> >

Pengeboman AS yang Bunuh 64 Perempuan dan Anak di Suriah 2019 Ternyata Perintah Operasi Khusus

Kompas dunia | 14 November 2021, 23:59 WIB
Asap tebal membubung di atas desa Baghouz, di pedesaan provinsi Deir Ezzor, Suriah timur pada 18 Maret 2019 (Sumber: Al-Arabiya English via AFP)

WASHINGTON, KOMPAS.TV - Militer Amerika Serikat (AS) menutupi dua serangan udara di Suriah pada 2019 di Kota Baghuz yang menewaskan hingga 64 perempuan dan anak-anak dalam perang melawan ISIS, seperti dilaporkan New York Times pada Sabtu, dan dilansir Straits Times, Minggu (14/11/2021). 

Penyelidikan New York Times menemukan bahwa pengeboman itu diperintahkan oleh unit operasi khusus Amerika Serikat yang sangat rahasia, Satuan Tugas 9, yang bertanggung jawab atas operasi perang darat di Suriah.

Satuan tugas itu beroperasi dalam kerahasiaan sedemikian rupa sehingga kadang-kadang tidak memberi tahu bahkan mitra militernya sendiri tentang tindakan mereka.

Dalam kasus pengeboman Baghuz, komando Angkatan Udara AS di Qatar tidak tahu bahwa serangan itu akan dilakukan.

Setelah serangan udara, seorang perwira intelijen Angkatan Udara yang khawatir di pusat operasi memanggil seorang pengacara Angkatan Udara yang bertugas menentukan legalitas serangan.

Pengacara memerintahkan skuadron F-15E dan kru drone untuk menyimpan semua video dan bukti lainnya.

Dia naik ke lantai atas dan melaporkan serangan itu ke rantai komandonya, dengan mengatakan bahwa itu adalah kemungkinan pelanggaran hukum konflik bersenjata - kejahatan perang - dan peraturan memerlukan penyelidikan yang menyeluruh dan independen.

Tetapi penyelidikan yang menyeluruh dan independen tidak pernah terjadi.

Baca Juga: AS Sembunyikan Serangan Udara yang Tewaskan Puluhan Orang di Suriah, Berpotensi Kejahatan Perang

Peta pertahanan terakhir ISIS di Baghuz, Suriah, yang digempur habis tahun 2019. (Sumber: Wikipedia)

Sebelumnya, pada hari-hari terakhir pertempuran melawan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) di Suriah, ketika anggota kekhalifahan yang dulu ganas saat itu berbalik terpojok di sebuah dataran sebelah kota Baghuz, sebuah pesawat tak berawak militer AS berputar-putar tinggi di atas, berburu sasaran militer.

Tapi pesawat tak berawak itu hanya melihat kerumunan besar wanita dan anak-anak berkerumun di tepi sungai.

Tanpa peringatan, sebuah jet pengebom F-15E milik Amerika Serikat melesat melintasi layar definisi tinggi drone dan menjatuhkan bom seberat 220 kg ke kerumunan perempuan dan anak-anak itu.

Kemudian sebuah jet menjatuhkan satu bom lain seberat 900kg, lalu disusul dengan bom yang lain.

Saat itu 18 Maret 2019. Di Pusat Operasi Udara Gabungan militer AS yang sibuk di Pangkalan Udara Al Udeid di Qatar, personel berseragam yang menonton rekaman drone langsung menatap tidak percaya.

"Siapa yang menjatuhkan itu?" seorang analis yang bingung mengetik di sistem obrolan aman yang digunakan oleh mereka yang memantau drone. Yang lain menjawab, "Kita baru saja menjatuhkan (bom) kepada 50 wanita dan anak-anak."

Baca Juga: Menyentuh, Foto Pengungsi Suriah Pakai Kruk Gendong Anak Disabilitas Menangkan Siena Award 2021

Terlihat sekelompok orang menyelamatkan diri dari pemboman berat di Baghuz, Suriah — tempat pertahanan terakhir ISIS — pada 18 Maret 2019 (Sumber: Giuseppe Cacace/Straits Times via Agence France-Presse/Getty Images)

Amerika Serikat menggambarkan perang udara melawan ISIS sebagai pengeboman yang paling tepat dan manusiawi dalam sejarahnya.

Militer mengatakan setiap laporan korban sipil diselidiki dan temuan dilaporkan secara terbuka, menciptakan apa yang disebut militer sebagai model akuntabilitas.

Tapi serangan di Baghuz menceritakan kisah yang berbeda.

Rinciannya menunjukkan, sementara militer memberlakukan aturan ketat untuk melindungi warga sipil, satuan tugas Operasi Khusus berulang kali menggunakan aturan lain untuk menghindari aturan ketat itu.

Bahkan dalam kasus Baghuz yang bukan main jumlah korbannya, yang akan menempati urutan ketiga dalam peristiwa korban sipil terburuk militer di Suriah jika 64 kematian warga sipil diakui, peraturan untuk melaporkan dan menyelidiki potensi kejahatan tidak diikuti, dan tidak ada yang bertanggung jawab.

Hampir 1.000 serangan menghantam sasaran di Suriah dan Irak pada 2019, menggunakan 4.729 bom dan peluru kendali.

Penghitungan resmi militer warga sipil yang tewas sepanjang tahun itu hanya 22, dan serangan di Baghuz pada 18 Maret 2019 itu tidak ada dalam daftar.

Pertempuran di Baghuz mewakili akhir dari kampanye pimpinan AS selama hampir lima tahun untuk mengalahkan ISIS di Suriah.

Di darat, Satuan Tugas 9 mengoordinasikan serangan darat dan serangan udara. Unit tersebut termasuk tentara dari Grup Pasukan Khusus ke-5 dan tim komando elit Angkatan Darat Delta Force.

Baca Juga: 13 Tentara Suriah Tewas dalam Serangan Bom terhadap Bus Militer di Damaskus

Analisis satelit lokasi serangan udara koalisi pimpinan AS di Baghuz (19 Januari - 20 Februari 2019) (Sumber: Human Rights Watch/ Planet Labs Inc.)

Seiring waktu, beberapa pejabat yang mengawasi kampanye serangan udara mulai percaya bahwa gugus tugas khusus itu secara sistematis menghindari pengamanan yang dibuat untuk membatasi kematian warga sipil.

Proses itu seharusnya berjalan melalui beberapa checks and balances.

Drone dengan kamera definisi tinggi mempelajari target potensial, terkadang selama berhari-hari atau berminggu-minggu.

Analis meneliti data intelijen untuk membedakan kombatan dari warga sipil. Dan pengacara militer dikerahkan dengan tim pengebom untuk memastikan pembidikan mematuhi hukum konflik bersenjata.

Tapi ada cara cepat dan mudah untuk melewatkan sebagian besar aturan dan koridor ketat itu, yaitu mengklaim adanya bahaya yang akan segera terjadi.

Hukum konflik bersenjata, buku aturan yang menjabarkan perilaku hukum militer dalam perang, memungkinkan pasukan dalam situasi yang mengancam jiwa untuk menghindari birokrasi tim hukum, analis dan birokrasi lainnya, dan meminta serangan langsung dari pesawat di bawah apa yang disebut peraturan militer sebagai "hak bawaan untuk membela diri".

Satuan Tugas 9 biasanya hanya memainkan peran penasehat di Suriah, dan tentaranya biasanya berada jauh di belakang garis depan.

Meski begitu, pada akhir 2018, sekitar 80 persen dari semua serangan udara diklaim sebagai pembelaan diri.

Aturan tersebut memungkinkan pasukan Amerika Serikat dan sekutu lokalnya untuk menggunakan alasan itu ketika menghadapi tidak hanya tembakan musuh langsung, tetapi siapa pun yang menunjukkan "niat bermusuhan". Di situ potensi bahayanya bagi warga sipil.

Di bawah definisi itu, sesuatu yang biasa seperti mobil yang melaju bermil-mil dari pasukan, dalam beberapa kasus dapat menjadi sasaran bom, karena satuan tugas khusus itu menafsirkan aturan secara luas.

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Fadhilah

Sumber : Kompas TV/Straits Times via New York Times


TERBARU