Kudeta Myanmar: Pertarungan Politik Apa Yang Terjadi dan Bagaimana Nasib Aung San Suu Kyi? Yuk Simak
Kompas dunia | 1 Februari 2021, 22:56 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Militer Myanmar, atau Tatmadaw, telah mengambil lih kendali negara dan menerapkan status darurat selama satu tahun ke depan.
Penasihat negara Aung San Suu Kyi, presiden, dan jajaran pemimpin pemerintahan dilaporkan sudah berada dibawah tahanan militer.
Wakil Presidne Myint Swe ditunjuk menjadi penjabat presiden dan militer memberlakukan status darurat selama satu tahun sekaligus akan menggelar pemilu baru.
Belum diketahui bagaimana nasib dan nyawa para pemimpin demoratis Myanmar tersebut, dan apakah pemerintahan yang digulingkan dapat kembali ikut pemilu.
Berikut ini kemungkinan alasan-alasan kenapa Tatmadaw mengambil alih kekuasaan di Myanmar, seperti dilansir dari Associated Press, Senin, (01/02/2021)
Baca Juga: Militer Lakukan Kudeta di Myanmar, Bagaimana Situasi di Sana? Ini Selengkapnya
Konstitusi Myanmar
Pengumuman Tatmadaw melalui stasiun TV militer Myawaddy TV mengutip pasal 417 konstitusi negara, yang mengizinkan militer mengambil alih pada situasi darurat.
Dalam pengumuman tersebut, militer mengatakan dua alasan, yaitu krisis Covid-19 dan kegagalan pemerintah untuk menunda pemilu November kemarin sebagai ‘situasi darurat’ yang membuat militer mengambil alih negara.
Kaum militer menyusun konstitusi itu tahun 2008 dan menjaga kekuasaan berdasarkan konstitusi tersebut, menindas (prinsip) pemerintahan sipil yang demokratis.
Konstitusi juga mencadangkan posisi-posisi kunci di kabinet, serta 25 persen kursi parlemen untuk militer, sehingga membatasi kekuasaan pemerintahan sipil serta menihilkan kemungkinan untuk merubah konstitusi tanpa dukungan militer.
Beberapa pakar bingung kenapa militer menggadaikan posisi mereka yang sangat kuat di status quo saat ini, namun sebagian pihak melihat kemungkinan salah satu sebabnya adalah masa pensiun penguasa militer Jenderal Min Aung Hlaing yang akan tiba sebentar lagi.
Hlaing menjadi pucuk pimpinan tertinggi Tatmadaw sejak 2011.
Peneliti hubungan sipil-militer Myanmar, Kim Jolliffe, melihat,”tampaknya ada politik internal militer yang agak buram,” seraya menambahkan, Ini mungkin mencerminkan dinamika, semacam kudeta internal dan cara dia (Hlaing) mempertahankan kekuasaan di internal militer.
Tatmadaw menugaskan Wakil Presiden Myint Swe, seorang mantan jenderal sekutu dekat mantan penguasa militer Myanmar, Than Shwe, menjadi penjabat presiden selama satu tahun ke depan.
Baca Juga: Kudeta Myanmar: Telepon, Radio dan TV Terputus, Warga Indonesia Diminta KBRI untuk Tetap di Rumah
Pemilihan Umum
Pada pemilu November lalu, partai yang dipimpin Aung San Suu Kyi meraih 138 kursi atau 61,6 persen di majelis tinggi dan 258 kursi atau 58,6 persen di majelis rendah parlemen, yang dipastikan oleh KPU Myanmar.
Tidak lama setelah pengumuman tersebut, kubu militer langsung melancarkan tuduhan terjadinya kecurangan pemilu secara meluas.
Militer terutama menuding kejanggalan daftar pemilih di 314 township atau daerah setara kecamatan, dimana pemilih mencoblos lebih dari satu surat suara atau melakukan tindak pelanggaran pemungutan suara.
Namun menurut Jolliffe, “mereka (militer) belum menunjukkan bukti sahih atas hal tersebut,”
KPU Myanmar menolak tuduhan tersebut dan mengatakan tidak ada bukti yang mendukung tuduhan itu.
Kudeta ini terjadi pada hari dimana parlemen baru bersidang pertama kalinya menyusul pemilu November.
Suu Kyi dan seluruh anggota parlemen terpilih harusnya dijadwalkan untuk diambil sumpahnya di depan parlement, namun berakhir pada pengambil alihan kekuasaan oleh Tatmadaw.
Militer yang mengambil alih itu mengumumkan di Myawaddy TV bahwa pemilu baru akan digelar satu tahun setelah pemberlakuan status darurat, dan akan menyerahkan kekuasaan kepada siapapun pemenang pemilu tersebut.
Baca Juga: Indonesia Mendesak Myanmar Kedepankan Pendekatan Dialog
Apa Yang Terjadi Saat Ini?
Komunikasi putus atau sangat dibatasi sejak pagi hingga tengah hari. Di ibukota, internet dan sambungan telepon ditutup, sementara diluar ibukota saluran internet berjalan normal walau berbagai media sosial terblokir penguasa.
Kawat berduri didirikan di seluruh Yangon dan unit-unit militer mulai terlihat menjaga berbagai gedung pemerintah.
Masyarakat berduyun-duyung ke ATM dan toko bahan pokok, sementara berbagai gedung dan rumah menurunkan simbol maupun foto Aung San Suu Kyi, partainya, Liga Nasional Untuk Demokrasi, yang biasanya selalu menghiasi sudut kota.
Baca Juga: Kudeta Myanmar: Kuasai Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, Militer Umumkan Pemilu Tahun Depan
Apa Yang Terbentang di Depan?
Berbagai pemerintahan dan lembaga internasional mengecam pengambilalihan itu dan mengatakan, tindakan tersebut membuat mundur kemajuan reformasi demokrasi Myanmar yang selama ini diraih sedikit demi sedikit.
“Ini pukulan yang paling telak dalam upaya menampilkan Myanmar sebagai sebuah demokrasi,” tutur Linda Lakhdir dari Human Rights Watch.
“Kredibiltas Myanmar di panggung dunia jelas terjengkang menerima hantaman,”
Berbagai lembaga mengkhawatirkan adanya pemberangusan dan tindakan terhadap pegiat HAM, wartawan, dan mereka yang kritis terhadap kelompok militer.
Bahkan sebelum militer mengambil alih, wartawan, pengusung kebebasan berpendapat, dan kaum pengkritik kerap menghadapi tindakan hukum karena secara terbuka melancarakan kritik.
Reaksi keras datang dari berbagai kalangan politik Amerika Serikat, dimana seorang senator menyarankan AS untuk kembali menerapkan sanksi ekonomi yang dicabut saat Myanmar transisi menuju pemerintahan sipil.
Senator Bob Menendez yang akan segera memimpin komite hubungan luar negeri senat AS mengatakan,”pemimpin militer harus segera membebaskan pemimpin demokratis Myanmar, dan mereka mundur dari pemerintahan,” seraya menegaskan,”bila tidak, AS dan negara lain harus menerapkan sanksi ekonomi dan tekanan lain,” terhadap kelompok militer dan pemimpin mereka.
Mantan diplomat AS Bill Richardson mengatakan pemerintahan Biden dan negara lain haru segera menerapkan sanksi kepada Myanmar.
Namun Richardson juga mempertanyakan kemampuan Suu Kyi memimpin negara, memandang tindakan Suu Kyi yang membela aksi tentara terhadap kelompok etnis Rohingya yang beragama Islam.
“Kegagalan Suu Kyi sebagai pemimpin de facto untuk mempromosikan nilai demokrasi, Suu Kyi harus minggir dan memberi kesempatan bagi pemimpin demokrasi yang lain untuk memimpin, dengan dukungan internasional,” tutur Richardson.
Penulis : Edwin-Shri-Bimo
Sumber : Kompas TV