Janda Mendiang Diktator Korea Selatan Minta Maaf atas Kebrutalan Almarhum Suami
Kompas dunia | 27 November 2021, 15:34 WIBSementara Roh diberi pemakaman kenegaraan, simpati untuk Chun, yang dijuluki “tukang jagal Gwangju” jauh lebih sedikit.
Meskipun Roh tidak pernah secara langsung meminta maaf atas tindakan keras tersebut, putranya berulang kali mengunjungi pemakaman Gwangju untuk memberi penghormatan kepada para korban dan meminta maaf atas nama ayahnya, yang terbaring di tempat tidur selama 10 tahun sebelum kematiannya.
Kudeta Chun memperpanjang kekuasaan negara yang didukung militer menyusul pembunuhan mentornya dan mantan jenderal angkatan darat, Park Chung-Hee, yang telah memegang kekuasaan sejak 1961.
Baca Juga: Mantan Presiden Korea Selatan Roh Tae-woo Meninggal Dunia
Selama kediktatoran berturut-turut, warga Korea Selatan mengalami pelanggaran hak asasi manusia yang besar meskipun ekonomi nasional tumbuh secara dramatis dari reruntuhan Perang Korea 1950-53.
Selain tindakan keras berdarah di Gwangju, pemerintah Chun juga memenjarakan puluhan ribu pembangkang lainnya selama tahun 1980-an, termasuk calon presiden dan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2000, Kim Dae-jung.
Kim, yang saat itu merupakan pemimpin oposisi terkemuka, pada awalnya dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer atas tuduhan mengobarkan pemberontakan Gwangju.
Setelah Amerika Serikat turun tangan, hukuman Kim dikurangi dan dia akhirnya dibebaskan.
Putus asa untuk mendapatkan legitimasi internasional, pemerintah Chun berhasil mendorong tawaran untuk menjadi tuan rumah Olimpiade 1988, sebuah proses yang disertai dengan pembersihan rumah besar-besaran dan penangkapan gelandangan dan tunawisma ketika para pejabat mencoba mempercantik negara itu untuk pengunjung asing.
Mencoba mengembangkan hubungan dengan Barat yang demokratis dan mengurangi jumlah mulut yang harus diberi makan di rumah, pemerintah Chun juga memfasilitasi adopsi internasional anak-anak Korea, sebagian besar ke keluarga kulit putih di Amerika dan Eropa, menciptakan apa yang sekarang menjadi diaspora adopsi terbesar di dunia.
Lebih dari 60.000 anak dikirim ke luar negeri selama masa kepresidenan Chun, kebanyakan dari mereka adalah bayi yang baru lahir yang diperoleh dari ibu tidak menikah yang dihajar stigma dan ditekan untuk melepaskan bayi mereka.
Kemarahan publik atas kediktatorannya akhirnya memicu protes nasional besar-besaran pada tahun 1987, memaksa Chun untuk menerima revisi konstitusi untuk memperkenalkan pemilihan presiden langsung, yang dianggap sebagai awal transisi Korea Selatan menuju demokrasi.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas TV/Associated Press