Dua Tahun Setelah Serangan Masjid di Christchurch, Begini Keadaan Muslim Indonesia di Selandia Baru
Kompas dunia | 15 Maret 2021, 18:33 WIBWELLINGTON, KOMPAS.TV – Hari ini Selandia Baru memperingati dua tahun terjadinya penembakan yang terjadi di dua Masjid di kota Christchurch, yang menewaskan 51 umat muslim yang melakukan sholat jumat.
Puncak peringatan peristiwa yang mengejutkan dunia ini telah dilaksanakan pada Sabtu (13/3/2021) lalu.
Dalam peringatan itu, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mengungkapkan betapa peristiwa ini telah mengubah cara pandang Selandia Baru.
''Setelah tanggal 15 Maret (2019), kami telah belajar banyak. Kami bersedia mengajukan beberapa pertanyaan yang sangat sulit kepada diri kami sendiri. Kami telah menghadapi dan terus mempertanyakan hukum kami, sistem kami, birokrasi kami. Dan banyak hal berubah dan akan terus berubah,” ujarnya seperti dikutip dari the Associated Press.
Baca Juga: Terjadi Gempa Magnitudo 8.1 di Laut Lepas Selandia Baru, Ribuan Warga Mengungsi
Mengenang dua tahun peristiwa itu, kalangan muslim di Selandia Baru mengakui, ada banyak perubahan yang mereka rasakan sebelum dan sesudah peristiwa penyerangan yang memilukan tersebut.
Tiga orang perempuan muslim Indonesia, yaitu Amalia Sustikarini, Hesthi Nugroho dan Dietce Apriani mengenang peristiwa itu.
Pada saat kejadian, ketiga perempuan ini berada di Christchurch dan ketiganya merupakan perempuan muslim yang mengenakan hijab.
Dalam youtube Amalia Sustikarini yang berjudul “Mengenang Christchurch, Mendengar Cerita Perempuan”, Amalia mengungkapkan hari Senin pertama setelah kejadian itu, dia pergi ke kampus dan langsung disambut oleh Kepala Departemen dan staf administrasi.
“Mereka nangis menyambut saya, saya juga jadi nangis melihat mereka menangis. Saya merasa diterima (di Selandia Baru). Sebenarnya dari dulu kita tidak pernah merasa tidak pernah diterima di Selandia Baru. Tapi setelah kejadian itu, kita merasa lebih dimengerti dan disambut lebih hangat keberadaannya,” ujar Amalia.
Senada dengan Amalia, Dietce mengatakan, sejak kejadian itu, keberadaan umat muslim di Selandia Baru menjadi semakin terekspos.
“Karena orang-orang jadi tahu Islam itu bagaimana. Misalkan pertanyaan mengapa saya memakai jilbab. Walaupun dulu mereka segan bertanya, tapi karena ada kejadian itu, mereka menjadi ada alasan untuk mengenal lebih jauh tentang Islam,” ujar Dietce.
Seminggu setelah kejadian penembakan di Christchurch, Dietje mengaku pernah dipeluk oleh seorang warga Selandia Baru.
Saat itu, orang itu mengatakan kepadanya, “You are welcome here (Anda diterima disini). Saya jadi merasakan, bahwa orang-orang Selandia Baru itu baik-baik. Kalaupun ada yang tidak baik, itu karena ignorant. Tetapi karena kejadian ini, orang jadi aware, orang menjadi mencari tahu dan insya Allah jadi timbul respek,” katanya.
Baca Juga: Terinspirasi Tragedi Christchurch, Pemuda Singapura Berencana Serang Dua Masjid
Hesthi menyatakan, setelah kejadian itu, dia mendapat banyak dukungan dari pemerintah Selandia Baru. Hesthi mendapat bimbingan dan bantuan secara psikologis.
“Pada saat itu, mereka melihat bagaimana saya berinteraksi, bagaimana perasaan saya? Mereka bertanya, ‘Apa yang bisa mereka bantu?’ Semua sangat didukung sekali,” ujarnya.
Bahkan menurutnya, warga Selandia Baru pun mendukungnya untuk tetap mengenakan jilbab.
“Pada saat itu, ada yang bilang sama saya langsung, ‘Jilbab kamu jangan kamu lepas. Kalau kamu lepas jilbab kamu, berarti dia (teroris) yang menang,” ujarnya.
Dua penembakan massal terjadi berturut-turut di kota Christchurch pada 15 Maret 2019.
Ketika itu, umat muslim tengah melakukan sholat jumat.
Serangan tersebut dilakukan oleh seorang pria bersenjata yang memasuki dua masjid, yaitu Masjid Al Noor pada pukul 13.40 siang dan dilanjutkan di Linwood Islamic Center pada 13.52 waktu setempat.
Baca Juga: Terpanggil Sejak Penembakan di Christchurch, Zeena Ali Jadi Polisi Berhijab Pertama di Selandia Baru
Sebanyak 51 orang tewas akibat penembakan dan 40 orang lainnya luka-luka.
Satu orang warga negara Indonesia pun turut menjadi korban tewas dalam peristiwa ini, yaitu Lilik Abdul Hamid.
Hingga saat ini, peristiwa penembakan di Christchurch menjadi salah satu kejadian paling berdarah di Selandia Baru, sehingga Perdana Menteri Jacinda Ardern menggambarkannya sebagai salah satu hari paling kelam di Selandia Baru.
Penulis : Tussie Ayu Editor : Deni-Muliya
Sumber : Kompas TV