Profil Ashraf Ghani, Presiden Afghanistan yang Gagal Pertahankan Negara Lalu Kabur ke Luar Negeri
Kompas dunia | 16 Agustus 2021, 03:01 WIBKABUL, KOMPAS.TV - Ashraf Ghani, yang kabur meninggalkan Afghanistan hari Minggu (15/08/2021) menyusul gerak maju militer Taliban yang kini sudah menguasai ibukota Kabul, dua kali terpilih sebagai presiden Afghanistan, serta menjadi salah satu akademisi paling terkenal di negara itu, seperti dilansir Straits Times, Senin (16/08/2021).
Presiden Ashraf Ghani meninggalkan Afghanistan beberapa jam setelah Taliban memasuki ibu kota, kata pejabat pemerintah Afghanistan. Dia dilaporkan kabur ke Tajikistan dan belum jelas bagaimana kekuasaan akan ditransfer.
Ghani terpilih menjadi presiden pertama kalinya pada tahun 2014 menggantikan Hamid Karzai, yang memimpin Afghanistan setelah invasi pimpinan AS pada tahun 2001.
Karzai menjadi presiden Afghanistan pada saat penyelesaian misi tempur Amerika Serikat, penarikan pasukan asing yang hampir selesai dari negara itu, serta proses perdamaian yang kacau dengan pemberontak Taliban.
Ghani saat menjadi presiden punya prioritas utama untuk mengakhiri perang selama beberapa dekade, memulai pembicaraan damai dengan para pemberontak di ibu kota Qatar, Doha pada tahun 2020, meskipun serangan terus-menerus terhadap pemerintah dan pasukan keamanannya oleh kelompok Taliban.
Namun, Ghani, yang dikenal karena temperamennya yang sumbu pendek di samping pemikirannya yang mendalam, tidak pernah diterima oleh kelompok Taliban. Sementara pembicaraan damai hanya membuat sedikit kemajuan.
Pemerintah asing frustrasi dengan lambatnya kemajuan pembicaraan damai pemerintahan Ghani dengan kelompok Taliban, sementara desakan semakin kuat untuk menggulingkan Ghani dan membentuk pemerintahan sementara untuk menggantikan pemerintahannya.
Baca Juga: Diduga Ada Konspirasi, Ini Kecepatan Pergerakan Taliban Kuasai Afghanistan
Namun Ghani bukannya tidak punya prestasi. Ada lah, walau sedikit.
Selama masa kepresidenannya, ia berhasil menunjuk generasi baru pemuda Afghanistan yang berpendidikan ke dalam posisi kepemimpinan pada saat koridor kekuasaan negara itu ditempati oleh segelintir tokoh elite dan jaringan patronase.
Dia berjanji untuk memerangi korupsi yang merajalela, memperbaiki ekonomi yang lumpuh dan mengubah negara itu menjadi pusat perdagangan regional antara Asia Tengah dan Selatan, namun janji tinggal janji, dimana Ghani tidak dapat memenuhi sebagian besar dari janji-janji ini.
Ghani adalah seorang antropolog yang puluhan tahun malang melintang di dunia barat, terutama Amerika Serikat.
Ghani meraih gelar doktor dari Universitas Columbia New York City dan dinobatkan sebagai salah satu dari "100 Pemikir Global Teratas Dunia" oleh majalah Kebijakan Luar Negeri pada tahun 2010.
Kekuasaan tampaknya memikat hati Ghani, namun jalannya menuju kursi kepresidenan sangat sulit.
Dia menghabiskan hampir seperempat abad di luar Afghanistan selama dekade penuh gejolak pada masa pemerintahan yang didukung Uni Soviet, lalu masa perang saudara dan tahun-tahun Taliban berkuasa.
Selama periode itu, ia bekerja sebagai akademisi di Amerika Serikat dan kemudian bekerja untuk Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Asia Timur dan Selatan.
Dalam beberapa bulan setelah peristiwa invasi yang dipimpin Amerika Serikat ke Afghanistan tahun 2001, Ghani mundur diri dari jabatan internasionalnya dan kembali ke Kabul untuk menjadi penasihat senior Presiden Karzai yang baru diangkat.
Baca Juga: Kabul Jatuh, Taliban Masuk Istana Kepresidenan Tuntut Kekuasaan Penuh atas Afghanistan
Dia menjabat sebagai Menteri Keuangan Afghanistan tahun 2002, tetapi berselisih dengan Karzai, dan pada tahun 2004, diangkat sebagai rektor Universitas Kabul, di mana dia dipandang sebagai pembaharu yang efektif serta membentuk pusat pemikiran berbasis di Washington yang bekerja pada kebijakan untuk memberdayakan beberapa orang paling miskin di dunia.
Pada tahun 2009, Ghani, yang berasal dari etnis mayoritas Pashtun Afghanistan seperti Karzai, mencalonkan diri sebagai presiden tetapi berada di urutan keempat, meraih sekitar 4 persen suara nasional.
Dia terus bekerja dengan peran penting di Afghanistan, termasuk sebagai "tsar transisi" Afghanistan, memimpin sebuah badan yang mengawasi transisi keamanan dari NATO ke Afghanistan.
Dengan Karzai dilarang oleh konstitusi Afghanistan untuk terpilih menjadi presiden untuk ketiga kalinya, Ghani melakukan kampanye kedua yang sukses pada tahun 2014 sehingga terpilih menjadi presiden, dan terpilih kembali menjadi tahun 2019.
Hubungannya dengan Washington dan ibu kota negara Barat lainnya tidak nyaman.
Dia adalah seorang kritikus vokal dari apa yang dia sebut sebagai bantuan internasional yang sia-sia di Afghanistan. Ghani juga sering tidak sejalan dengan strategi dunia Barat di Afghanistan, terutama karena mereka ingin mempercepat proses perdamaian yang lambat dan menyakitkan dengan kelompok Taliban.
Dalam sebuah wawancara dengan BBC, Ghani mengatakan, "Masa depan akan ditentukan oleh rakyat Afghanistan, bukan oleh seseorang yang duduk di belakang meja, bermimpi."
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV/Straits Times