Suku-Suku Myanmar Unjuk Rasa Dengan Atribut Kesukuan di Seluruh Negara, Protes Kudeta Militer
Kompas dunia | 12 Februari 2021, 05:05 WIBNAYPYIDAW, KOMPAS.TV - Suku-suku di Myanmar kini mulai bergerak menentang kudeta militer 1 Februari dan bergabung ke dalam unjuk rasa di seluruh Myanmar.
Memasuki hari ke enam, menyusul kalangan profesional seperti tenaga kesehatan, pegawai negeri, mahasiswa, da rakyat jelata, kini identitas warga membawa identitas kesukuan turun ke jalan melawan junta militer, seperti dilansir dari Reuters, Kamis (11/02/2021).
Masyarakat suku Karen, Rakhine dan Kachin mulai berpartisipasi secara massal dan menunjukkan identitas kesukuan masing-masing dalam unjuk rasa di jalan-jalan Yangon mengenakan baju warna-warni asal daerah mereka.
Di wilayah-wilayah suku itu sendiri, masyarakatnya mulai memprotes secara terbuka tindakan militer yang mengambilalih kekuasaan di Naypyidaw dan Yangon.
Di antara ratusan ribu orang yang turun ke jalan Myanmar dalam beberapa hari terakhir tampil dengan latar belakang yang beragam, termasuk representasi agama di negara Asia Tenggara - mayoritas beragama Buddha serta Kristen, Muslim dan Hindu, dan puluhan kelompok suku yang berbeda in Myanmar.
Baca Juga: Video: Detik-Detik Tiga Polisi Myanmar Beralih Bela Mahasiswa Pengunjuk Rasa dari Kanon Air Polisi
Organisasi bersenjata suku-suku utama - yang pasukan pemberontaknya menguasai sebagian besar wilayah negara - juga mendukung gerakan pembangkangan sipil yang berkembang dan memberi sinyal mereka tidak akan mentolerir tindakan keras terhadap pengunjuk rasa oleh para pemimpin militer yang merebut kekuasaan dalam kudeta 1 Februari.
“Apa yang terjadi saat ini bukanlah tentang partai politik,” kata Ke Jung, seorang pemimpin pemuda dari Naga, sekelompok suku di perbatasan terpencil India.
Partai Naga, partai politik terbesar di wilayah tersebut, mengeluarkan pernyataan yang mengutuk kudeta tersebut.
"Ini adalah pertarungan untuk sebuah sistem," kata Ke Jung kepada Reuters melalui telepon. "Kami tidak dapat berkompromi dengan militer, itu akan memberi kami tanda hitam pada sejarah kami."
Protes telah terjadi di seluruh negara berpenduduk 53 juta itu, dari pantai tenggara Laut Andaman hingga dataran tengah yang bertabur kuil Buddha, lalu ke perbatasan utara yang penuh pegunungan, semua menuntut militer mengembalikan kekuasaan dan membebaskan para tahanan yang mereka gulingkan 1 Februari lalu.
Pada hari Kamis, ribuan orang melakukan protes di atas kapal nelayan tradisional di Danau Inle di negara bagian Shan, sementara ribuan orang dari suku mayoritas Kristen Karen memperingati Hari Nasional mereka di kota utama Yangon dan di tempat lain dengan unjuk rasa massal menentang kudeta.
Baca Juga: Bagaimana Unjuk Rasa Myanmar Diorganisir dan Apa Proyeksi ke Depan? Simak Penjelasannya
Pembelahan Kesukuan
Identitas yang beragam dari para pengunjuk rasa - yang berbaris di tengah hujan lebat dan panas terik, mengenakan hoodies dan sandal jepit, kostum Spiderman dan pakaian tradisional - telah menunjukkan persatuan yang cukup langka di negara yang terbelah oleh garis kesukuan dan garis agama.
Myanmar hampir selalu memiliki operasi militer di wilayah perbatasannya selama beberapa dekade, dimana pasukan pemerintah memerangi kelompok suku bersenjata yang mencari otonomi lebih besar.
Kaum minoritas sering kali menyimpan keluhan yang mendalam terhadap negara yang didominasi oleh suku mayoritas Buddha Bamar, yang mereka katakan telah meminggirkan dan menindas mereka.
Banyak yang merasa pemerintahan Suu Kyi, yang berkuasa dalam pemilihan umum 2015 gagal memenuhi janji kampanye utamanya untuk membawa perdamaian ke daerah perbatasan yang rapuh.
Baca Juga: Pengunjuk Rasa Myanmar Kepung Kedutaan Besar China, Tuduh Bantu Kudeta Militer
Tetapi militer dipandang sebagai penanggung jawab utama atas kejahatan yang paling parah terhadap suku minoritas, termasuk pembunuhan massal dan pemerkosaan serta pengusiran lebih dari 730.000 Muslim Rohingya dari wilayah Rakhine pada tahun 2017.
Tentara dalam rangkaian peristiwa itu dituduh melakukan genosida, sudah masuk pengadilan PBB di The Hague, Belanda, namun seluruh tuduhan disangkal oleh pemerintah Myanmar yang dipimpin Suu Kyi.
Junta militer saat ini sudah berusaha menarik simpati para pemimpin kesukuan dan memberi posisi kunci kepada politisi suku-suku terkemuka.
Dalam pidato publik pertamanya, pemimpin kudeta Jenderal Senior Min Aung Hlaing mengatakan tujuan junta militer saat ini adalah "perdamaian abadi".
Baca Juga: Presiden AS Joe Biden Setujui Sanksi Terhadap Militer Myanmar dan Kepentingan Bisnis Mereka
Akhiri Kediktatoran
Penulis : Edwin-Shri-Bimo
Sumber : Kompas TV