Jokowi di KTT ASEAN: Myanmar Tak Diundang adalah Keputusan Sulit yang Harus Dilakukan
Kompas dunia | 26 Oktober 2021, 19:06 WIBKUALA LUMPUR, KOMPAS.TV — Para pemimpin Asia Tenggara memulai pertemuan puncak tahunan KTT ASEAN tanpa Myanmar pada Selasa (26/10/2021), di tengah kebuntuan diplomatik atas dikeluarkannya pemimpin negara yang diperintah militer itu dari KTT para pemimpin negara Asia Tenggara itu.
Melansir Associated Press, Myanmar melewatkan KTT itu sebagai protes setelah Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara melarang jenderal tertingginya menghadiri KTT ASEAN.
Penolakan ASEAN untuk mengizinkan Jenderal Min Aung Hlaing mewakili Myanmar di KTT itu merupakan teguran paling keras terhadap junta militer Myanmar sejak mereka menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi pada Februari.
Brunei, yang tahun ini menjadi ketua ASEAN, mengundang diplomat veteran Myanmar, Chan Aye, sebagai perwakilan “non-politik”. Tetapi, dia tidak menghadiri pertemuan itu, kata Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi kepada wartawan di Jakarta.
Presiden Joko Widodo pada KTT ASEAN, seperti dikutip Menlu Retno, mengatakan, tidak diundangnya Myanmar yang belum pernah terjadi sebelumnya “adalah keputusan yang sulit tetapi harus dilakukan.”
Terlepas dari prinsip dasar ASEAN untuk tidak mencampuri urusan anggota lain dan mengambil keputusan berdasarkan konsensus, Presiden Jokowi di KTT itu mengatakan, ASEAN “juga berkewajiban untuk menegakkan prinsip-prinsip lain dalam piagam ASEAN seperti demokrasi, pemerintahan yang baik, penghormatan terhadap hak asasi manusia dan pemerintahan konstitusional,” kutip Menlu Retno Marsudi.
“Sebagai sebuah keluarga, uluran tangan ASEAN tetap harus ditawarkan kepada Myanmar. Indonesia secara konsisten berharap demokrasi melalui proses inklusif dapat segera dipulihkan di Myanmar,” kata Menlu Retno mengutip ucapan Presiden Jokowi.
Baca Juga: Biden Akan Hadir di KTT ASEAN, Upaya AS untuk Hadang Langkah China?
Kudeta militer di Myanmar memicu protes luas yang dibalas tindakan keras oleh junta militer. Pasukan keamanan diperkirakan telah membunuh hampir 1.200 warga sipil, meskipun junta militer mengklaim jumlah korban tewas lebih rendah.
Ketidakhadiran Myanmar di KTT itu menyusul penolakan militer negara itu mengizinkan utusan khusus ASEAN, Menteri Luar Negeri Kedua Brunei Erywan Yusof, untuk bertemu dengan Suu Kyi dan para pemimpin sipil lainnya yang ditahan.
PM Thailand Prayut Chan-o-cha mengatakan, krisis Myanmar adalah ujian kemampuan ASEAN untuk menyelesaikan masalah regionalnya sendiri. Prayut, kata juru bicara pemerintah Thailand Thanakorn Wangboonkongchana, berharap Myanmar percaya pada ASEAN dan mengizinkan Erywan bertemu dengan semua pihak sebagai langkah awal yang penting dalam menyelesaikan krisis.
Pembicaraan selama tiga hari yang diadakan melalui video karena kekhawatiran penyebaran virus corona itu akan diikuti oleh para pemimpin dunia lainnya. Termasuk, Presiden AS Joe Biden dan para pemimpin China dan Rusia.
Ini akan menjadi pertama kalinya sejak 2017, seorang presiden AS menghadiri KTT ASEAN. Pertemuan tersebut diharapkan akan menyoroti krisis Myanmar yang memburuk serta masalah keamanan dan ekonomi regional lainnya.
Baca Juga: KTT ASEAN ke 38 Dimulai Secara Virtual, Kursi Myanmar Kosong
Sementara ASEAN mengambil langkah besar dengan mengeluarkan Min Aung Hlaing dari KTT, sekelompok anggota parlemen yang bekerja untuk meningkatkan hak-hak di kawasan itu, Anggota Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia, mendesak blok itu pada hari Selasa untuk terlibat dengan Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) yang menjadi oposisi pemerintah militer. NUG memandang dirinya sebagai pemerintah bayangan dan telah berusaha untuk menghadiri KTT ASEAN.
"ASEAN harus berhenti mengundang perwakilan lain dari junta militer ke semua pertemuan resmi ASEAN sampai kekerasan berakhir, semua tahanan politik dibebaskan, dan keinginan rakyat untuk demokrasi yang matang telah didengar," kata kelompok itu dalam sebuah pernyataan.
Pada Senin (25/10/2021), seorang pejabat senior AS mengadakan pertemuan virtual dengan dua perwakilan NUG. Penasihat Keamanan Nasional Jake Sullivan "menggarisbawahi dukungan berkelanjutan AS untuk gerakan pro-demokrasi" dan menyatakan keprihatinan atas kekerasan militer.
Sullivan mengatakan, Washington akan terus mengupayakan pembebasan semua orang yang “ditahan secara tidak adil”, termasuk aktivis pro-demokrasi terkemuka Ko Jimmy, yang ditangkap dalam penggerebekan hari Sabtu.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV/Associated Press