Sedikitnya Tiga Orang Tewas Dalam Protes Anti-kudeta di Sudan
Kompas dunia | 7 Januari 2022, 07:28 WIBKHARTOUM, KOMPAS.TV - Pasukan keamanan Sudan menembakkan gas air mata dan peluru tajam pada ribuan demonstran yang memprotes pengambilalihan pemerintahan oleh militer, Kamis (6/1/2022). Peristiwa ini menewaskan sedikitnya tiga orang.
Kekerasan ini menggagalkan harapan transisi damai menuju demokrasi di Sudan. Kematian tiga orang tersebut menambah total korban tewas menjadi 60 orang dalam bentrokan yang terjadi dengan pasukan keamanan, sejak terjadinya kudeta pada 25 Oktober lalu.
Dari ketika korban tewas, dua di antaranya ditembak di Omdurman, sedangkan satu orang tewas di distrik Bahri.
Menurut aktivis dan Komite Dokter Sudan, Nazim Sirag, salah satu korban tewas di Omdurman adalah seorang pria yang tertembak di kepala dan meninggal sebelum sampai di rumah sakit. Selain itu banyak korban yang mengalami luka-luka.
Baca Juga: Terjadi Protes Prodemokrasi di Sudan, 2 Orang Tewas
PBB kembali mendesak pasukan keamanan Sudan untuk menahan diri. Hal ini diungkapkan oleh juru bicara PBB, Stephane Dujarric, Kamis.
Menurutnya, Sekjen PBB Antonio Guterres telah berbicara tentang masalah ini selama beberapa hari terakhir.
Sebelumnya, Utusan Khusus PBB Volker Perthes telah berada di Khartoum dan berbicara dengan mitra dan pihak-pihak penting selama beberapa hari terakhir.
Kamis pagi, ketika pengunjuk rasa turun ke jalan, para aktivis memposting video langsung di media sosial yang menunjukkan pengunjuk rasa mengibarkan bendera Sudan di beberapa kota dan meneriakkan: "Kekuatan untuk rakyat!" dan "Militer masuk ke dalam barak!"
Media sosial juga dipenuhi dengan gambar-gambar yang menunjukkan gas air mata yang mengaburkan unjuk rasa di Khartoum, dan pengunjuk rasa melemparkan batu dan melemparkan kembali tabung gas kosong ke pasukan keamanan.
Seperti dikutip dari The Associated Press, protes pada Kamis terjadi kurang dari seminggu setelah Perdana Menteri Abdallah Hamdok mengundurkan diri dari jabatannya dengan alasan kegagalan untuk mencapai kompromi antara para jenderal dan gerakan pro-demokrasi negara itu.
Hamdok digulingkan dalam kudeta, hanya untuk dipulihkan sebulan kemudian menyusul kesepakatan dengan militer yang dimaksudkan untuk meredakan ketegangan dan protes anti-kudeta.
Baca Juga: Abdalla Hamdok, PM Sudan Lulusan Manchester, Mundur Karena Tak Tahan Kemelut Politik
Kesepakatan itu ditolak oleh sebagian besar kelompok dan partai politik yang bersikeras menuntut para jenderal harus segera menyerahkan kekuasaan kepada warga sipil.
Sementara itu, militer mengatakan mereka tidak akan melepaskan kekuasaan sampai pemerintah baru terpilih pada Juli, sebagaimana tercantum dalam dokumen konstitusional yang mengatur masa transisi.
Kelompok advokasi NetBlocs mengatakan di Twitter bahwa jaringan internet dan telepon seluler terganggu menjelang protes digelar.
Tindakan ini kerap dilakukan oleh pihak berwenang sejak kudeta. Beberapa aktivis juga mencuit di Twitter bahwa banyak jembatan dan jalan ditutup.
Sudan telah lumpuh secara politik sejak kudeta. Pengambilalihan oleh militer terjadi lebih dari dua tahun setelah pemberontakan rakyat yang memaksa penggulingan otokrat lama Omar al-Bashir dan pemerintah Islamnya pada April 2019.
Penulis : Tussie Ayu Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Associated Press