> >

Taliban, Al-Qaeda dan ISIS Ternyata Bertolak Belakang dan Sering Baku Bunuh, Simak Kisah Mereka

Kompas dunia | 27 Agustus 2021, 06:05 WIB
Apa perbedaan mendasar dan ideologis antara kelompok garis keras ISIS, Al-Qaeda, dan Taliban? Ternyata mereka punya banyak perbedaan. Taliban dan ISIS menyatakan perang satu sama lain tahun 2015. (Sumber: Picture Alliance)

LONDON, KOMPAS.TV - Amerika Serikat, Inggris, dan Australia beberapa hari terakhir mengeluarkan pengumuman darurat atas meningkatnya ancaman serangan teror dari kelompok ISIS di Afghanistan.

Mereka meminta warga di sekitar Bandara Kabul membubarkan diri dan mencari tempat aman, serta warga yang menuju bandara untuk membatalkan rencana dan mencari tempat aman hingga pengumuman lebih lanjut, seperti dilansir France24, Kamis (26/08/2021).

Taliban sendiri ikut bersuara, dan mengatakan personel mereka yang berjaga di luar bandara juga menghadapi ancaman yang sama dari serangan ISIS.

Banyak yang bertanya-tanya, apa perbedaan mendasar antara berbagai kelompok garis keras ISIS, Al-Qaeda, dan Taliban?

Ternyata mereka punya banyak perbedaan. Taliban dan ISIS menyatakan perang satu sama lain tahun 2015.

Berikut ini perbedaan ideologis antara ISIS, Al-Qaeda dan Taliban, namun terlebih dahulu kita berangkat dari persamaan di antara mereka. 

Kelompok Negara Islam ISIS, Al-Qaeda dan Taliban adalah kelompok jihad radikal yang berfokus untuk membersihkan dunia dari ancaman, seperti yang mereka rasakan, yang ditimbulkan oleh budaya Barat terhadap Islam.

Namun, meskipun secara umum mereka memiliki ideologi yang sama, pandangan mereka sebenarnya berbeda secara signifikan, sedemikian rupa sehingga ketiga kelompok tersebut sering mengalami konflik satu sama lain, hingga ke taraf saling bunuh dan saling serang. 

Meskipun tidak dapat disangkal bahwa IS atau kelompok Negara Islam mendominasi media dalam beberapa tahun terakhir, baik Al-Qaeda maupun Taliban masih sangat berkibar.

Baca Juga: Pemimpin Baru Al-Qaeda Disebut Lebih Berbahaya dan Sadis Dibandingkan Osama Bin Laden

Mullah Mohammed Omar pendiri kelompok Taliban, bersama Mullah Abdul Ghani Baradar. (Sumber: France24)

Kelompok Taliban

Taliban berbeda dari Al-Qaeda karena banyak prinsip mereka berasal dari cara hidup suku Pashtun tradisional di Afghanistan, meskipun keduanya mempraktikkan aliran Islam Sunni.

Kelompok ini menjadi terkenal di Afghanistan pada musim gugur 1994, dan memerintah di negara itu selama lima tahun, dari 1996 hingga 2001.

Taliban berasal dari kata Talib berarti 'murid/mahasiswa/santri', dan secara luas diamini bahwa kelompok itu pertama kali muncul dari madrasah-madrasah sepanjang wilayah Pakistan dan Afghanistan yang mengajarkan tafsir yang ketat dari Islam Sunni.

Mereka awalnya berjanji untuk memulihkan perdamaian dan keamanan melalui hukum Syariah di wilayah Pashtun di Pakistan dan Afghanistan. Namun saat memerintah, kelompok tersebut memberlakukan undang-undang yang sangat ketat bagi warga mereka.

Berlawanan dengan kepercayaan banyak orang, Taliban itu ternyata tidak tunggal, tapi bermacam-macam kelompok yang berbeda.

Kelompok terbesar dan paling efektif di Pakistan adalah TTP (Tahrik e Taliban Pakistan). Kelompok inilah yang berusaha membunuh Malala Yousafzai karena bersekolah di wilayah kekuasaan kelompok tersebut.

Uniknya, Taliban Afghanistan dan Taliban Pakistan adalah saingan sekaligus sekutu, semacam benci tapi rindu; mereka memiliki ideologi yang sedikit bertentangan dan pernah saling bentrok di masa lalu.

Baca Juga: Osama Bin Laden Diyakini Gunakan Video Porno untuk Kirim Pesan Rahasia ke Anggota Al Qaeda

Mullah Mawlawi Hibatullah Akhundzada, yang dilaporkan merupakan pemimpin tertinggi dan pemimpin spiritual kelompok Taliban. (Sumber: AP Photo)

Seperti laporan Josh Schott di E-International Relations tahun 2016, menjelang tahun 2001 Al-Qaeda dan Taliban memiliki tujuan yang sangat berbeda (dan masih sampai sekarang).

Taliban Afghanistan hanya punya tiga tujuan besar dari tahun 1994 hingga 2001 dan mungkin hingga saat ini: membersihkan Afghanistan dari panglima perang yang korup dan menertibkan Afghanistan, menciptakan pemerintahan yang berfungsi untuk Imarah atau Emirat Islam Afghanistan berdasarkan hukum Syariah menurut tafsir Taliban, dan mendapatkan pengakuan internasional.

Taliban hanya berusaha untuk memperbaiki Afghanistan; mereka memiliki perspektif lokal, cakrawala terbatas, dan prioritas terbatas, sebatas negeri mereka sendiri.

Penderitaan orang Palestina, Kashmir, Chechnya atau Muslim di tempat lain tidak menarik minat Taliban; pada kenyataannya, beberapa orang Taliban mungkin tidak memiliki pengetahuan tentang konflik-konflik tersebut.

Secara kelembagaan, Taliban membatasi jihad mereka hanya di Afghanistan.

Dalam pandangan mereka, jika kelompok militan asing lainnya menyatakan jihad melawan pemerintah mereka sendiri atau negara barat, maka baiklah terserah, karena Taliban Afghanistan memandang itu tidak menyangkut Afghanistan dan tidak akan melibatkan mereka.

Baca Juga: Osama Bin Laden Ternyata Larang Al-Qaeda Habisi Joe Biden, Alasannya Mengejutkan

Mullah Abdul Ghani Baradar, salah satu pendiri Taliban, sempat ditangkap Pakistan namun dibebaskan atas desakan Amerika Serikat dan hingga kini menjadi deputi urusan politik dan memimpin perundingan damai mewakili Taliban (Sumber: Straits Times)

Tujuan mereka tidak pernah melampaui batas negara Afghanistan. Lebih lanjut, Taliban tidak terlalu peduli dengan ancaman westernisme, bahkan membangun hubungan yang nyaman dengan pemerintah Amerika Serikat dan perusahaan minyak AS UNOCAL pada saat Taliban jaya-jayanya di akhir tahun 90an.

Delegasi Taliban bahkan pernah diterima presiden Amerika Serikat dan mendapatkan dana USAID beberapa puluh juta dollar karena menuruti permintaan AS untuk membasmi perkebunan pohon koka, bahan baku pembuatan heroin dan kokain.

Secara historis, Afghanistan berbeda dari Timur Tengah dan Asia Selatan dalam hal tidak ada tradisi anti-Barat tertentu, kecuali kebencian terhadap Inggris.

Ini dapat menjelaskan mengapa “hanya segelintir orang Afghanistan yang bergabung dengan gerakan internasional seperti Al-Qaeda, dan kurangnya partisipasi mereka dalam kegiatan di luar wilayah perbatasan Afghanistan atau Pakistan”.

Baca Juga: Taliban Kembali Berkuasa, Mantan Jenderal Top Afghanistan Merasa Dikhianati Biden, Trump dan Ghani

Pendiri Al Qaeda, Osama bin Laden. Al-Qaeda mengikuti ajaran Wahhabisme, sebuah bentuk ekstrem dari Islam Sunni yang bersikeras pada interpretasi literal Al-Qur'an.(Sumber: AP Photo)

Al-Qaeda
Seperti yang sudah kita ketahui bersama, Al-Qaeda adalah pengikut Wahhabisme, sebuah bentuk ekstrem dari Islam Sunni yang bersikeras pada interpretasi literal Al-Qur'an, berpegang pada konsep 'jihad defensif' yaitu kewajiban setiap Muslim untuk memerangi mereka yang mungkin dianggap menentang Islam.

Kelompok teroris ini berada di balik serangan keji 9 September 2001 di New York dan tujuan utamanya adalah mendirikan negara Islam berdasarkan hukum Syariah menurut tafsir mereka.

Pendiri Al-Qaeda, Osama bin Laden, pertama kali terlibat dalam jihad di Afghanistan ketika ia membuka rumah singgah dan pelatihan militer di Arab Saudi untuk rekrutan yang pergi ke Afghanistan untuk berjihad, serta menggalang dana untuk jihad.

Orang-orang kaya, termasuk anggota keluarga kerajaan Saudi, berkontribusi pada tujuan ini dan pemerintah Saudi menawarkan diskon besar untuk terbang ke Pakistan dan selanjutnya berperang di Afghanistan, seperti ditulis Josh Schott di E-International Relations tahun 2012.

Lawrence Wright dalam bukunya "The Looming Tower: Al-Qaeda and the Road to 9/11" pada tahun 2006 menjelaskan, “Orang-orang yang terlibat dalam jihad di Afghanistan merasa Islam terancam oleh kemajuan komunisme. Afghanistan tidak berarti banyak bagi sebagian besar dari mereka, tetapi iman orang-orang Afghanistan lah yang sangat berarti.”

Singkatnya, Al-Qaeda tidak peduli dengan cita-cita nasionalisme Afghan, mereka hanya peduli karena iman dan keyakinan warga Afghan yang sama dengan mereka. 

Ketika Bin Laden akhirnya pergi ke Pakistan dan masuk Afghanistan, dia melihat orang-orang Arab Afghanistan tidak terlatih dengan baik, jadi bin Laden bersama cendekiawan Palestina Abdullah Azzam mendirikan Rumah Singgah di Peshawar orang-orang Arab yang datang untuk berperang dalam jihad di Afghanistan.

Baca Juga: Taliban Tunjuk Mantan Tahanan Guantanamo Jadi Menhan Afghanistan, Begini Sosoknya

Pemimpin Al-Qaeda, Ayman Al-Zawahiri dilaporkan meninggal karena asma. Al-Qaeda mengikuti ajaran Wahhabisme, sebuah bentuk ekstrem dari Islam Sunni yang bersikeras pada interpretasi literal Al-Qur'an. (Sumber: AP Photo)

Sementara, Osama bin Laden dan Ayman al-Zawahiri pertama kali bertemu ketika Bin Laden menghadiri ceramah di rumah sakit tempat Zawahiri bekerja sebagai dokter di Arab Saudi. 

Mereka saling melengkapi dan mengisi kekurangan yang lain. Zawahiri membutuhkan uang dan kontak, yang dapat diberikan oleh Bin Laden dengan mudah, sementara Bin Laden membutuhkan arahan dan Zawahiri, yang disediakannya untuk Osama.

Ketika perang mulai mereda pada tahun 1988, ketegangan mulai meningkat antara Azzam dan Zawahiri, karena mereka berdua memiliki tujuan yang berbeda setelah Uni Soviet mundur dari Afghanistan sementara keduanya ingin menggunakan Bin Laden untuk mencapai tujuan masing-masing.

Azzam menentang pembunuhan warga sipil yang disengaja dan hanya ingin fokus pada pembebasan Palestina, diikuti dengan pembebasan Muslim yang tertindas di wilayah lain; Sementara, Zawahiri ingin memulai revolusi di negara-negara Muslim.

Bin Laden sendiri memiliki tujuan yang sedikit berbeda dari kedua pria itu. Dia ingin membawa perjuangan mereka ke Filipina, Kashmir dan terutama republik-republik Asia Tengah di mana jihad melawan Uni Soviet dapat berlanjut, seperti dilansir E-International Relations. 

Selain itu, sangatlah penting untuk memahami latar belakang geografis, budaya, dan etnis serta sumber rekrutmen Al-Qaeda dan Taliban untuk membedakan antara kedua kelompok.

Kedua pendiri Al-Qaeda yang paling berpengaruh, Zawahiri dan Bin Laden, berasal dari keluarga kaya, terkemuka dan keduanya berpendidikan sangat baik.

Rekrutmen Al-Qaeda pertama adalah orang Arab Afghanistan dari perang melawan Soviet di Afghanistan. Nah, latar belakang orang-orang Arab yang ikut berperang dalam jihad melawan Soviet ini beragam.

Ajaran Azzam tentang kesyahidan dan seruan jihad banyak memikat anak muda Arab dari berbagai latar belakang sosial maupun ekonomi.

Baca Juga: Profil Abdul Ghani Baradar, Kepala Biro Politik Taliban yang Disebut Calon Presiden Afghanistan

Al Qaeda. Al-Qaeda mengikuti ajaran Wahhabisme, sebuah bentuk ekstrim dari Islam Sunni yang bersikeras pada interpretasi literal Al-Qur'an. (Sumber: AP Photo)

Banyak dari mereka adalah fundamentalis murni namun melarat dan rindu keadilan, yang memandang diri mereka "sebagai pagar betis tanpa batas yang diberdayakan oleh Tuhan untuk membela seluruh umat Islam".

Kematian dan kemartiran secara khusus menarik mereka yang mengalami penindasan pemerintah dan perampasan sumber ekonomi. Kemartiran dan surga tampak jauh lebih menarik daripada penderitaan hidup.

Sedangkan kelompok Arab Afganistan lainnya termasuk mereka yang hanya ingin tahu tentang jihad, mendambakan petualangan, dan menginginkan cara yang menyenangkan untuk menghabiskan waktu luang mereka.

Banyak dari kelompok ini yang berasal dari keluarga kaya dan pergi berperang dalam jihad hanya untuk memberikan makna yang lebih dalam bagi kehidupan mereka yang sembrono atau sangat duniawi.

Kelompok ini termasuk “anak-anak manja dari Teluk Persia yang datang bertamasya jihad, tinggal di kontainer kargo ber-AC; disuplai dengan RPG dan Kalashnikov AK-47 yang bisa mereka tembakkan ke udara, lalu mereka bisa pulang ke rumah mereka di negara masing-masing untuk membual tentang petualangan mereka.” 

Bin Laden dan beberapa anggota Al-Qaeda kembali ke Afghanistan pada tahun 1996, setelah harus angkat kaki dari Sudan. Selama mereka di Afghanistan, anggota Al-Qaeda dibenci orang-orang Taliban atau orang Afghanistan lainnya karena anggota Al-Qaeda dipandang sebagai orang kaya, canggih, dan kosmopolitan.

Selain itu, orang-orang Al-Qaeda dipandang cukup rasis dan memandang orang Afghanistan sebagai orang barbar udik yang tidak berpendidikan.

Orang-orang Afghanistan membenci arogansi dan kebelaguan yang ditampilkan orang-orang Al-Qaeda, misalnya seperti mengendarai kendaraan jip mewah mereka yang ber-AC dan kinclong, dengan kaca gelap dan berpelat nomor Dubai.

Baca Juga: Ancaman Serangan ISIS Makin Tinggi di Bandara Kabul, Warga Agar Segera Bubar dan Mencari Tempat Aman

Abu Bakar al-Baghdadi, pendiri ISIS di Irak dan Suriah. (Sumber: US Department of Defense/Force.net)

Kelompok Negara Islam atau ISIS

ISIS lahir dari Al-Qaeda di Irak AQI sebagai tanggapan atas invasi Amerika Serikat ke Irak tahun 2003. Banyak kalangan juga setuju kelompok itu dibentuk terutama oleh Abu Musab al-Zarqawi dan Abdulrahman al-Qaduli alias Abu Ali al-Anbari seperti dilansir dari The Atlantic tahun 2018.

Sepintas, ideologi jihad ISIS mungkin tampak tidak dapat dibedakan dengan ideologi Al-Qaeda, seperti ditulis Ahmad Saiful Rijal bin Hassan dkk dari Nanyang Technological University, Singapura.

Menurut Saiful Rijal, ISIS adalah kasus khusus dari kelompok radikal yang lahir dari hubungan antara kebutuhan psikologis, narasi ideologis, dan proses berjejaring.

Al-Qaeda dan ISIS memandang negara dan agama sebagai satu kesatuan yang tak terhindarkan, sehingga semua keputusan pemerintahan dan politik harus didasarkan pada interpretasi yang ketat dari hukum syariah (menurut tafsir masing-masing). 

Namun pada kenyataannya, kedua kelompok tersebut berbeda secara signifikan dalam beberapa hal yang berkaitan dengan Aqidah (akidah) dan Manhaj (metodologi).

Secara khusus, inti perselisihan antara Al-Qaeda dan ISIS berfokus pada penggunaan takfir yang berlebihan oleh ISIS, pada cara dan momen yang tepat untuk mendirikan kekhalifahan Islam, dan pada cara penggunaan narasi Akhir Zaman.

Dan meskipun Zarqawi akhirnya berjanji setia kepada Osama Bin Laden, perbedaan mendasar tetap ada dan akhirnya menyebabkan perpecahan terbuka antara ISIS dari Al-Qaeda.

Ideologi ISIS menyatakan Islam harus dibersihkan dari dalam, dan umat Muslim yang tidak secara ketat mengikuti interpretasi Islam yang disahkan ISIS harus dinyatakan murtad, darahnya halal dan boleh dihukum mati.

Sebaliknya, Al-Qaeda menganggap pembunuhan Muslim sebagai tidak sesuai dengan tujuan jihad yang lebih luas, karena dukungan dari umat Islam akan dilemahkan oleh pembunuhan Muslim, baik Syiah maupun Sunni.

Sementara Al-Qaeda berkomitmen untuk berjihad melawan Barat dan menghindari, jika mungkin, halangan apa pun untuk kampanye globalnya, ISIS menganggap kaum Syiah sesat, mengutuk praktik mereka (seperti mencambuk diri sendiri), dan menyangkal dasar mereka dalam Al-Qur'an atau dalam setiap tradisi kenabian, dan karena itu mencap mereka kaum Syiah sebagai murtad.

Baca Juga: Milisi ISIS Sergap Pos Penjagaan di Kairo, Sedikitnya 5 Tentara Tewas

Abu Musab al-Zarqawi, salah satu pemimpin Al-Qaeda di Irak yang bertransformasi menjadi ISIS di Irak (Sumber: Newsweek)

Proklamasi takfir juga meluas ke umat Islam lainnya yang menyimpang dari ajaran ideologis ISIS. Siapa pun yang tidak sejalan dengan tafsir keislaman ISIS, maka darahnya halal. 

Sebuah daftar 40 poin yang dikeluarkan oleh ISIS berjudul 'Aqidah wa Manhaj al-Dawlah al-Islamiah fi al-Takfir menyatakan, "Siapa pun yang menganut demokrasi dan sekularisme, dan semua pemerintah yang tidak memerintah oleh hukum syariah, dianggap kafir atau murtad, yang melegitimasi pembunuhan mereka."

Para pemimpin Al-Qaeda kecewa dengan skala dan cakupan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Zarqawi dan menuduh Kelompok Negara Islam IS menyimpang dari 'aqidah' Islam yang sebenarnya.

Benturan antara Al-Qaeda dan Al-Qaeda di Irak (dua kelompok berbeda) makin meningkat dan makin keras setelah transformasi Al-Qaeda di Irak ke pembentukan ISIS pada tahun 2006. Konflik tumbuh semakin akut setelah deklarasi khilafah pada tahun 2014.

Al-Qaeda menuduh ISIS mengabaikan manhaj (metodologi) yang benar dalam menentukan khalifah dan menganggap ISIS tidak berhak mendirikan negara Islam. Zawahiri secara eksplisit menegur berdirinya ISIS.

Secara khusus, Zawahiri mengatakan, “Kami tidak akan menerima siapa pun yang memaksakan dirinya pada rakyat di wilayah ini, yaitu siapa pun yang berkuasa tanpa konsensus penduduk."

Zawahiri menjelaskan manhaj Al-Qaeda adalah untuk menyatukan umat Islam dan mengembalikan khalifah yang dibimbing dengan benar berdasarkan musyawarah para ulama.

Bagi para pemimpin Al-Qaeda, kekhalifahan adalah tujuan yang jauh, yang harus didekati hanya ketika dukungan rakyat Muslim telah dimenangkan.

Baca Juga: Pasukan Koalisi Berusaha Tangkap Sisa-Sisa Anggota ISIS yang Sembunyi di Irak

Pasukan ISIS berpawai di Raqqa, Suriah. Ideologi ISIS menyatakan Islam harus dibersihkan dari dalam dan umat Muslim yang tidak secara ketat mengikuti interpretasi Islam yang disahkan ISIS harus dinyatakan murtad, darahnya halal dan boleh dihukum mati. (Sumber: AFP)

Mereka sangat tidak menyukai ketidaksabaran ISIS, termasuk deklarasi kekhalifahan ISIS setelah hanya menguasai petak-petak tanah yang terbatas dan merebut Baghdad atau seluruh Irak.

Meskipun ketiganya (Taliban, Al-Qaeda, dan ISIS) mempraktikkan variasi ekstremis Islam Sunni, kelompok Taliban mengajarkan bentuk cabang Deobandi, yang sebenarnya kurang ekstrem dibandingkan versi tradisi Wahhabi-Salafi yang dipraktikkan oleh ISIS dan Al-Qaeda.

Beberapa Perbedaan Ideologis dan Budaya Taliban dengan ISIS

Kelompok Negara Islam IS adalah organisasi pan-Islamis, memiliki agenda jihad global tanpa batas dan bertujuan untuk mendirikan satu entitas politik yang terdiri dari semua negara dan wilayah Muslim.

Sementara, Taliban bersikeras agenda mereka bersifat lokal, hanya terbatas di Afghanistan. Tujuan mereka menyatakan adalah untuk membebaskan Afghanistan dari "pendudukan asing" dan penarikan penuh dan secepatnya bagi seluruh pasukan asing dari negara itu.

Dengan mendeklarasikan Khilafah, Abu Bakar Al-Baghdadi menuntut kesetiaan semua Muslim. 

Ada perbedaan teologis juga. Taliban adalah gerakan ulama konservatif yang setia pada versi puritan dari mazhab Hanafi Islam Sunni, yang dipraktikkan oleh sebagian besar Sunni Afghanistan. Mereka umumnya percaya pada tasawuf dan cenderung menghindari kekerasan sektarian anti-Syiah.

Kelompok Negara Islam IS, yang menganut ideologi Wahhabi/Salafi cabang Islam Sunni yang lebih keras, tidak percaya pada tasawuf dan menganggap Syiah sebagai kafir.

Saat mengumumkan pendirian cabang Khorasan, IS mengatakan tujuannya adalah "untuk memaksakan Tauhid (monoteisme) dan mengalahkan Syirik (politeisme)", sebuah referensi ke Islam tradisional di mana orang-orang Sufi dihormati dan tempat-tempat suci dikunjungi.

Para cendekiawan agama Taliban juga mengeluarkan fatwa-fatwa yang menentang legitimasi dan ideologi ISIS dan membenarkan upaya memeranginya atas dasar agama.

 

 

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV/France24/BBC/www.e-ir.info/The Atlantic/Forces.net


TERBARU