> >

Mengapa Kemenangan Chloe Zhao Penting Bagi Perempuan Asia di Hollywood? Ini Sebabnya

Kompas dunia | 27 April 2021, 10:05 WIB
Chloe Zhao, sutradara perempuan Asia yang megukir sejarah di industri film Hollywood dengan menyabet penghargaan sebagai sutradara terbaik di ajang Oscar. (Sumber: Taylor Jewell/Invision via AP)

HOLLYWOOD, KOMPAS.TV – Ternyata butuh waktu 93 tahun bagi Academy Awards alias Oscar untuk menunjuk seorang perempuan Asia sebagai seorang sutradara terbaik.

Dan hingga tahun ini, tercatat hanya lima perempuan, semuanya kulit putih, yang sempat dinominasikan dalam kategori bergengsi itu, dan hanya seorang perempuan yang menang: Kathryn Bigelow di tahun 2010 dengan film "The Hurt Locker".

Namun, semua itu berubah pada Minggu malam (25/4/2021) saat Chloe Zhao membawa pulang Oscar berkat filmnya, “Nomadland”. Film itu bercerita tentang perjalanan seorang perempuan pengembara yang berusia sekitar 60an tahun (diperankan oleg Frances McDormand) melintasi Amerika Barat menggunakan sebuah mobil van.

Baca Juga: Chloe Zhao, Sutradara Wanita China Pertama yang Menyabet Piala Oscar

Melansir CNN, kemenangan sutradara asal China itu menegaskan bahwa perempuan Asia pun dapat memberi dampak dalam industri hiburan, yang sebelumnya kerap menjadikan mereka sebagai obyek belaka.

Obyek Fantasi Erotis Belaka

Di Hollywood, keberadaan perempuan Asia kerap dilihat sebagai obyek keinginan fantasi dan erotis melalui kacamata lelaki Barat.

Contoh obyektifikasi semacam ini ada dalam penggambaran seorang pelacur Vietnam dalam film “Full Metal Jacket” garapan Stanley Kubrick di tahun 1987.

Penggambaran serupa juga tampak dalam film “Rush Hour 2”, saat barisan para pekerja seks komersial Asia ditampilkan tanpa karakter dan latar belakang.

Film "Full Metal Jacket" (1987) menggambarkan sosok perempuan Asia sebagai obyek  fantasi erotis dari kacamata lelaki Barat. (Sumber: Mary Evans/Ronald Grant/Everett Collection)

Di dunia hiburan, perempuan Asia Amerika kerap dihadapkan pada terbatasnya peran yang dapat mereka mainkan, terutama di awal karir mereka.

Camille Chen, seorang aktris Amerika keturunan Taiwan, saat diwawancara The Guardian pada tahun 2017, mengatakan dirinya tak punya pilihan lain saat mengiyakan peran sebagai pelacur dan tukang pijat saat memulai karirnya.

Seorang perempuan Asia Amerika lainnya menggambarkan, saat memerankan karakter serupa dengan aksen Asia yang kental,  ia merasa seperti seorang pelacur sungguhan.

Karakter Perempuan Asia di Film Hollywood 

Namun, seiring pertumbuhan peran perempuan Asia di balik layar, karakter perempuan Asia dalam layar pun jadi kian beragam.

Penulis naskah film “Crazy Rich Asians” tahun 2018, Adele Lim, membantu memperkuat karakter para perempuan Asia. Ia secara spesifik mengayakan karakter Rachel Chu – diperankan oleh Constance Wu – dan membuat sosok karakter Eleanor Young – yang diperankan oleh Michelle Yeoh – lebih simpatik ketimbang karakter asli mereka seperti yang tertulis dalam novel karya Kevin Kwan itu.

Baca Juga: Memenangi Oscar Kategori Sutradara Terbaik, Chloe Zhao Tak Dapat Sambutan Meriah di China

Langkah ini kemudian disusul oleh sutradara Lulu Wang dalam film "The Farewell" tahun 2019, yang mengisahkan seorang perempuan Amerika keturunan China (diperankan oleh Awkwafina yang juga membintangi "Crazy Rich Asians") yang berupaya menyembunyikan diagnosa kanker dari nenek tercintanya di China.

Sebagian didasarkan pada kehidupan pribadi Wang, film ini menampilkan drama keluarga dengan penggambaran karakter para perempuan Asia dan Asia Amerika yang kompleks dan manusiawi.

Pada 2020, film "Harley Quinn: Birds of Prey" garapan sutradara Cathy Yan menjadi salah satu film berorientasi perempuan dengan karakter ras paling beragam di AS.

Diangkat dari naskah film karya Christina Hodson, yang merupakan keturunan campuran Taiwan dan Inggris, film ini menyuguhkan beragam karakter perempuan, termasuk Cassandra Cain, seorang superhero Asia Amerika muda nan cerdas.    

Baca Juga: Nomadland Boyong 3 Penghargaan di Oscar 2021, Apa Saja?

Menentang Stereotip

Sebagai bagian dari para sutradara perempuan Asia yang tengah bertumbuh, Zhao terbilang sudah menuliskan sejarahnya sendiri.

Ia menjadi pembuat film yang paling banyak menuai penghargaan, mulai dari BAFTA, Screen Actors Guild Awards, Festival Film Venice Golden Lion, dan sejumlah penghargaan lain dari asosiasi kritikus film lainnya.

Zhao juga menjadi perempuan Asia atau kulit berwarna pertama yang menyabet Sutradara Terbaik di Golden Globes dan perempuan kulit berwarna pertama yang memenangkan Sutradara Terbaik di Film Feature dalam Guild Awards.  

Lahir di Beijing, Zhao meninggalkan China pada usia 15 tahun untuk bersekolah di Inggris. Ia kemudian pindah ke Amerika Serikat (AS) dan menimba ilmu perfilman di Sekolah Seni Tisch di Universitas New York.

Sejak itu, Zhao perlahan mengukir namanya melalui visi dan pilihannya yang unik, yang mencampur pembuatan dokumenter dengan gaya film naratif.

Baca Juga: Film Terbaik Oscar 2021, Ini Sinopsis Nomadland Karya Chole Zhao

Frances McDormand dalam film Nomadland. (Sumber: Searchlight Pictures)

Zhao dikenal karena membubuhkan sisi kemanusiaan pada para aktor – yang sebagian belum atau tidak terlatih – yang membintangi film-filmnya. Lewat "Songs My Brothers Taught Me" (2015), "The Rider" (2017) dan "Nomadland" (2020), Zhao menyuguhkan visi puitis unik tentang Amerika Barat.

Sebagai seorang sutradara, Zhao dapat menangkap sesuatu yang ia gambarkan sebagai, “kebenaran emosional yang dirasakan orang-orang ini.”

Zhao menambahkan, “Saya memulainya dengan lebih banyak referensi untuk memahami seseorang di dunia tersebut, ketimbang memaksakan diri dengan menetapkan sebuah karakter seperti seharusnya.”

Bukan berarti Zhao tidak melihat kisah-kisah Amerika itu melalui lensa budayanya sendiri, namun dengan segala kompleksitas dan nuansanya, ia menunjukkan bahwa narasi ini tak dimiliki oleh para sutradara kelahiran Amerika, apalagi yang berkulit putih.

Baca Juga: Youn Yuh Jung Gemas Campur Gugup ketika Bertemu dengan Brad Pitt di Acara Oscar

Yang mengaitkan perspektifnya dengan subyek film-filmnya, adalah bahwa Zhao berfokus pada kelompok-kelompok yang terpinggirkan, baik itu warga asli Amerika ataupun pengembara. “Saya sendiri selalu menjadi orang luar, dan saya tertarik kepada mereka secara natural,” aku Zhao pada Los Angeles Times pada awal tahun ini.

Menentang stereotip dan kategorisasi sekali lagi, proyek Zhao selanjutnya juga akan berbeda: Zhao akan menjadi perempuan Asia pertama yang menyutradarai film superhero Marvel.

Pengambilan gambar dijadwalkan mulai pada November 2021, "The Eternals" menyuguhkan karakter dari beragam ras dan negara, termasuk sejumlah pemeran keturunan Asia: Gemma Chan, Don Lee dan Kumail Nanjiani.

Zhao juga dilaporkan akan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang sama pada film berbujet besar ini. Pun, menggunakan set kamera yang sama yang sebelumnya ia gunakan untuk mengambil gambar "Nomadland".

Bahwa kemenangan Zhao dirayakan di tengah meningkatkan sentimen kebencian terhadap warga keturunan Asia, juga patut diperhatikan. Di AS, menurut organisasi Stop AAPI Hate, hampir 3.800 insiden bermotif sentimen kebencian ini dilaporkan terjadi antara Maret 2020 hingga akhir Februari 2021.

Kendati berbagai pujian terhadap Zhao tak dapat menghapus sentimen anti Asia tersebut, namun dengan kemenangannya di ajang Oscar sebagai Sutradara Terbaik, Zhao akan meraih lebih banyak pengaruh dan visibilitas bagi komunitas Asia di industri film AS yang telah lama meminggirkannya.

Kemenangan Zhao juga mengukuhkan posisinya di antara deretan sutradara hebat, dan menjadi pengingat bagi Hollywood bahwa kaum lelaki kulit putih bukan satu-satunya pencerita film yang patut dielukan.

Penulis : Vyara Lestari Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU