Bencana Gletser Himalaya: Pembangunan PLTA Tak Perhatikan Lingkungan dan Risiko Bencana
Kompas dunia | 10 Februari 2021, 05:30 WIBNEW DELHI, KOMPAS.TV – Saat Ravi Chopra melihat amukan banjir bandang akibat pecahnya gletser Himalaya pada Minggu lalu, ia teringat pada skenario yang pernah ia dan timnya sampaikan pada pemerintahan India di tahun 2014 silam.
Dalam bencana banjir bandang tersebut, seperti dilansir dari Associated Press, sedikitnya 31 orang tewas dan 165 orang lainnya masih hilang. Korban tewas diperkirakan akan terus bertambah. Awalnya, banjir menghantam sebuah bendungan kecil, dan terus merangsek ke hilir dengan kekuatan yang semakin besar berkat reruntuhan dam. Banjir bandang lalu menghantam sebuah bendungan yang tengah dibangun, dan kekuatannya semakin besar.
Chopra dan sejumlah ahli lainnya ditugaskan oleh Mahkamah Agung India untuk mempelajari dampak surutnya gletser pada bendungan. Mereka telah memperingatkan bahwa suhu yang menghangat akibat perubahan iklim, akan memicu melelehnya gletser Himalaya dan terjadinya longsor. Oleh sebab itu, membangun bendungan di ekosistem yang rapuh itu sangat berbahaya.
“Mereka sudah diperingatkan, tapi mereka tetap jalan terus,” kata Chopra, direktur lembaga nir profit Institut Sains Rakyat.
Semula, para ilmuwan menduga bahwa sebuah danau es telah pecah. Namun, setelah memeriksa gambar-gambar satelit, mereka yakin bahwa longsoran salju dan tanah longsor tampaknya memicu bencana banjir bandang tersebut. Yang masih belum jelas adalah apakah tanah longsor memicu longsoran salju, atau apakah es yang jatuh memicu tanah longsor?, ujar Mohammad Farooq Azam, yang mempelajari gletser di Institut Teknologi India di Indore.
Gletser Himalaya meleleh lebih cepat karena pemanasan global
Para ahli menyatakan, bencana banjir bandang di India makin menunjukkan kerapuhan pegunungan Himalaya, tempat hidup jutaan orang yang tengah berubah berkat perubahan iklim. Bahkan meski dunia berhasil mencapai target ambisius perubahan iklim, suhu yang naik tetap akan melelehkan sepertiga gletser Himalaya pada akhir abad, menurut laporan Pusat Pembangunan Gunung Terpadu Internasional tahun 2019. Gletser Himalaya meleleh dua kali lebih cepat sejak 2000 dibandingkan 25 tahun lalu karena perubahan iklim akibat ulah manusia.
Dengan pemanasan global, lapisan es pun menjadi kurang beku. Sebelumnya, suhu lapisan es berkisar antara minus 6 – minus 20 derakat Celsius. Sekarang, suhunya minus 2 derajat Celsius. “Lapisan es masih beku, tapi makin mendekat ke titik lelehnya. Jadi, cuma butuh sedikit suhu panas untuk memicu terjadinya longsoran salju dibandingkan 10 tahun lalu,” tambah Azam.
Ancaman lain dari menghangatnya suhu yakni meluapnya danau es, yang oleh sejumlah orang sempat diduga menjadi penyebab banjir bandang pada Minggu lalu.
“Bahaya yang ditimbulkan oleh luapan danau ini tidak bisa diabaikan,” ujar Joerg Michael Schaefer, ilmuwan iklim spesialis es terutama gletser Himalaya di Universitas Columbia.
Air yang dimuntahkan oleh luapan sungai ini setara dengan beberapa bom nuklir, dan mampu menyediakan energi bersih bebas karbon melalui proyek-proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Namun, membangun PLTA tanpa memperhatikan lingkungan dan memitigasi risiko sangatlah berbahaya.
“Kekuatan kasar air dari sungai ini sungguh mencengangkan, terutama jika rusak," kata Schaefer. “Ini tidak bisa dijinakkan. Kita harus mencegahnya.”
Pembangunan PLTA tidak memperhatikan lingkungan dan risiko bencana
Pemerintah Provinsi Uttarakhand menyebut, wilayahnya kerap menghadapi mati listrik dan terpaksa menghabiskan dana 137 juta dolar AS setiap tahun untuk membeli listrik. Provinsi itu memiliki potensi tertinggi kedua di India untuk membangun PLTA. Namun, para ahli menyatakan bahwa pembangunan pembangkit listrik bertenaga matahari dan angin lebih berkelanjutan dan risikonya lebih kecil dalam jangka panjang.
Meski pembangunan diperlukan untuk mengurangi tingkat kemiskinan di wilayah itu, namun perubahan paradigma juga diperlukan agar pelaksanaan proyek semacam itu juga mempertimbangkan kerapuhan ekologi pegunungan. Pun, risiko yang tak bisa ditebak akibat perubahan iklim.
Misalnya, pada pembangunan bendungan kedua – yang ikut hancur dihantam banjir bandang hari Minggu lalu – pada 2009, para pekerja tak sengaja merusak akuifer, lapisan bawah tanah yang mengandung dan mengalirkan air. Hingga, cadangan air yang seharusnya cukup bagi 2 – 3 juta orang dikeringkan dengan kecepatan 60 – 70 juta liter setiap hari selama seminggu. Akibatnya, desa-desa di sekitar wilayah itu pun mengalami kekurangan air.
“Rencana pembangunan harus sejalan dengan lingkungan, dan bukannya bertentangan,” ujar Anjal Prakash, profesor di Sekolah Bisnis India yang telah berkontribusi dalam penelitian dampak perubahan iklim di Himalaya bagi PBB.
“Perubahan iklim terjadi di sini, sekarang. Itu bukan sesuatu yang bakal terjadi di masa depan,” tegasnya.
Penulis : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV