Kajian Resmi: Belanda Lakukan Kekerasan Berlebihan Saat Perjuangan Kemerdekaan Indonesia 1945-1949
Kompas dunia | 18 Februari 2022, 04:25 WIBDEN HAAG, KOMPAS.TV - Sebuah proyek penelitian dan kajian sejarah yang didanai pemerintah Belanda dalam temuan yang dipublikasikan Kamis (17/2/2022) menyimpulkan, pasukan Belanda menggunakan “kekerasan ekstrem”, seringkali dengan sengaja, selama perang kemerdekaan Indonesia. Sementara pada saat itu, para pemimpin militer dan politikus di Belanda sebagian besar mengabaikan ekses tersebut.
Seperti dilansir Associated Press, Kamis (17/2/2022), penelitian dan penyelidikan selama empat setengah tahun oleh para ahli dari tiga lembaga penelitian sejarah itu hasilnya bertentangan dengan pandangan lama pemerintah Belanda, bahwa pasukan negara itu terlibat dalam kekerasan ekstrem hanya secara sporadis karena mereka memerangi pasukan pro-kemerdekaan, di bekas jajahan yang sekarang menjadi Indonesia.
Dalam pernyataan mereka, para peneliti mengatakan sumber yang mereka konsultasikan, menunjukkan, bahwa penggunaan kekerasan ekstrim oleh angkatan bersenjata Belanda tidak hanya meluas, tetapi sering juga disengaja, dan dimaafkan di setiap tingkatan politik, militer dan hukum.
Para peneliti mengatakan bukan tidak mungkin untuk memberikan jumlah pasti kejahatan dan korban.
Pada tahun 2013, pemerintah Belanda meminta maaf atas beberapa kekejaman yang dilakukan oleh pasukannya antara tahun 1945, ketika Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya dari penjajahan Belanda, dan tahun 1949 ketika Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia.
Raja Belanda Willem-Alexander secara resmi meminta maaf selama kunjungan kenegaraan 2020 ke Indonesia atas agresi negaranya di masa lalu.
Kasus pengadilan yang diprakarsai oleh kerabat dan penyintas kekejaman militer Belanda beberapa tahun terakhir memberikan tekanan pada pemerintah Belanda untuk mengkaji kembali tindakan militer mereka selama konflik kemerdekaan Indonesia.
Sebuah laporan Belanda sebelumnya, dari tahun 1969, mengakui “ekses kekerasan” di Indonesia tetapi berpendapat pasukan Belanda melakukan “aksi polisionil” yang sering dipicu oleh perang gerilya dan serangan teror yang menargetkan lawan-lawan kemerdekaan.
Baca Juga: Pameran Revolusi Kemerdekaan dari Kacamata Indonesia, Digelar Museum Nasional Belanda Rijksmuseum
Temuan yang diterbitkan hari Kamis melukiskan gambaran yang jauh lebih suram tentang tindakan pasukan Belanda.
“Selama perang, angkatan bersenjata Belanda menggunakan kekerasan ekstrem, terjadi sering dan secara struktural, dalam bentuk eksekusi tanpa pengadilan, perlakuan buruk dan penyiksaan, penahanan di bawah kondisi yang tidak manusiawi, pembakaran rumah dan desa, pencurian makanan dan perusakan harta benda, serangan udara yang tidak proporsional dan penembakan artileri, dan apa yang seringkali merupakan penangkapan massal secara acak dan penahanan massal,” seperti tertulis dalam penelitian tersebut.
Seluruh kekerasan tersebut juga melibatkan majikan politik dari angkatan bersenjata.
“Angkatan bersenjata Belanda sebagai institusi bertanggung jawab atas kekerasan yang mereka lakukan, termasuk kekerasan ekstrem. Namun, mereka beroperasi dalam konsultasi erat dengan dan di bawah tanggung jawab pemerintah Belanda,” dalam kesimpulan para peneliti.
Seorang perwakilan dari Institut Veteran Belanda mengkritik temuan tersebut.
“Hasil penyidikan menimbulkan rasa tidak nyaman dan kekhawatiran dalam diri saya, karena para veteran yang bertugas di bekas Hindia Belanda itu secara kolektif ditempatkan sebagai tersangka berkat kesimpulan yang tidak berdasar,” kata direktur lembaga itu, Paul Hoefsloot, dalam penyataan tertulis.
Hans van Griensven, ketua organisasi veteran Belanda lainnya, mengatakan kepada penyiar nasional NOS bahwa kekerasan itu tidak meluas seperti yang dikatakan.
“Tentu saja, ada yang tidak beres, seperti yang terjadi di setiap perang,” tambah Van Griensven. “Tetapi, secara umum, ada juga bantuan kemanusiaan, makanan didistribusikan, infrastruktur dibangun. Itu tidak dibahas dalam temuan."
Proyek penelitian, yang sebagian didanai oleh pemerintah Belanda, merupakan bagian dari perhitungan yang lebih luas dengan masa lalu kolonial Belanda.
Tahun lalu, Wali Kota Amsterdam meminta maaf atas keterlibatan kota itu dalam perdagangan budak dan Museum Nasional atau Rijksmuseum sejak pekan lalu membuka pameran tentang perang kemerdekaan Indonesia, dari kacamata rakyat Indonesia.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Associated Press