China Incar Peluang Ekonomi di Afghanistan, Diantaranya Incar Lithium, Emas dan Tembaga
Kompas dunia | 18 Agustus 2021, 19:32 WIBBEIJING, KOMPAS.TV - Gairah China mendekati kelompok Taliban sejak mereka belum berkuasa hingga kini menang, menunjukkan upaya untuk mengambil keuntungan maksimal dari keruntuhan dramatis berbagai proyek Amerika Serikat (AS) di Afghanistan.
Tetapi, Beijing akan tetap waspada terhadap kelompok garis keras yang sekarang memerintah di Kabul. Ini, kata para analis seperti dilansir France24, Rabu (18/08/2021), terutama karena Afghanistan berbatasan dengan provinsi Xinjiang di China timur, rumah bagi mayoritas Muslim Uighur.
Sekitar dua minggu sebelum kelompok Taliban merebut kekuasaan dalam serangan kilat yang membuat dunia terjengkang kaget, Menteri Luar Negeri Wang Yi menjamu delegasi Taliban di Beijing dan Tianjin.
Dan hanya satu hari setelah Taliban memasuki Kabul, China mengatakan siap untuk memperdalam hubungan "persahabatan dan kooperatif" dengan Afghanistan.
Beijing mengklaim tidak punya hasrat dan gairah mengarahkan penyelesaian politik apa pun untuk masa depan Afghanistan. Namun, China punya peluang menggiurkan untuk terus melanjutkan kepentingan mereka menjalankan kebijakan infrastruktur Belt and Road saat Amerika Serikat menarik diri dari Afghanistan
Seiring transisi kekuasaan ke Taliban, Beijing memiliki beberapa tuntutan utama, kata Hua Po, seorang analis politik independen di Beijing.
"Yang pertama adalah untuk melindungi investasi China dan memastikan keamanan warga negara China," katanya.
"Kedua, perlu untuk memutuskan hubungan dengan separatis Turkestan Timur (Xinjiang) dan tidak membiarkan mereka kembali ke Xinjiang," lanjutnya.
Tetapi pragmatisme tampaknya kini lebih dominan dibanding ideologi bagi Taliban, yang doktrin agamanya di masa lalu membuat China muak.
Baca Juga: China dan Taliban Afghanistan Memulai Kemesraan Penuh Duri Pasca Amerika Serikat
Dan Taliban tampaknya memahami jika mereka menginginkan hubungan baik dengan China, mereka tidak boleh mengutak-atik Muslim China, yang penderitaannya merupakan motivasi utama kaum Islamis di sebagian dunia.
Seorang juru bicara Taliban, Mohammad Naeem, telah bersumpah, "Tanah Afghanistan tidak akan digunakan untuk melawan keamanan negara mana pun."
Di China, media pemerintah mulai menggencarkan narasi untuk mendorong skema ekonomi di bawah rezim baru Afghanistan. Mulai proyek Tambang Tembaga Aynak, yang merupakan deposit tembaga terbesar Afghanistan dan terbesar kedua di dunia, hingga ladang minyak utara Faryab dan Sar-i-pul.
Perusahaan-perusahaan yang didukung Beijing sudah menggelontorkan ratusan juta dolar untuk mengamankan hak menambang. Tetapi, ketidakamanan yang ekstrem membuat sebagian besar rencana itu mandek.
Sementara itu, deposit lithium Afghanistan yang melimpah membuat produsen kendaraan listrik dunia yang menggunakan lithium meneteskan air liur mereka.
Afghanistan selama ini mendapat julukan 'Arab Saudi-nya lithium', namun belum disentuh karena kondisi keamanan ekstrim.
Dan China adalah pembuat kendaraan listrik terbesar di dunia.
Baca Juga: Masa Depan Ekonomi Afghanistan di Bawah Taliban, Prediksi Investasi China hingga Negara Narkoba
Taliban baru saja menemukan keunggulan finansial dan geopolitik yang luar biasa besar dalam hubungan dengan kekuatan terbesar dunia ketika kelompok militan itu menguasai Afghanistan untuk kedua kalinya.
Pada tahun 2010, sebuah laporan oleh para ahli militer dan ahli geologi AS memperkirakan Afghanistan, salah satu negara termiskin di dunia, memiliki kekayaan mineral hampir 1 triliun dolar AS. Kekayaan ini berkat deposit besi, tembaga, lithium, kobalt, dan rare-earth yang sangat besar.
Pada dekade berikutnya, sebagian besar sumber daya tersebut tetap tak tersentuh karena kekerasan yang sedang berlangsung di negara itu.
Sementara itu, nilai dari banyak mineral tersebut telah meroket, dipicu oleh transisi global ke energi hijau.
Sebuah laporan tindak lanjut oleh pemerintah Afghanistan pada tahun 2017 memperkirakan, kekayaan mineral Afghanistan mungkin mencapai 3 triliun dollar, termasuk bahan bakar fosil.
Lithium, yang digunakan dalam baterai untuk mobil listrik, ponsel pintar dan laptop, punya permintaan luar biasa tinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pertumbuhan tahunan akan permintaan lithium mencapai 20 persen, jauh melesat dari beberapa tahun lalu yang hanya sekitar 5 - 6 persen.
Sebuah Memo Pentagon yang menyebut Afghanistan sebagai 'Arab Saudi-nya lithium' memproyeksikan, deposit lithium negara itu bisa menyamai Bolivia — salah satu yang terbesar di dunia.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari
Sumber : France24/Deutsche Welle