> >

Hari Ini 30 Tahun Lalu, Uni Soviet Runtuh dan Berganti dengan Rusia yang Kita Kenal Sekarang

Kompas dunia | 25 Desember 2021, 19:10 WIB
Bendera Uni Soviet (kiri) berkibar bersisian dengan bendera Federasi Rusia di Kremlin di Moskow, Rusia, 21 Desember 1991. Pada 25 Desember 1991 malam, tepat 30 tahun lalu, bendera Uni Soviet diturunkan, berganti dengan bendera triwarna Rusia. (Sumber: (AP Photo/Alexander Zemlianichenko, File)

MOSKOW, KOMPAS.TV – Hari ini 30 tahun lalu, tepatnya pada 25 Desember 1991 malam, orang-orang yang melintasi Lapangan Merah bersalju di Moskow, terkejut.

Mereka menjadi saksi salah satu momen terpenting di abad 20: bendera merah berlambang palu arit dan bintang milik Uni Soviet, diturunkan dan diganti dengan bendera Federasi Rusia triwarna.

Beberapa menit sebelumnya, Presiden Soviet Mikhail Gorbachev mengumumkan pengunduran dirinya dalam siaran langsung di televisi, mengakhiri 74 tahun sejarah Soviet. 

Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev tampak mengecek jam tangannya sesaat sebelum mengumumkan pengunduran dirinya di Kremlin, Moskow pada Rabu, 25 Desember 1991. (Sumber: AP-Photo/Liu Heung Shing, File)

Dalam memoarnya, Gorbachev (kini 90 tahun) dengan getir mengakui kegagalannya mencegah kematian Uni Soviet, sebuah peristiwa yang mengganggu keseimbangan kekuatan dunia dan menabur benih tarik-menarik antara Rusia dan tetangganya, Ukraina.

“Saya masih menyesali kegagalan saya ‘membawa kapal di bawah komando saya ke perairan yang tenang, gagal melengkapi reformasi negara,” tulis Gorbachev.

Baca Juga: Konsulat Rusia di Ukraina Dilempar Bom Molotov, Kremlin Murka

Uni Soviet Runtuh

Hingga hari ini, sejumlah ahli politik berpendapat bahwa Gorbachev, yang berkuasa mulai 1985, seharusnya bisa mencegah keruntuhan Soviet jika saja ia lebih tegas memodernisasi perekonomian negara yang tengah lesu sambil mempertahankan kontrol sistem politik yang lebih ketat. 

“Runtuhnya Uni Soviet adalah satu peristiwa sejarah yang diyakini tak terpikirkan sampai saat peristiwa itu tak terelakkan,” ujar Dmitri Trenin, direktur Pusat Carnegie Moskow, dikutip dari Associated Press, Sabtu (25/12/2021).

“Uni Soviet, apa pun peluang jangka panjangnya, tidak ditakdirkan untuk runtuh saat itu terjadi,” imbuhnya.

Namun, hingga musim gugur 1991, ekonomi makin sengsara, dan makin banyak negara-negara republik Soviet yang ingin berpisah.

Kudeta gagal oleh garda komunis pada Agustus 1991 kian mengikis otoritas Gorbachev dan makin mendorong banyak negara republik Soviet mencari kemerdekaan.

Baca Juga: Rusia Terus Tambah Pasukan di Perbatasan Ukraina, Terbongkar lewat Foto Satelit

Saat Gorbachev yang putus asa berupaya menegosiasikan ‘kesepakatan persatuan’ antara negara—negara republik di bawah Uni Soviet, ia menghadapi perlawanan keras dari rivalnya, pemimpin Federasi Rusia Boris Yeltsin.

Yeltsin yang ingin mengambil alih Kremlin, didukung oleh para pemimpin republik Soviet yang lain.

Presiden Rusia Boris Yeltsin (dua dari kanan), Presiden Ukraina Leonid Kravchuk (dua dari kiri), pemimpin Belarus Stanislav Shushkevich (tiga dari kiri), Sekretaris Negara Rusia Gennady Burbulis (kanan), Perdana Menteri Belarus Vyacheslav Kebich (tiga dari kanan), dan Perdana Menteri Ukraina Vitold Fokin (kiri) menandatangani perjanjian mengakhiri Uni Soviet dan membentuk Persemakmuran Negara-Negara Merdeka di Viskuli, Belarus pada 8 Desember 1991. (Sumber: AP Photo/Yuri Ivanov, File)

Pada 8 Desember 1991, para pemimpin Rusia, Ukraina dan Belarus bertemu di sebuah pondok pemburu. Di sana, mereka mendeklarasikan bahwa Uni Soviet telah mati dan mengumumkan pembentukan Persemakmuran Negara-Negara Merdeka.

Dua minggu kemudian, 8 negara Soviet lain bergabung dalam aliansi yang baru terbentuk itu, dan memberi Gorbachev pilihan kejam nan tegas: mundur, atau berhadapan dengan kekerasan jika kukuh mempertahankan Uni Soviet.

Sang pemimpin Soviet itu pun menganalisis dilema tersebut, dan mencatat bahwa upaya memerintahkan penangkapan para pemimpin republik akan berakhir dengan pertumpahan darah. Pun, perpecahan militer dan badan-badan penegak hukum.

“Jika saya memutuskan bergantung pada sebagian struktur bersenjata, hal itu akan memicu konflik politik akut yang penuh darah dan konsekuensi negatif berdampak luas,” tulis Gorbachev.

“Saya tak bisa melakukkan itu: saya akan berhenti menjadi diri sendiri.”

Baca Juga: Rusia Rencanakan Pemakaman Massal Darurat, Diyakini Persiapan untuk Serang Ukraina

Senjata Nuklir yang Tertinggal

Saat para pemimpin Rusia, Belarus dan Ukraina mendeklarasikan kematian Uni Soviet, mereka tak terlalu memperhatikan pada apa yang akan terjadi pada 4 juta personel kuat militer Soviet dan gudang senjata nuklirnya yang masif. 

Usai runtuhnya Soviet, butuh waktu tahunan bagi upaya diplomatik yang dipimpin Amerika Serikat (AS) untuk membujuk Ukraina, Belarus dan Kazakhstan untuk menyerahkan senjata nuklir Soviet di wilayah mereka ke Rusia. Proses penyerahan itu akhirnya selesai pada 1996.

“Para pemimpin republik yang mengumumkan akhir Uni Soviet pada Desember 1991, tidak memikirkan seluruh konsekuensi dari apa yang mereka lakukan,” tutur Pavel Palazhchenko, pembantu Gorbachev.

Malapetaka Geopolitik Terbesar Abad ke-20

Presiden Rusia Vladimir Putin saat berbicara dalam konferensi pers tahunan di Moskow, Rusia, Kamis (23/12/2021). (Sumber: AP Photo/Alexander Zemlianichenko)

Presiden Rusia Vladimir Putin, yang mulai memimpin Rusia pada 2012, menggambarkan keruntuhan Soviet sebagai ‘malapetaka geopolitik terbesar abad ke-20’.

“Pecahnya Uni Soviet merupakan keruntuhan Rusia yang bersejarah,” ujar Putin dalam sebuah dokumenter yang ditayangkan bulan ini di televisi nasional Rusia.

Baca Juga: Putin Membela Nabi Muhammad: Menghinanya Bukanlah Kebebasan Berbicara

“Kami kehilangan 40 persen wilayah, kapasitas produksi dan populasi. Kami menjadi sebuah negara yang berbeda. Apa yang telah dibangun selama satu milenium, hilang sebagian besar.”

Kremlin pun bergerak untuk menandai kembali perbatasan Rusia pasca-Soviet pada 2014. Penggulingan pemimpin Ukraina yang akrab dengan Uni Soviet ditanggapi Kremlin dengan mencaplok Semenanjung Krimea dan mendukung pemberontak separatis di timur negara tetangganya itu.

Selama lebih dari perang 7 tahun di timur Ukraina, lebih dari 14.000 orang tewas. Kini ketegangan kian meningkat seiring penumpukan pasukan Rusia di perbatasan Ukraina.

 

Penulis : Vyara Lestari Editor : Gading-Persada

Sumber : Associated Press


TERBARU