Eropa,” Lena Karamanidou, peneliti migrasi dan suaka independen di Yunani.

Jeff Crisp, mantan kepala kebijakan, pengembangan dan evaluasi di UNHCR, setuju bahwa ras dan agama mempengaruhi perlakuan terhadap pengungsi.

“Negara-negara yang benar-benar negatif (buruk) dalam masalah pengungsi dan mempersulit Uni Eropa untuk mengembangkan kebijakan pengungsi yang koheren selama dekade terakhir, ujug-ujug muncul dengan respons yang jauh lebih positif,” kata Crisp.

Anggota partai berkuasa dari aliran nasionalis konservatif Polandia menggemakan pemikiran "Orban", mengatakan mereka ingin melindungi identitas Polandia sebagai negara Kristen dan menjamin keamanannya.

Pemikiran  "Orban" terhadap migrasi didasarkan pada keyakinannya bahwa untuk “melestarikan homogenitas budaya dan homogenitas etnis,” Hongaria tidak boleh menerima pengungsi dari budaya dan agama yang berbeda.

Argumen-argumen ini belum diterapkan pada tetangga Ukraina mereka, yang dengannya mereka berbagi ikatan sejarah dan budaya. Bagian dari Ukraina hari ini dulunya juga bagian dari Polandia dan Hongaria.

Baca Juga: Polandia Siap Tampung Pengungsi Ukraina jika Rusia Menyerang

Para migran di perahu karet terfoto saat operasi penyelamatan di lepas pantai Libya di Laut Mediterania, Jumat (13/11/2020). Ratusan ribu pengungsi warga Ukraina disambut pemimpin negara Eropa, Namun, keramahtamahan itu justru menyoroti diskriminasi terhadap pengungsi Afrika dan Arab. (Sumber: Antara via Reuters)

Lebih dari 1 juta orang Ukraina tinggal dan bekerja di Polandia dan ratusan ribu lainnya tersebar di seluruh Eropa. Sekitar 150.000 etnis Hongaria juga tinggal di Ukraina Barat, banyak di antaranya memegang paspor Hongaria.

“Ini nggak sepenuhnya tidak wajar bagi orang untuk merasa lebih nyaman berada diantara orang-orang yang datang dari dekat, yang berbicara bahasa (mirip) atau memiliki budaya (mirip)," kata Crisp.

Di Polandia, Ruchir Kataria, seorang sukarelawan India, mengatakan kepada Associated Press hari Minggu, rekan-rekannya terjebak di sisi perbatasan Ukraina yang melintasi Medyka, Polandia.

Di Ukraina, mereka awalnya disuruh pergi ke Rumania, yang jaraknya ratusan kilometer, katanya, setelah mereka melakukan perjalanan jauh dengan berjalan kaki ke perbatasan dan tidak makan selama tiga hari.

Akhirnya, setelah isu tersebut ramai, hari Senin rekan-rekan Ruchir berhasil melewati perbatasan Ukraina untuk masuk ke Polandia.

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV/Associated Press


TERBARU