> >

Sindrom Havana yang Menyerang Agen Rahasia dan Staf Diplomatik di Beberapa Kedubes AS Makin Banyak

Kompas dunia | 25 Agustus 2021, 21:25 WIB
Kedutaan Besar Amerika Serikat di Moskow, Rusia. Foto diambil pada 11 Mei 2021. (Sumber: AP Photo/Alexander Zemlianichenko, File)

WASHINGTON, KOMPAS.TV - Seperti banyak cerita spionase internasional, semua ini bermula di Havana, ibu kota Kuba, negara komunis di lepas pantai Amerika Serikat (AS) yang telah lama mengganggu Washington.

Di situlah, mulai tahun 2016, petugas CIA dan pegawai Departemen Luar Negeri - setidaknya 26 orang di antaranya, pertama kali melaporkan sensasi aneh di kepala mereka.

Sensasi itu seperti sinar tak terlihat, kata beberapa orang. Mereka melemahkan dan melumpuhkan. Banyak yang menderita sakit kepala, vertigo atau masalah penglihatan.

Beberapa orang melaporkan "suara yang tajam mengiris masuk ke kepala". Namun mereka mampu "masuk" dan "keluar" dari sensasi ini bila secara fisik pergi ke tempat lain. Hal itu menyiratkan adanya faktor eksternal yang terlibat, atau ada sumbernya.

Sensasi itu  kemudian menyebar, terutama ke Wina, Austria, pusat mata-mata era Perang Dingin baru-baru ini bulan lalu. Tetapi fakta bahwa sensasi itu dimulai di Havana membuatnya diberi nama sindrom Havana.

Diduga, sindrom Havana mempengaruhi dua diplomat AS di Hanoi, pada malam perjalanan Wakil Presiden AS Kamala Harris ke Vietnam minggu ini, yang menunda keberangkatannya dari Singapura.

Para pejabat AS dengan cerdik menanggapi. Pada konferensi pers harian Gedung Putih pada hari Selasa (24/08/2021), Sekretaris Pers Jen Psaki menjawab pertanyaan dengan rumusan, "Kami, tentu saja, menganggap serius setiap insiden sindrom Havana yang dilaporkan. Sementara ini peristiwa itu belum menjadi kasus yang dikonfirmasi pada saat ini. Kami menanggapi setiap insiden yang dilaporkan... dengan cukup serius".

Baca Juga: Direktur CIA Diam-Diam Temui Pemimpin Taliban di Kabul

Duta Besar Amerika Serikat untuk China, Terry Branstad. (Sumber: AP Photo)

Psaki menambahkan, "Akibatnya, ada penilaian yang dilakukan terhadap keselamatan Wakil Presiden, dan ada keputusan yang dibuat bahwa dia dapat melanjutkan perjalanan bersama stafnya."

Kasus sindrom Havana telah dilaporkan oleh diplomat AS di Rusia, Cina dan di tempat lain. Pada bulan April, komite Senat mengatakan, jumlah kasus sindrom Havana tampaknya makin meningkat.

Ada laporan yang menyebut dua insiden terpisah terjadi di dekat Gedung Putih pada akhir 2020 yang menyerang staf Dewan Keamanan Nasional (NSC).

Seorang pejabat NSC sedang berjalan melalui gerbang kosong di Gedung Putih ketika orang itu mulai menunjukkan gejala, kata seorang sumber kepada CNN.

Beberapa minggu kemudian, seorang pejabat lain berada di dekat pintu masuk Gedung Putih ketika ia kemudian menunjukkan gejala yang lebih parah. Petugas medis pun segera dikontak.

Belum ada jawaban pasti tentang apa yang memicu sindrom Havana. Tetapi bahwa sindrom tersebut diyakini nyata, tidak diragukan lagi.

Kembali pada tahun 2017, spesialis di Pusat Cedera dan Perbaikan Otak Universitas Pennsylvania menggunakan pemindaian MRI canggih untuk mempelajari otak 40 pasien sindrom Havana.

Mereka dilaporkan tidak menemukan tanda-tanda dampak fisik pada tengkorak pasien. Namun terjadi kerusakan pada otak mereka seolah-olah mengalami "gegar otak tanpa gegar otak".

Penyelidik AS telah berjuang untuk menentukan apa yang menyebabkan gejala tersebut.

Baca Juga: Intelijen Amerika Serikat Akan Rilis Laporan Penampakan UFO ke Kongres

Mahasiswa kedokteran berjalan melewati gambar mendiang Presiden Kuba Fidel Castro saat memeriksa warga dengan gejala dari pintu ke pintu ditengah kekhawatiran akan penyebaran virus corona (COVID-19) di pusat kota Havana, Kuba, Selasa (12/5/2020). (Sumber: Antara Foto via Reuters/Alexandre Meneghini)

Pada Mei 2021, lebih dari 130 orang melapor mereka menderita sindrom tersebut, termasuk agen rahasia, diplomat, tentara, dan pejabat AS lainnya, seperti dilaporkan The New York Times.

Salah satu hipotesis yang masuk akal yang diajukan oleh Akademi Sains, Teknik, dan Kedokteran Nasional pada Desember 2020 menunjukkan pulsa frekuensi radio sebagai pemicunya.

Gejalanya "konsisten dengan efek energi frekuensi radio berdenyut yang diarahkan", kata pihak Akademi.

"Banyak gejala dan pengamatan fase awal dengan kadar akut yang dilaporkan oleh (personel Departemen Luar Negeri) konsisten dengan efek RF (frekuensi radio)," kata laporan itu.

Ini termasuk "suara klik yang dirasakan di dalam kepala bahkan ketika telinga ditutup, sensasi kekuatan atau tekanan yang dirasakan di dalam kepala dan di wajah, lokalisasi spasial yang dirasakan dan arah dari fenomena yang dirasakan ini dan suara keras lainnya, gangguan pendengaran, tinnitus (atau sensasi telinga berdenging), gangguan gaya berjalan dan kehilangan keseimbangan, serta tidak adanya sensasi panas dan tidak adanya gangguan yang diamati dari perangkat elektronik di lingkungan terdekat".

Tetapi para ahli yang menganalisis bukti tidak dapat secara definitif mengesampingkan penyebab lain. 

Karena gejalanya bervariasi, mungkin ada "beberapa faktor penyebab termasuk faktor psikologis dan sosial", kata laporan itu.

"Faktor-faktor ini dapat memperburuk penyebab penyakit lain dan tidak dapat dikesampingkan sebagai penyebab beberapa kasus, terutama beberapa gejala kronis atau kemudian dalam perjalanan penyakit dalam beberapa kasus."

Namun para ahli juga menyimpulkan, "gejala dan tanda awal yang akut, tiba-tiba, khas dan tidak biasa sulit untuk dianggap berasal dari faktor psikologis dan sosial".

Pada Maret 2021, Departemen Luar Negeri menunjuk seorang pejabat senior, Pamela Spratlen sebagai penasihat senior untuk Satuan Tugas Tanggap Insiden Kesehatan, yang dibentuk pada 2018 untuk mengoordinasikan tanggapan terhadap serentetan insiden. Spratlen adalah mantan duta besar untuk Uzbekistan dan Republik Kirgistan, yang juga bertugas di Kazakhstan.

Baik Rusia dan Kuba, sementara itu, telah membantah terlibat dalam insiden tersebut.

 

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari

Sumber : The Straits Times


TERBARU