> >

Perundingan Nuklir Tak Kelar-Kelar, Kaum Muda Iran Kini Sudah Tidak Peduli

Kompas dunia | 5 Desember 2021, 22:06 WIB
Seorang pedagang sedang menunggu pembeli di pasar tradisional Tajrish di sebelah utara Teheran, Iran pada 25 September 2021. Sanksi ekonomi Amerika Serikat terhadap Iran memicu inflasi tinggi yang mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat. (Sumber: AP Photo/Ebrahim Noroozi)

TEHERAN, KOMPAS.TV - Perundingan program nuklir Iran yang tidak kunjung kelar selama bertahun-tahun membuat kaum muda di negara itu lelah. Mereka pun bersikap masa bodoh dengan perundingan antara Iran dan negara-negara adidaya yang kini kembali digulirkan.

“Seluruh kehidupan kami berkutat tentang uranium, centrifuge, dan fasilitas nuklir,” tutur Morteza, seorang warga Iran dari Mashdad, kepada Middle East Eye.

Saat perundingan yang membahas tentang program nuklir Iran dimulai, Morteza berusia 18 tahun. Kini, usianya sudah 36 tahun, dan perundingan masih belum kelar juga.

Di saat yang sama, sanksi yang dijatuhkan negara-negara Barat telah melumpuhkan perekonomian Iran.

“Setelah 18 tahun, program nuklir ini cuma bermakna satu hal untukku: hilangnya masa mudaku. Cukup sudah,” katanya.

Baca Juga: Perundingan Nuklir Berlanjut, Iran Ogah Ketemu Delegasi AS

Berlarut-larutnya proses negosiasi nuklir, sanksi ekonomi, dan sikap diplomatik membuat banyak warga Iran merasa frustrasi dengan program nuklir.

Slogan “Energi nuklir adalah hak kami yang tidak bisa dicabut” yang dulu dipopulerkan Presiden Mahmoud Ahmadinejad tidak lagi bergaung di jalanan Iran.

Setelah sempat terhenti lima bulan, perundingan nuklir antara Iran dan negara-negara P4+1 yang terdiri dari Inggris, Prancis, China, Rusia, dan Jerman, kembali dilanjutkan pekan ini di Wina, Austria.

Perundingan kali ini bertujuan menghidupkan kembali Rencana Aksi Komprehensif Bersama (Joint Comprehensive Plan of Action/JCPOA) yang ditandatangani pada Juli 2015.

Baca Juga: Ledakan Terdengar di Fasilitas Nuklir Iran Natanz, Jadi Target Serangan?

Namun pada Mei 2018, Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump menarik diri secara sepihak dari JCPOA, sanksi internasional terhadap Teheran pun kembali dijatuhkan. JCPOA pun nyaris kolaps.

“Aku masih ingat, selama negosiasi pada 2015, kami mengikuti dengan semangat seluruh putaran perundingan,” ungkap Farzaneh, 31 tahun seperti dilansir Middle East Eye, Sabtu (4/12/2021).

“Kami mempercayai Tuan (Mohammad Javad) Zarif (perunding utama Iran). Dia memang bekerja keras, tapi tidak berhasil. Sekarang aku tidak tertarik untuk tahu apa yang sedang terjadi di Wina saat ini. Aku lelah melihat harapan-harapanku pupus,” tuturnya.

Perundingan tentang program nuklir Iran dimulai pada 2003 di era kepemimpinan Presiden Mohammad Khatami.

Saat itu, Iran, Prancis, Inggris, dan Jerman mencapai kesepakatan di mana Teheran bersedia menghentikan pengayaan uraniumnya.

Karena tekanan Amerika Serikat, negara-negara Eropa melanggar kewajiban di bawah perjanjian 2003 yang dicapai di Teheran, Brussels, dan Paris. Sebagai respons, Iran pun mengambil pendekatan yang kurang kooperatif.

Baca Juga: Iran Sebut Senjata Nuklir Israel Bahayakan Timur Tengah

Pemerintah Iran di bawah Mahmoud Ahmadinejad meneruskan program nuklir selama delapan tahun kekuasaannya dari 2005-2013 tanpa mempedulikan sanksi internasional.

Namun bahkan Ahmadinejad yang mendapat dukungan publik dalam negeri untuk mengembangkan program nuklir saja tidak mampu melawan tekanan internasional dan akhirnya kembali ke meja perundingan.

Penulis : Edy A. Putra Editor : Fadhilah

Sumber : Middle East Eye


TERBARU