Presiden Jokowi Tuntut Junta Militer Myanmar Setop Pembunuhan dan Bebaskan Tapol
Kompas dunia | 24 April 2021, 20:03 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Presiden Indonesia Joko Widodo mengatakan para pemimpin Asia Tenggara menuntut komitmen junta militer untuk segera mengakhiri penggunaan kekerasan oleh militer dan menuntut pembebasan tahanan politik di Myanmar.
Hal itu dikatakan Jokowi dalam KTT Darurat ASEAN yang dihadiri jenderal tertinggi dan pemimpin kudeta Myanmar di Jakarta, seperti dilaporkan oleh Associated Press, Sabtu (24/4/2021).
Presiden Joko Widodo dan para pemimpin ASEAN juga mengatakan kepada Jenderal Senior Min Aung Hlaing dalam pembicaraan hari Sabtu di Jakarta, dialog inklusif antara pihak-pihak yang bersaing di Myanmar harus segera dimulai.
"Kekerasan harus dihentikan, demokrasi, stabilitas dan perdamaian di Myanmar harus segera dikembalikan,” kata Jokowi.
Jokowi lebih jauh menekankan, "Kepentingan rakyat Myanmar harus selalu menjadi prioritas."
Para pemimpin ASEAN, tutur Presiden Jokowi, juga menuntut dibukanya akses kemanusian dari ASEAN yang akan dikoordinir Sekjen ASEAN dan AHA Center. Jokowi menggarisbawahi, Indonesia akan terus mengawal seluruh tuntutan tersebut.
Baca Juga: Dipimpin Sultan Brunei, KTT Darurat ASEAN Digelar Hari Ini Di Jakarta Bahas Kekerasan di Myanmar
Konsensus ASEAN juga dikatakan sudah tercapai dan akan diumumkan oleh Sekjen ASEAN. Menurut Presiden Jokowi, isi konsensus tersebut sama dengan apa yang diucapkannya pada keterangan pers tersebut.
Tidak segera jelas apakah dan bagaimana Min Aung Hlaing menanggapi pesan blak-blakan Presiden Jokowi itu. Ini adalah pertama kalinya dia melakukan perjalanan keluar Myanmar sejak kudeta, yang diikuti oleh penangkapan Aung San Suu Kyi dan banyak pemimpin politik lainnya.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menyampaikan harapan pada malam sebelum KTT bahwa, "Kita dapat mencapai kesepakatan tentang langkah-langkah selanjutnya yang dapat membantu rakyat Myanmar keluar dari situasi yang sulit ini."
Menyusul kudeta, ASEAN melalui ketuanya saat ini, Brunei, mengeluarkan pernyataan yang diihat tidak mengutuk perebutan kekuasaan tetapi hanya mendesak digelarnya upaya dialog, rekonsiliasi dan kembali ke keadaan normal sesuai dengan kemauan dan kepentingan rakyat Myanmar.
Baca Juga: Unjuk Rasa di Lokasi KTT Darurat ASEAN Menyusul Kedatangan Pemimpin Junta Militer Myanmar di Jakarta
Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, berbicara setelah pertemuan untuk membahas krisis Myanmar pada hari Sabtu (24/4/2021), mengatakan panglima militer, yang melakukan kudeta pada 1 Februari, telah merespons para pemimpin regional pada pertemuan tersebut.
"Dia tidak menentang ASEAN yang memainkan peran konstruktif atau kunjungan delegasi ASEAN atau bantuan kemanusiaan, dan bahwa mereka akan bergerak maju dan terlibat dengan ASEAN dengan cara yang konstruktif."
PM Lee mengatakan dia sekarang mengharapkan ASEAN mengonsolidasi delegasi serta merinci bantuan kemanusiaan.
Hsien Loong menambahkan, "Ada jalan panjang ke depan, karena mengatakan bahwa Anda akan menghentikan kekerasan dan membebaskan tahanan politik adalah hal lain untuk menyelesaikannya."
"Untuk melakukan diskusi inklusif untuk mencapai resolusi politik, itu lebih sulit lagi, tapi setidaknya ada beberapa langkah ke depan yang bisa kita ambil."
Baca Juga: Unjuk Rasa di Lokasi KTT Darurat ASEAN Menyusul Kedatangan Pemimpin Junta Militer Myanmar di Jakarta
Di tengah tekanan Barat, bagaimanapun, kelompok regional telah berjuang untuk mengambil posisi yang lebih kuat dalam berbagai masalah tetapi tetap pada pendekatan nonkonfrontatifnya.
Sebelumnya, semua petinggi negara ASEAN setuju untuk bertemu Min Aung Hlaing, namun tidak menyebutnya sebagai kepala negara Myanmar di KTT tersebut.
Namun para kritikus mengatakan keputusan ASEAN untuk bertemu dengan Min Aung Hlaing tidak dapat diterima. Kehadiran Min Aung Hlaing dianggap sama dengan melegitimasi penggulingan dan tindakan keras mematikan yang terjadi di Myanmar.
Penembakan dan pembunuhan terhadap rakyat Myanmar oleh polisi dan tentara sejak kudeta 1 Februari telah menewaskan lebih dari 745 pengunjuk rasa dan orang yang tidak tahu apa-apa, dalam unjuk rasa yang sebagian besar berlangsung damai, menurut beberapa penghitungan independen.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV