Presiden Kazakhstan Tolak Penyelidikan Internasional Terkait Krisis Berdarah di Negaranya
Kompas dunia | 30 Januari 2022, 06:22 WIBNUR-SULTAN, KOMPAS.TV - Presiden Kazakhstan Kassym-Jomart Tokayev pada Sabtu (29/1/2022) menolak mentah-mentah desakan untuk digelarnya penyelidikan internasional atas krisis di negara bekas Uni Soviet itu.
Seperti dilansir Strait Times, Minggu (30/1), ia mengatakan tidak berencana mengubah Konstitusi untuk memperpanjang kekuasaannya.
Sebagaimana diketahui, lebih dari 200 orang tewas dan ribuan terluka awal bulan ini dalam kekerasan yang dimulai dengan protes anti-pemerintah dan mendorong negara itu untuk memanggil pasukan yang dipimpin Rusia.
Tokayev dan pejabat Kazakhstan lainnya menyalahkan bentrokan yang menyebabkan negara terkaya di Asia Tengah itu ke dalam kekacauan kepada bandit dan teroris dengan koneksi asing, sambil memberikan sedikit bukti untuk mendukung teori tersebut.
Dalam wawancara televisi pertamanya sejak krisis dimulai, Tokayev menegaskan Kazakhstan diserang oleh anasir-anasir dan mengatakan negara akan dapat menyelidiki peristiwa itu tanpa bantuan asing.
"Saya tidak melihat perlunya penyelidikan (internasional) seperti itu. Kami memiliki orang-orang kami sendiri yang jujur, objektif," kata Tokayev dalam wawancara yang ditayangkan oleh stasiun televisi negara 'Khabar'.
Organisasi HAM Internasional dan Parlemen Eropa termasuk di antara mereka yang mendorong penyelidikan internasional atas kekerasan yang meletus menyusul protes damai, yang awalnya menargetkan kenaikan harga bahan bakar di bagian barat negara itu sebelum meluas ke tuntutan politik lainnya.
Tokayev menyebut resolusi 20 Januari Parlemen Eropa tidak objektif, prematur.
"Itu tidak membuat saya khawatir," tambah dia dalam sebuah wawancara.
Baca Juga: Mantan Presiden Kazakhstan Muncul di Televisi, Bantah Ada Konflik Antarelite
Presiden dua periode?
Tokayev juga menggunakan wawancara tersebut untuk mengklaim dia tidak memiliki rencana meniru pendahulunya yakni Nursultan Nazarbayev, 81 tahun, yang menjabat sebagai kepala negara selama hampir tiga dekade sebelum mendudukkan anak didiknya, Tokayev, ke kursi panas presiden pada 2019 lalu.
"Saya tidak tahu berapa lama saya akan menjadi Presiden Kazakhstan, tetapi saya benar-benar tahu bahwa, sesuai dengan Konstitusi, tidak lebih dari dua periode. Tidak akan ada perubahan undang-undang, apalagi Konstitusi."
Ketidakstabilan yang mematikan Kazakhstan telah merusak reputasi stabilitas yang diproyeksikan oleh kepemimpinan negara ini.
Hal ini sekaligus juga menyoroti perebutan kekuasaan di puncak pemerintahan, dimana pemerintah mengumumkan penangkapan mantan kepala keamanan nasional yang dekat dengan Nazarbayev atas tuduhan merencanakan kudeta pada hari-hari setelah bentrokan dan penjarahan mengguncang kota terbesar Almaty dan beberapa kota besar lainnya.
Tokayev menandai berakhirnya era Nazarbayev dalam pidato awal bulan ini, ketika dia mengkritik mentornya karena berada di pucuk ketidaksetaraan dan dalamnnya jurang kaya dan miskin yang merusak Kazakhstan.
Tetapi pada hari Jumat, ketika ia menerima kepemimpinan partai yang berkuasa, partai Nur Otan, dari Nur-Sultan Nazarbayev, Tokayev melunakkan kritik yang dia lancarkan sebelumnya terhadap orang kuat yang secara luas dipandang sebagai penentu Kazakhstan sebelum krisis.
"Presiden pertama melakukan banyak hal untuk mengubah negara kita menjadi negara yang kuat," katanya di kongres online Nur Otan, di mana Nazarbayev juga hadir saat itu.
Nazarbayev mempertahankan status konstitusional Pemimpin Bangsa, yang saat ini memberinya kekebalan dari penuntutan dan beberapa hak istimewa pembuatan kebijakan.
Baca Juga: Pasukan Aliansi CSTO yang Dipimpin Rusia Bersiap Pulang dari Kazakhstan
Parlemen Eropa mengadopsi resolusi menuntut penyelidikan internasional yang tepat atas kejahatan yang dilakukan terhadap rakyat Kazakhstan selama kekerasan.
Sebagian warga yang ditahan selama krisis, setelah pembebasan mengklaim mereka disiksa oleh polisi saat berada dalam tahanan.
Warga lainnya menuduh tentara menembaki mobil sipil selama keadaan darurat yang berakhir pekan lalu.
Jaksa negara bagian Kazakhstan mengatakan bahwa lebih dari 450 orang yang ditahan sedang diselidiki karena terorisme dan kejahatan yang terkait dengan gangguan publik.
Sebuah kontingen lebih dari 2.000 tentara dari Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif yang dipimpin Rusia tiba di negara itu pada 6 Januari dan menyelesaikan penarikannya sekitar dua minggu kemudian setelah situasi stabil.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Gading-Persada
Sumber : Straits Times