Makin Panas dengan AS, Rusia Tak Kesampingkan Gelar Pasukan dan Senjata di Kuba dan Venezuela
Kompas dunia | 14 Januari 2022, 00:21 WIBMOSKOW, KOMPAS.TV - Rusia pada Kamis (13/1/2022) dengan tajam meningkatkan taruhannya dalam perselisihannya dengan Barat mengenai Ukraina. Hal ini terjadi saat seorang diplomat senior menolak untuk mengesampingkan pengerahan militer Rusia ke Kuba dan Venezuela jika ketegangan dengan Amerika Serikat meningkat, seperti dilansir Associated Press, Kamis.
Wakil Menteri Luar Negeri Sergei Ryabkov, yang memimpin delegasi Rusia dalam pembicaraan hari Senin dengan Amerika Serikat di Jenewa, mengatakan dia tidak dapat mengoonfirmasi atau mengecualikan kemungkinan Rusia mengirim aset militer ke Kuba dan Venezuela jika pembicaraan gagal dan tekanan Amerika Serikat terhadap Rusia makin meningkat.
Rusia dan Amerika Serikat awal Minggu ini berunding di Jenewa dan pertemuan NATO-Rusia berikutnya gagal mempersempit kesenjangan pada tuntutan keamanan Moskow di tengah penumpukan pasukan Rusia di dekat Ukraina. Sementara Moskow menuntut penghentian ekspansi NATO, Washington dan sekutunya dengan tegas menolaknya.
Berbicara dalam sebuah wawancara dengan TV RTVI Rusia, Ryabkov mencatat bahwa "semuanya tergantung pada tindakan rekan-rekan Amerika Serikat kami," menunjuk pada peringatan Presiden Rusia Vladimir Putin bahwa Moskow dapat mengambil tindakan teknis secara militer jika Amerika Serikat memprovokasi Kremlin dan meningkatkan tekanan militer atas Rusia.
Sementara menyuarakan keprihatinan bahwa NATO berpotensi menggunakan wilayah Ukraina untuk penggelaran peluru kendali yang mampu mencapai Moskow hanya dalam lima menit, Putin mencatat kapal perang Rusia yang dipersenjatai dengan rudal jelajah hipersonik Zirkon terbaru akan memberi Rusia kemampuan serupa jika dikerahkan di perairan netral.
Zirkon, yang dikatakan Putin terbang dengan kecepatan sembilan kali kecepatan suara hingga jangkauan lebih dari 1.000 kilometer (620 mil), sulit dicegat dan dapat dilengkapi dengan hulu ledak konvensional atau nuklir.
Angkatan Laut Rusia akhir tahun ini akan dipersenjatai peluru kendali tersebut di kapal fregat dan kapal selamnya.
Baca Juga: Juru Bicara Putin Sebut NATO Cuma Alat Konfrontasi, Anggap Keanggotaan Ukraina Mengancam Rusia
Pernyataan Ryabkov mengikuti komentarnya bulan lalu yang membandingkan ketegangan saat ini di Ukraina dengan Krisis Rudal Kuba 1962, ketika Uni Soviet mengerahkan rudal ke Kuba dan Amerika Serikat memberlakukan blokade laut di pulau itu.
Krisis berakhir setelah Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy dan pemimpin Uni Soviet Nikita Khrushchev setuju Moskow akan menarik rudalnya sebagai imbalan atas janji Washington untuk tidak menyerang Kuba dan penarikan rudal Amerika Serikat dari Turki.
Segera setelah pemilihan pertamanya pada tahun 2000, Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan penutupan fasilitas pengawasan militer buatan Soviet di Kuba saat ia berusaha untuk meningkatkan hubungan dengan Washington.
Moskow beberapa tahun terakhir ini mengintensifkan kontak dengan Kuba ketika ketegangan dengan Amerika Serikat dan sekutunya meningkat.
Pada Desember 2018, Rusia secara singkat mengirim sepasang pembom Tu-160 berkemampuan nuklirnya ke Venezuela untuk menunjukkan dukungan kepada Presiden Venezuela Nicolas Maduro di tengah tekanan Barat.
Ryabkov mengatakan, penolakan Amerika Serikat dan sekutunya untuk mempertimbangkan permintaan utama Rusia terhadap ekspansi Barat ke Ukraina dan negara-negara bekas Soviet lainnya, membuat Rusia sulit untuk membahas masalah-masalah seperti pengendalian senjata dan langkah-langkah membangun kepercayaan, yang menurut Washington mereka siap merundingkan hal tersebut.
"Amerika Serikat ingin melakukan dialog tentang beberapa elemen situasi keamanan ... untuk meredakan ketegangan dan kemudian melanjutkan proses pengembangan geopolitik dan militer di wilayah baru, mendekati Moskow," katanya. “Kami tidak punya tempat untuk mundur.”
Baca Juga: Pasukan Aliansi CSTO yang Dipimpin Rusia Bersiap Pulang dari Kazakhstan
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov juga menggambarkan pembicaraan minggu ini sebagai "tidak berhasil" meskipun dia mencatat "beberapa elemen dan nuansa positif."
"Pembicaraan dimulai untuk menerima jawaban spesifik atas isu-isu pokok konkret yang diangkat, dan ketidaksepakatan tetap ada pada isu-isu utama, nah itu yang buruk," katanya dalam briefing jarak jauh dengan wartawan.
Peskov memperingatkan pecahnya hubungan Amerika Serikat-Rusia jika sanksi yang menargetkan Putin dan pemimpin sipil dan militer terkemuka lainnya diadopsi.
Langkah-langkah tersebut, yang diusulkan oleh Senat Demokrat, juga akan menargetkan lembaga keuangan terkemuka Rusia jika Moskow mengirim pasukan ke Ukraina.
“Ini menyangkut sanksi, bila mempertimbangkan respons setara yang tidak mungkin terhindarkan, secara efektif akan memulai perusakan hubungan (antara kedua negara),” kata Peskov memperingatkan, seraya menambahkan Rusia akan merespons dengan cara yang sama.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov juga mengecam sanksi yang diusulkan sebagai cerminan dari “arogansi” Amerika Serikat, menambahkan bahwa Moskow mengharapkan tanggapan tertulis terhadap tuntutannya dari AS dan NATO minggu depan untuk mempertimbangkan langkah lebih lanjut.
Pembicaraan itu terjadi saat sekitar 100.000 tentara Rusia dengan tank dan senjata berat lainnya berkumpul di dekat perbatasan timur Ukraina.
Rusia menepis kekhawatiran mereka sedang mempersiapkan invasi dan pada gilirannya menuduh Barat mengancam keamanannya dengan menempatkan personel dan peralatan militer di Eropa Tengah dan Timur.
Peskov menolak seruan Barat untuk penarikan mundur pasukan Rusia dari daerah dekat Ukraina. “Hampir tidak mungkin bagi NATO untuk mendikte kami di mana kami harus memindahkan angkatan bersenjata kami di wilayah Rusia,” katanya.
Baca Juga: AS Suruh Putin Memilih Terkait Ukraina, Dialog atau Konfrontasi!
Ketegangan seputar Ukraina dan tuntutan Rusia di Barat kembali muncul pada pertemuan Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Wina hari Kamis.
Menteri Luar Negeri Polandia Zbigniew Rau, yang menjabat sebagai Ketua OSCE, mencatat dalam pidato pembukaannya bahwa "risiko perang di wilayah OSCE sekarang lebih besar daripada sebelumnya dalam 30 tahun terakhir."
“Selama beberapa minggu, kami dihadapkan pada kemungkinan eskalasi militer besar-besaran di Eropa Timur,” katanya.
Pada tahun 2014, Rusia mencaplok Semenanjung Krimea Ukraina setelah penggulingan pemimpinnya yang bersahabat dengan Moskow dan mendukung pemberontakan separatis di timur negara itu, di mana lebih dari 14.000 orang tewas dalam lebih dari tujuh tahun pertempuran.
Ketegangan di Ukraina juga menjadi agenda utama pertemuan para menteri luar negeri Uni Eropa di Brest, Prancis.
Menteri Luar Negeri Denmark Jeppe Kofod mengatakan penting “bagi Putin untuk memahami bahwa ancaman militer, permainan yang dia mainkan, cara dia mencoba membawa kita kembali ke hari-hari tergelap Perang Dingin, sama sekali tidak dapat diterima.”
Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Josep Borrell, menegaskan, "setiap agresi lebih lanjut terhadap Ukraina akan memiliki konsekuensi besar dan biaya berat bagi Rusia," mengatakan blok 27 negara Uni Eropa menyediakan 31 juta euro bantuan logistik ke Ukraina. Selain itu tentara Uni Eropa sedang bersiap mengirim misi untuk membantu Ukraina melawan serangan siber.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Associated Press