Mantan Menlu Amerika Serikat Colin Powell Meninggal Dunia akibat Komplikasi Covid-19
Kompas dunia | 18 Oktober 2021, 20:58 WIBWASHINGTON DC, KOMPAS.TV - Jenderal Colin Powell, pahlawan perang dan menteri luar negeri kulit hitam pertama Amerika Serikat, meninggal dunia pada Senin (18/10/2021) di usia 84 tahun karena komplikasi Covid-19. Demikian diungkapkan pihak keluarga dalam sebuah pernyataan seperti dilansir Straits Times.
“Almarhum sudah divaksinasi lengkap. Kami ingin berterima kasih kepada staf medis di Pusat Medis Nasional Walter Reed atas perawatan mereka yang penuh perhatian. Kami telah kehilangan suami, ayah, kakek, dan orang Amerika yang luar biasa dan penyayang," kata keluarga Powell dalam sebuah posting di halaman Facebook-nya.
Masa Perang Teluk I tahun 1991 saat Irak menduduki Kuwait, Powell adalah seorang jenderal Angkatan Darat bintang empat yang menjabat sebagai Kepala Staf Gabungan di bawah Presiden George H.W. Bush. Saat itu, pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat mengusir pasukan Irak dari negara tetangganya, Kuwait.
Powell semasa hidup adalah seorang Republikan moderat dan seorang pragmatis, usai terlibat memimpin Perang Teluk I kemudian dia menjabat sebagai menteri luar negeri di bawah Presiden George W. Bush.
Colin Powell adalah putra imigran Jamaika yang menjadi pahlawan perang AS dan menteri luar negeri kulit hitam pertama negara adidaya tersebut.
Pensiunan jenderal bintang empat dan mantan Kepala Staf Gabungan yang mengabdi kepada empat presiden Amerika Serikat itu merupakan sosok sangat terhormat yang jauh dari hingar bingar politik dan dianggap sebagai aset di koridor kekuasaan.
"Jenderal Powell adalah pahlawan Amerika, contoh Amerika, dan kisah Amerika yang hebat," kata George W. Bush saat mengumumkan pencalonan Powell sebagai menteri luar negeri pada tahun 2000.
"Dalam keterusterangan berbicara, integritasnya yang tinggi, rasa hormatnya yang mendalam terhadap demokrasi kita, dan rasa tugas dan kehormatan prajuritnya, Colin Powell menunjukkan ... kualitas yang akan membuatnya menjadi perwakilan hebat dari semua orang di negara ini." kata Bush saat mengangkat Powell sebagai menteri luar negerinya.
Baca Juga: Partai Pemimpin Syiah Muqtada al-Sadr Menang Pemilu Irak
Tapi Powell kemudian merasa sangat sulit untuk mempertahankan pidatonya sendiri yang terkenal pada Februari 2003 di Dewan Keamanan PBB yang memaparkan bukti dan memberi justifikasi terhadap penyerbuan Amerika Serikat dan sekutu ke Irak atas tudingan keberadaan senjata pemusnah massal.
Di kemudian hari, bukti yang dia tunjukkan kemudian terbukti salah dan bohong belaka.
"Itu adalah noda... dan akan selalu menjadi bagian dari catatan saya. Itu menyakitkan. Ini menyakitkan sekarang," kata Powell dalam wawancara dengan ABC News pada 2005.
Dilahirkan pada 5 April 1937, hidup Powell dimulai di Harlem, New York, tempat ia dibesarkan dan memperoleh gelar dalam bidang geologi.
Dia juga ikut dalam Korps Pelatihan Perwira Cadangan (ROTC) di perguruan tinggi, dan setelah lulus pada Juni 1958, dia menerima penugasan sebagai letnan dua di Angkatan Darat AS, dan ditempatkan di Jerman Barat saat itu.
Powell menyelesaikan dua tur tugas di Vietnam, tahun 1962-63 sebagai salah satu dari ribuan penasihat militer John F. Kennedy, dan sekali lagi pada 1968-69 untuk menyelidiki pembantaian My Lai.
Dia mendapatkan bintang purple heart tetapi juga menghadapi mata selidik yang mempertanyakan nada laporannya tentang ratusan kematian di My Lai, yang bagi sebagian orang tampaknya mengabaikan kemungkinan kesalahan apa pun di pihak Amerika.
"Saya berada di unit yang bertanggung jawab atas My Lai. Saya tiba di sana setelah My Lai terjadi," katanya kepada pewawancara Larry King pada 2004.
"Jadi, dalam perang, hal-hal mengerikan semacam ini sesekali terjadi, tetapi mereka tetap harus disesalkan."
Kembali ke Washington, karir dan pangkatnya dengan cepat meroket, termasuk menjadi penasihat keamanan nasional, di bawah Ronald Reagan, dan sebagai Kepala Staf Gabungan di bawah George H.W. Bush dan Bill Clinton tahun 1989-1993.
Pengalaman Powell di Vietnam sebagai seorang prajurit muda menuntunnya untuk mengembangkan apa yang disebut "Doktrin Powell", yang mengatakan jika Amerika Serikat harus campur tangan dalam konflik di negara asing, Amerika Serikat harus mengerahkan kekuatan luar biasa berdasarkan tujuan politik yang jelas.
Bagi banyak orang Amerika, dia adalah wajah publik Perang Teluk 1991 melawan Irak.
Baca Juga: Presiden Iran Ramalkan Masa Depan Donald Trump, Bakal Digantung Seperti Saddam Hussein
Powell awalnya ragu-ragu untuk pergi ke negara itu, tetapi reputasinya melambung setelah serangan kilat yang mengusir pasukan Saddam Hussein dari Kuwait.
Untuk sementara, dia bahkan mempertimbangkan untuk mencalonkan diri sebagai presiden.
Tetapi setelah pensiun dari tentara pada 1993, Powell mengabdikan dirinya untuk bekerja atas nama anak-anak muda yang kurang beruntung sebagai ketua America's Promise, sebuah kelompok advokasi pemuda.
Untuk sementara, dia menangkis pertanyaan baru tentang keinginannya untuk jabatan publik, sampai George W. Bush datang memanggilnya untuk memimpin Departemen Luar Negeri sebagai menteri luar negeri ke-65.
"Saya berharap ini akan memberi inspirasi bagi anak muda Afrika-Amerika," kata Powell dalam pidato penerimaan nominasi pada 2000, mengatakan kepada mereka: "Tidak ada batasan bagi Anda."
Empat tahun di Foggy Bottom atau kantor departemen luar negeri AS, 2001-2004 selamanya ditandai dengan keputusan untuk menyerang Irak pada 2003.
Sebelumnya, Powell mencari kebijakan yang lebih hati-hati, berjuang untuk mendapat angin melawan para elang penyuka perang di kabinet Bush sambil mencoba mempengaruhi sekutu untuk mendapatkan dukungan mereka, namun semuanya sia-sia.
Dia membela keputusannya mendukung invasi ke Irak pada 2003 sampai akhir masa jabatannya, dan telah menanggung beban kritik dan hujatan sejak itu, karena argumentasinya di Dewan Keamanan PBB bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal ternyata bohong belaka.
"Saya tahu saya tidak punya pilihan," kata Powell kepada The New York Times pada Juli 2020.
"Pilihan apa yang saya miliki? Dia presidennya."
Powell dengan bebas mengakui pandangan sosial liberalnya membuatnya menjadi konco yang canggung bagi banyak tokoh Partai Republik, meskipun partai itu sering dengan senang hati mengangkatnya sebagai contoh inklusivitas partai tersebut.
"Saya masih seorang Republikan. Dan saya pikir Partai Republik membutuhkan saya lebih dari Partai Demokrat membutuhkan saya," katanya kepada MSNBC pada 2014.
"Anda bisa menjadi seorang Republikan dan masih merasa kuat tentang isu-isu seperti imigrasi dan peningkatan sistem pendidikan kita atau mencari solusi masalah sosial yang ada di masyarakat dan negara kita."
Tapi sejak 2008, Powell menyatakan dukungan ke partai Demokrat dengan dua kali mendukung Barack Obama, dan kemudian Hillary Clinton lalu Joe Biden.
Powell mendapatkan sejumlah penghargaan sipil, termasuk Presidential Medal of Freedom, dua kali, yaitu dari Bush Senior dan Clinton.
Dia menikahi istrinya Alma pada 1962 dan dikaruniai tiga anak, Michael, Linda dan Annemarie.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas TV/France24/Straits Times