Laporan IUCN 2021, Indonesia Punya 189 Fauna Kritis Terancam Punah, 26 Spesies Adalah Mamalia
Kompas dunia | 6 September 2021, 07:00 WIBJENEWA, KOMPAS.TV - Komodo (Varanus komodoensis) kini mendapat status "Terancam Punah" atau Endangered, setelah sebelumnya berstatus "Vulnerable" atau Rentan.
Seperti yang dilansir dari website IUCN dan laporan France24, Minggu (05/09/2021), status terbaru itu muncul dalam Daftar Merah Satwa Dunia yang Terancam dari International Union for the Conservation of Nature (IUCN) yang dikeluarkan menjelang Kongres IUCN di Marseille, Prancis.
Selain Komodo, Indonesia memiliki 170 flora dan 189 fauna yang berstatus kritis terancam punah (Critically Endangered) dalam Daftar Merah Spesies Terancam dari IUCN. Dari 189 fauna itu terdiri dari 29 kelas Aves atau unggas, 11 kelas reptilia, 3 kelas amfibia, dan 26 kelas mamalia, dan selebihnya satwa lautan.
Hampir 30 persen dari 138.374 spesies yang dinilai oleh IUCN dalam daftar pantauan kelangsungan hidup, sekarang terancam punah selamanya di alam liar, akibat makin parahnya dampak destruktif aktivitas manusia terhadap alam.
Pesan utama dari Kongres IUCN, yang berlangsung di kota Prancis, Marseille, adalah hilangnya spesies dan perusakan ekosistem merupakan ancaman eksistensial yang tidak kalah pentingnya dengan pemanasan global.
Baca Juga: Duh, Komodo Kini Terancam Punah akibat Kenaikan Permukaan Air Laut dan Aktivitas Manusia
Dalam pengumuman itu, Komodo jatuh ke status "Terancam Punah" karena kekhawatiran akan kenaikan permukaan air laut di habitat asli Komodo yang terletak di pulau-pulau kecil yang berlokasi di tempat terpencil di Indonesia Timur.
Terperangkap di habitat pulau yang dibuat lebih kecil oleh kenaikan muka air laut, komodo Indonesia turun dari status rentan atau "Vulnerable" dan pada hari Sabtu, (04/09/2021) terdaftar dengan status terancam punah atau "Endangered" dalam pembaruan Daftar Merah satwa liar IUCN.
Pada saat yang sama, perubahan iklim menghasilkan awan mendung yang sangat gelap pada masa depan banyak spesies, terutama hewan dan tumbuhan endemik yang hidup secara unik di pulau-pulau kecil atau di titik-titik keanekaragaman hayati tertentu seperti Komodo.
Komodo, kadal terbesar di dunia, hanya ditemukan di Taman Nasional Komodo yang terdaftar sebagai Warisan Dunia dan Pulau Flores yang berdekatan.
Menurut IUCN, spesies komodo semakin terancam oleh dampak perubahan iklim, di mana naiknya muka air laut diperkirakan akan menyusutkan habitat Komodo setidaknya 30 persen selama 45 tahun ke depan.
"Sangat menakutkan bila hewan prasejarah ini bergerak satu langkah lebih dekat ke kepunahan sebagian karena perubahan iklim," kata Andrew Terry, Direktur Konservasi di Zoological Society of London.
Dari 26 kelas mamalia, terdapat satwa-satwa unik dan sangat terancam punah, inilah beberapa di antaranya:
Baca Juga: Terancam Punah, Ini Penampakan Rusa Sambar yang Jadi Rusa Terbesar di Indonesia
Badak Sumatra
Badak sumatra atau Dicerorhinus sumatrensis adalah satu-satunya spesies dari genus Dicerorhinus yang tersisa, sehingga bila badak sumatera punah, maka punahlah satu genus di dunia.
Badak sumatra adalah yang terkecil, paling berbulu, dan paling terancam punah dari lima spesies badak di dunia, hanya ditemukan di Pulau Sumatra dan sejauh ini satu ekor di Kalimantan.
Di Sumatra, populasi badak sumatra terpusat di Taman Nasional Way Kambas, Taman Nasional Ekosistem Gunung Leuser, dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
Saat ini pemerintah Indonesia dibantu internasional sedang melaksanakan Rencana Aksi Darurat penyelamatan badak sumatra di Lampung dan Aceh, dengan tujuan menyelamatkan badak tersisa ke habitat alami khusus yang dijaga aparat bersenjata selama 24 jam agar aman dan dapat berkembang biak, baik secara alami maupun secara berbantuan.
Sifat soliter badak sumatra dan preferensi habitat alami mereka yang berupa hutan lebat membuat populasinya sulit untuk dihitung, tetapi para peneliti percaya berdasarkan data ilmiah, saat ini populasi mereka hanya tersisa kurang dari 80 ekor badak sumatra yang bertahan hidup di luar penangkaran.
Kebanyakan dari mereka terisolasi dalam populasi kecil yang terserak dan sangat terancam oleh degradasi lahan, perusakan hutan, perburuan dan pembangunan infrastruktur.
Kemajuan alami dari konservasi sejauh ini dinilai lambat dan badak sumatra dipandang tetap sepenuhnya bergantung pada tindakan konservasi, kata Michelle Nijhuis di Yale Environment 360, bagian dari Yale School of Environment di Amerika Serikat.
Menurut perkiraan peningkatan teknologi penangkaran dan pengurangan permintaan pasar gelap untuk cula badak dalam beberapa dekade mendatang, para ahli mengatakan, ratusan badak sumatra dapat diperkenalkan kembali ke situs yang dilindungi dengan baik di Sumatra dan Kalimantan selama tindakan konservasi dapat dilakukan terus menerus di habitat alaminya.
Baca Juga: Orangutan Tapanuli Terancam Punah Akibat Terus Diburu
Orangutan Tapanuli
Orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis), hidup di Ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara, dan resmi dinobatkan sebagai spesies baru pada November 2017.
Orangutan tapanuli menjadi jenis ketiga yang hidup di Indonesia, selain orangutan sumatra (Pongo abelii) dan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus).
Seperti dilansir dari Mongabay Indonesia, orangutan tapanuli hidup pada habitat sangat terbatas dalam areal sekitar 132 ribu hektare di bentang alam Batang Toru dan beberapa habitat lain yang terus diteliti. Kondisi habitatnya juga terpisah, karena faktor alam maupun akibat pembangunan wilayah.
Dugaan angka populasi orangutan tapanuli masih ada perbedaan. Penelitian Nater tahun 2017 memperkirakan kisaran 800 individu, sementara Kuswanda tahun memprediksi antara 495-577 individu.
Pemerintah Indonesia dalam Dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi SRAK Orangutan 2019- 2029, menggunakan angka 577-760 individu, di habitat seluas 1.051,32 kilometer persegi yang tersebar pada dua metapopulasi. Lokasi itu adalah Batang Toru Barat dan Batang Toru Timur.
Orangutan tapanuli berdasarkan gen mitokondria diperkirakan telah terpisah dengan garis keturunan orangutan sumatra dan orangutan kalimantan sejak 3,5 juta tahun silam.
Baca Juga: Tukik Lekang Yang Hampir Punah Dilepaskan Di Alam Liar
Badak Jawa
Badak jawa (Rhinoceros sondaicus), juga dikenal sebagai badak sunda atau badak bercula satu, adalah anggota famili Rhinocerotidae yang sangat langka dan satu dari lima badak yang masih ada. Itu milik genus yang sama dengan badak India.
Setelah badak Asia yang paling tersebar luas, badak jawa berkisar dari Pulau Jawa dan Sumatra, di seluruh Asia Tenggara, dan ke India dan Cina.
Spesies ini sangat terancam punah, dengan hanya satu populasi yang diketahui di alam liar, dan tidak ada individu di penangkaran.
Badak jawa mungkin mamalia besar paling langka di bumi dengan populasi sekitar 75 di Taman Nasional Ujung Kulon di ujung barat Jawa di Indonesia.
Penurunan populasi badak jawa dikaitkan dengan perburuan, terutama untuk culanya, yang sangat berharga dalam pengobatan tradisional Tiongkok, dengan harga mencapai 30.000 dollar AS per kg di pasar gelap.
Sisa populasi saat ini hanya ada di Taman Nasional Ujung Kulon di Banten, namun masih terancam pemburu liar, penyakit, dan hilangnya keragaman genetik akibat perkawinan sedarah.
Badak jawa dapat hidup sekitar 30–45 tahun di alam liar. Secara historis menghuni hutan hujan dataran rendah, padang rumput basah, dan dataran banjir besar.
Spesies ini sebagian besar soliter, kecuali untuk musim kawin dan membesarkan anak. Badak jawa biasanya menghindari manusia.
Para ilmuwan dan konservasionis jarang mempelajari hewan secara langsung karena kelangkaan ekstrem mereka dan bahaya mengganggu spesies yang terancam punah tersebut.
Para peneliti mengandalkan kamera jebak (Camera Trap) dan sampel tinja untuk mengukur kesehatan dan perilaku.
Badak jawa lebih kecil dari badak India, dan ukurannya mendekati badak hitam. Merupakan hewan terbesar di Jawa dan hewan terbesar kedua di Indonesia setelah gajah Asia.
Baca Juga: Primata Asli Gunung Leuser itu Orangutan Sumatera, Kini diambang Kepunahan
Orangutan Sumatra
Orangutan sumatera (Pongo abelii) adalah salah satu dari tiga spesies orangutan.
Orangutan Sumatera hanya ditemukan di Sumatra Utara dengan populasi lebih jarang daripada orangutan Kalimantan tetapi lebih banyak daripada orangutan Tapanuli yang juga ditemukan di Sumatra.
Orangutan sumatra liar di rawa Suak Balimbing diamati menggunakan alat bantu terutama dalam mencari makanan. Mereka akan mematahkan dahan pohon yang panjangnya sekitar setengah meter, mematahkan ranting-rantingnya dan mengobrak-abrik salah satu ujungnya dengan giginya.
Orangutan sumatera akan menggunakan tongkat saat menggali lubang pohon untuk menangkap rayap yang merupakan salah satu kudapan favorit. Mereka juga menggunakan tongkat untuk menyodok dinding sarang lebah, memindahkannya dan mengambil madunya untuk dikonsumsi.
Alat dibuat berbeda untuk kegunaan yang berbeda. Tongkat sering dibuat lebih panjang atau lebih pendek tergantung pada apakah mereka akan digunakan untuk serangga atau buah-buahan.
Jika alat tertentu terbukti bermanfaat, orangutan akan sering menyimpannya dan seiring waktu, mereka akan memiliki sebuah "kotak peralatan".
Menurut IUCN, ancaman utama bagi orangutan sumatra terutama adalah penurunan habitat alami akibat aktivitas manusia, perubahan iklim & cuaca buruk, dan pergeseran serta pengubahan habitat.
IUCN mencatat status orangutan sumatra saat ini dalam kondisi kritis terancam punah (Critically Endangered Species).
Pada tahun 2017, sekitar 82,5% populasi orangutan sumatra terbatas di ujung paling utara pulau, di Provinsi Aceh. Orangutan jarang ditemukan di selatan Sungai Simpang Kanan di sisi barat Sumatra atau di selatan Sungai Asahan di sisi timur.
Untuk spesies yang telah lama dianggap sedikit lebih kuat daripada tampilan museum, itu adalah perubahan radikal dalam narasinya, yang mungkin mengarah pada komitmen uang dan usaha baru.
Sebuah survei yang diterbitkan pada Maret 2016 memperkirakan populasi 14.613 orangutan sumatra di alam liar, dua kali lipat dari perkiraan populasi sebelumnya.
Sebagian di antaranya dilindungi di lima kawasan di Taman Nasional Gunung Leuser, lainnya tinggal di daerah yang tidak terlindungi.
Program pembiakan yang berhasil telah dilaksanakan di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh di Provinsi Jambi dan Riau.
Baca Juga: Terancam Punah, Ini Penampakan Rusa Sambar yang Jadi Rusa Terbesar di Indonesia
Rusa Bawean
Rusa bawean (Axis kuhlii) aalah satu jenis rusa yang endemik di Pulau Bawean, sebuah pulau di kawasan Laut Jawa. Jenis ini dikenal sebagai pelari ulung yang hidup di semak-semak hutan dan aktif malam hari.
Rusa ini sangat hati-hati alias tidak menyukai kehadiran manusia, sehingga banyak menghabiskan waktu di hutan dan lereng-lereng curam.
Seperti dilansir Mongabay, tinggi rusa bawean dewasa sekitar 65 cm dengan panjang tubuh mencapai 140 cm. Jenis ini tidak memiliki gigi taring di rahang atas, sementara gigi seri di rahang bawah berukuran agak besar.
Berdasarkan data Balai Besar Konservasi Sumber Alam Jawa Timur, populasi rusa bawean mengalami penurunan dari 325 ekor pada tahun 2015 menjadi 303 ekor pada 2016.
Di Indonesia, rusa bawean merupakan jenis dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi.
Berdasarkan peraturan ini juga, keluarga Cervidae lain yang dilindungi adalah rusa sambar (Rusa unicolor), rusa timor (Rusa timorensis), kijang kuning (Muntiacus atherodes), dan kijang muncak (Muntiacus muntjak).
IUCN metetapkan rusa bawean dalam status Critically Endangered atau Kritis dan Terancam Punah. Berdasarkan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), rusa ini masuk Appendix 1, artinya jumlah rusa bawean di alam sangat sedikit dan tidak boleh diperdagangkan.
Baca Juga: Suku-Suku Asli Amazon Desak Perlindungan Hutan Hujan Amazon pada Kongres IUCN September Nanti
Selain satwa-satwa tersebut, satwa lain yang masuk kategori Kritis Terancam Punah adalah Trenggiling Sunda, Burung Rangkong Helm, Orangutan Kalimantan, Yaki, Kukang Jawa, Kelelawar Aru, Hiu Martil, dan Hiu Sirip Putih.
IUCN pada hari Sabtu juga secara resmi meluncurkan "status hijau", yaitu standar global pertama untuk menilai pemulihan spesies dan mengukur dampak upaya konservasi.
“Hal ini membuat kerja konservasi yang tidak terlihat menjadi terlihat,” Molly Grace, seorang profesor di Universitas Oxford dan ketua bersama Green Status, mengatakan pada konferensi pers pada hari Sabtu, (04/09/2021)
Tolok ukur baru itu mengukur sejauh mana spesies habis atau pulih dibandingkan dengan tingkat populasi historis mereka, dan mengukur serta menilai efektivitas tindakan konservasi masa lalu dan potensi masa depan.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : IUCN/France24/Yale School of Environment/Pusat Studi Satwa Primata IPB