> >

Keseharian Indonesia dan Myanmar Ternyata Sangat Mirip, Selera Musik Sampai Gaya Jualan Kaki Lima

Kompas dunia | 5 Februari 2021, 07:36 WIB
Seorang ibu-ibu pedagang kudapan lezat kaki lima di Yangon, Myanmar hari Rabu 3 Februari 2021. Kehidupan sehari-hari di Myanmar hampir sama dengan kehidupan sehari-hari di Indonesia, termasuk pada selera musik sehari-hari (Sumber: AP Photo/Thein Zaw)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Konflik politik di dalam negeri Myanmar, termasuk kudeta militer yang terjadi baru-baru ini, membuat berbagai pihak di Indonesia menengok kembali sejarah panjang hubungan budaya dan peradaban antara kedua bangsa.

Salah satu yang mengemuka adalah cara pandang atas kehidupan sehari-hari, hingga selera musik.

Belum lama ini viral video seorang guru aerobik bernama Khing Hnin Wa yang memilih lagu Ampun Bang Jago untuk memandu senam kelompok via rekaman video.

Tentu kita familiar dengan senam kelompok yang dipandu instruktur setiap pagi di halaman kantor pemerintah maupun pada akhir pekan di berbagai ruang terbuka di kota maupun di desa Indonesia.

Rekaman video sang guru aerobik sekarang menjadi dokumentasi sejarah terjadinya kudeta di Myanmar, namun di lapisan yang lain menunjukkan salah satu selera musik yang dipilih masyarakat Myanmar pada tataran kehidupan sehari-hari.

Baca Juga: Penyedia Internet di Myanmar Patuhi Pemerintah Untuk Blokir Facebook, Meski Melanggar HAM

Seperti dikutip dari ABC Australia hari Kamis, (04/02/2021), lagu-lagu yang memasyarakat di tataran sehari-hari Indonesia ada yang digubah ke dalam bahasa Myanmar yang juga akhirnya memasyarakat di kehidupan sehari-hari. 

Ini bukan perkara tangga lagu pop di radio, namun perkara musik dan lagu yang dipilih seorang guru senam, ibu-ibu, pegawai, dan pedagang kaki lima sehari-hari. 

Salah satunya adalah lagu 'Madu dan Racun'. Watik Soetardjo, seorang warga asal Indonesia yang sudah hampir dua tahun tinggal di kota terbesar di Myanmar, Yangon mengatakan, Lagu 'Madu dan Racun' juga diterjemahkan dan jadi lagu pop di sini," katanya kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya lewat percakapan online.

Pedagang keliling di perkotaan Indonesia dan di Myanmar kelakuaannya-pun mirip-mirip, menyetel musik pop dengan suara keras sambil menggenjot gerobak mereka sepenuh hati, hilir mudik di perumahan, "Saya pernah dengar lagu itu diputar keras-keras ketika ada tukang jual lotere yang menggunakan kereta dorong keluar masuk kampung." tutur Watik

"Mereka memutar lagu-lagu pop dengan speaker keras-keras dan salah satunya adalah Lagu 'Madu dan Racun'," kata Watiek.

Selain 'Madu dan Racun', ada lagu-lagu asal Indonesia dan berbahasa Melayu lain yang digubah ke dalam bahasa Myanmar, salah satunya lagu 'Burung Dalam Sangkar', yang pernah populer di Indonesia yang ditulis oleh May Sumarna dan dinyanyikan oleh biduan kondang Emilia Contessa di tahun 1970-an.

Definisi dari 'nikmat di telinga' antara masyarakat Indonesia dan Myanmar sendiri mirip-mirip, dan mungkin saja saling mempengaruhi. Padahal perlu dicatat, interaksi sehari-hari antara dua peradaban bisa dikatakan sangat jarang, selain karena perbedaan bahasa juga karena jarak geografi yang jauh.

Baca Juga: Kudeta Myanmar: Junta Militer Blokir Facebook Untuk Bungkam Perlawanan

Duta Besar Indonesia untuk Myanmar, Iza Fadri, saat diwawancara media Myanmar, Mizzina (Sumber: Thura/Mizzima)

Kedua negara juga memiliki sejarah yang sangat panjang dan hampir sama, membebaskan diri dari penjajahan asing. 

Duta besar Indonesia untuk Myanmar, Iza Fadri, seperti dikutip media Myanmar, Mizzima, akhir Oktober 2019, mengatakan, "persahabatan antara Indonesia dan Myanmar (dahulu Burma) telah terjalin sejak awal kemerdekaan Indonesia bahkan Burma belum sepenuhnya merdeka,"

Pada 30 Oktober 1946, Jenderal Aung San, kepala pemerintahan sementara Burma yang merupakan ayah Aung San Suu Kyi, mengirimkan kawat kepada Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir.

"Isi kawat tersebut antara lain harapan terciptanya kerjasama yang erat antara Burma dan Indonesia serta negara-negara lain di Asia Tenggara, demi perdamaian dunia yang abadi dan undangan untuk mengunjungi Burma saat menghadiri Konferensi Hubungan Antar Asia di New Delhi pada tahun 1947," tutur Iza Fadri

Baca Juga: Kudeta Myanmar: Namanya Burma atau Myanmar sih? Nah Ini Penjelasannya

Becak sepeda di Yangon, Myanmar. Junta militer Myanmar memblokir Facebook dan beberapa layanan berbagi pesan hari Kamis, (04/02/2021) dengan alasan ingin menjamin stabilitas. (Sumber: AP Photo) (Sumber: AP Photo/Thein Zaw)

Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir langsung berangkat ke Konferensi Hubungan Antar Asia di New Delhi, India, pada 27 Maret - 2 April 1947.

Sepulang dari India, Sjahrir dan rombongan singgah di Rangoon, Burma, bertemu dengan U Nu, salah satu pimpinan Liga Kebebasan Rakyat Anti-Fasis (AFPFL) yang menjadi Perdana Menteri pertama pada tahun 1948.

Pada tataran negara, Myanmar (Burma saat itu) dan Indonesia saling dukung secara kuat, agar masing-masing negara mencapai kemerdekaan.

"Ketika Belanda melancarkan agresi militer kedua ke Indonesia, Burma mengusulkan ke India untuk mengadakan Konferensi tentang Indonesia di New Delhi, India, pada tanggal 20 Januari 1949. 18 negara Asia hadir pada konferensi ini untuk mendukung kemerdekaan Indonesia," kisah Iza Fadri.

Baca Juga: Kudeta Myanmar: KBRI Yangon Imbau WNI Untuk Waspada dan Siapkan Persediaan Makanan

Pawai kampanye pemilu Myanmar. Junta militer Myanmar memblokir Facebook dan beberapa layanan berbagi pesan hari Kamis, (04/02/2021) dengan alasan ingin menjamin stabilitas. (Sumber: AP Photo)

Pada 24 Januari - 2 Februari 1950, Presiden Sukarno melakukan kunjungan luar negeri pertamanya ke India, Pakistan, dan Burma. Setibanya di Rangoon, Burma, Sukarno disambut oleh Presiden Burma Sao Shwe Thaik.

Ketiga negara yang dikunjungi Presiden Soekarno tersebut telah banyak memberikan bantuan di saat-saat tersulit bagi perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan.

Pada April 1950, Kantor Perwakilan Indonesia resmi dibuka sebagai KBRI Rangoon, dilanjutkan dengan pembukaan Kedutaan Besar Burma di Jakarta.

Sebagai sesama bekas negara jajahan, Indonesia dan Burma aktif melawan imperialisme dan kolonialisme. Indonesia dan Myanmar menjadi pemrakarsa Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 18-24 April 1955, bersama dengan India, Pakistan dan Sri Lanka.

Penulis : Edwin-Shri-Bimo

Sumber : Kompas TV


TERBARU